Di tengah hiruk pikuknya arena kontestasi politik dalam proses demokrasi Indonesia, sering kali hati kita diliputi berbagai emosi, mulai dari semangat yang berlebihan membaranya hingga rasa cemas dan ketakutan. Di tengah hilir mudik emosi tersebut, gagasan al-Ghazali menawarkan artikulasi penting tentang menumbuhkan dan mengolah kedamaian batin.
Al-Ghazali menekankan pentingnya mencapai kedamaian batin dan ketenangan di tengah cobaan hidup. Inti dari ajarannya menyoroti keadaan hati yang tenang dan pikiran yang tenteram. Ia mengusulkan berbagai strategi untuk mencapai kedamaian batin, termasuk refleksi diri, pelepasan dari keinginan duniawi, dan berserah pada bimbingan ilahi. Menurutnya, ketenangan bukan sekadar tidak adanya disrupsi eksternal, melainkan keadaan keseimbangan batin yang dicapai melalui disiplin spiritual dan introspeksi individual.
Di tengah kontestasi politik selama proses pesta demokrasi di Indonesia, banyak orang sering kali bergulat dengan eskalasi emosi yang intens yang dipicu oleh semangat ideologis, bentrokan partisan, dan konflik kepentingan. Ajaran Al-Ghazali menawarkan semacam manual yang cukup berharga tentang bagaimana kita bisa menavigasi perairan yang bergejolak itu agar dapat merenangi ketenangan batin di tengah badai.
Al-Ghazali menganjurkan pentingnya refleksi diri dan integritas moral sebagai pilar dasar untuk menumbuhkan kedamaian batin. Dalam konteks kontestasi politik, setiap individu didesak untuk menilai motif mereka secara introspektif, memastikan bahwa tindakan mereka dipandu oleh niat yang mulia dan bukan ambisi pribadi atau agenda partisan.
Dengan cara menjunjung tinggi integritas moral dan menyelaraskan perilaku seseorang dengan prinsip-prinsip etika, maka setiap orang dapat melindungi diri dari gejolak persaingan serta huru-hara politik dan lantas dapat menambatkan hati mereka dalam ketenangan yang lengang.
Dalam hal ini, al-Ghazali menekankan untuk melepaskan diri dari ekspektasi duniawi sebagai upaya serius untuk mengatasi kecemasan dan ketidakpastian terkait dengan keadaan eksternal. Dalam konteks proses pemilu, individu didorong untuk melepaskan diri dari daya tarik euforia kemenangan atau ketakutan akan kekalahan atas pilihannya, dengan menyadari betul bahwa keberhasilan utama terletak pada menyelaraskan tindakan seseorang dengan kebenaran, bukan pada mengamankan kekuasaan yang bersifat sementara.
Oleh sebab itu, setelah melepaskan keterikatan pada hasil pemilu tertentu dan mempercayakan urusan tersebut pada pemeliharaan ilahi, maka seorang individu tentu dapat mengecap rasa damai dan penerimaan yang mendalam, apa pun hasil pemilunya.
Al-Ghazali juga menandaskan pentingnya menerima keberagaman dan terlibat dalam dialog konstruktif sebagai jalan menuju saling pengertian dan keharmonisan masyarakat. Dalam konteks kontestasi politik, setiap individu didorong untuk mengatasi perpecahan partisan dan terlibat dalam wacana yang saling menghormati dengan lawan ideologisnya.
Dengan menumbuhkan empati, mendengarkan dengan pikiran terbuka, serta mencari titik temu di tengah keberagaman, individu kemudian mampu membangun budaya dialogis dan kooperatif, sehingga tentu itu dapat mengurangi ketegangan dan turbulensi yang sering menyertai proses pemilu.
Lebih lanjut, al-Ghazali meletakkan pentingnya mewujudkan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan, dua kebajikan yang khususnya relevan dalam konteks kontestasi politik. Di tengah panasnya perdebatan dan gejolak saling menyerang yang menjadi ciri proses pemilu, setiap individu didesak untuk menahan diri dan memiliki ketahanan, karena menyadari bahwa perubahan yang berkelanjutan sering kali membutuhkan ketabahan yang teguh.
Selain itu, dengan memupuk kesabaran dan ketabahan, tiap individu dapat menghadapi badai perselisihan atau percekcokan politik secara anggun dan bermartabat, menumbuhkan suasana kesantunan dan saling menghormati di tengah perbedaan pilihan.
Inti dari ajaran al-Ghazali adalah gagasan bersandar pada hikmah ilahi sebagai sumber ketenteraman dan kekuatan di tengah cobaan hidup. Dalam konteks kontestasi politik, individu didorong untuk beralih ke praktik spiritual seperti salat, berdoa, meditasi, dan berkontemplasi mengenai ayat-ayat Tuhan untuk mendapatkan bimbingan dan inspirasi. Dengan berlabuh pada batin keimanan dan zikir, seseorang dapat merasakan kedamaian dan ketahanan batin, mengatasi gejolak nasib politik yang bersifat sementara.
Penting dicatat bahwa al-Ghazali menggarisbawahi signifikannya moderasi dan keseimbangan dalam semua aspek kehidupan, termasuk aspek politik. Dalam konteks proses pemilu, setiap individu didorong untuk menghindari jebakan ekstremisme serta polarisasi, dan melakukan sebaliknya, yakni mengupayakan jalan tengah yang dapat mencakup keragaman pendapat sambil menjunjung tinggi prinsip-prinsip empati dan toleransi.
Secara praktis, dengan cara melampaui retorika yang memecah-belah dan indoktrinasi pemikiran biner yang sering menjadi ciri wacana politik, individu dapat menumbuhkan budaya moderasi dan inklusivitas, mencanangkan suatu lingkungan di mana beragam suara boleh didengar dan harus dihormati.
Dalam kontestasi politik pada pesta demokrasi Indonesia, kebijaksanaan al-Ghazali menyuntikkan dosis yang pas dalam menumbuhkan ketenangan di tengah situasi yang penuh gejolak dan gelegak. Dengan menerapkan hal-hal demikian, tiap individu diharapkan tidak hanya bisa membentengi hati mereka dari badai politik, melainkan juga mengancangkan lingkungan masyarakat yang lebih tenang dan harmonis serta merawat bangsa yang demokratis lebih tangguh lagi.
Seiring Indonesia melanjutkan perjalanan demokrasinya, marilah ajaran dan gagasan al-Ghazali kita jadikan cahaya penuntun, menerangi jalan menuju pesta demokrasi dan pemilu yang bercirikan kebijaksanaan, moderasi, dan kedamaian batin.