Masih ingatkah dengan terminologi “Dai sejuta umat”? Mereka yang berumur 40 tahunan ke atas tentu masih ingat. Terminologi ini adalah gelar yang diberikan kepada seorang juru dakwah atau dai Indonesia yang sangat terkenal di era 1990-an yaitu KH. Zainuddin Hamidi atau yang lebih dikenal dengan nama KH. Zainuddin MZ. Dia diberi gelar tersebut karena jika dia berceramah atau berdakwah secara langsung, di lapangan terbuka misalnya, maka ribuan, bahkan puluhan ribu, orang menghadiri dan mendengarkan ceramah atau dakwahnya tersebut.
Dakwahnya juga direkam ke dalam kaset-kaset yang kemudian menyebar ke seantero Indonesia, bahkan ke negara-negara tetangga. Beliau juga berdakwah melalui televisi. Jika saat itu internet dan media sosial sudah muncul, maka dakwahnya akan juga tersebar melalui internet dan media sosial. Sekarang ini jika anda membuka youtube, dan mengetikkan namanya dalam searching box, maka anda dapat mendengarkan ceramahnya. Karena sudah ada orang yang memasukkan ceramah-ceramahnya ke dalam youtube. Beliau sendiri sudah meninggal dunia pada tahun 2011 yang lalu di usia 59 tahun (Merdeka.com, 2017).
Jika banyaknya orang yang menghadiri dan mendengarkan ceramah atau dakwahnya menyebabkan KH. Zainuddin MZ diberi gelar dai sejuta umat, maka situasi yang sebaliknya terjadi akibat pandemi Covid-19. Pandemi ini justru melahirkan jutaan imam dan khatib, jutaan penceramah di Indonesia meskipun ceramah itu bisa dikategorikan sebagai kultum (kuliah tujuh menit) atau kulibas (kuliah lima belas menit).
Hampir semua suami dari keluarga-keluarga Muslim yang daerahnya dilarang menyelenggarakan salat Idul Fitri di masjid-masjid atau di lapangan-lapangan, karena daerahnya terkategori zona merah penyebaran virus Corona, menjadi imam dan khatib pada 1 Syawal 1441 H atau bertepatan dengan 24 Mei 2020 M. Berbagai organisasi Muslim memberikan petunjuk atau melakukan sosialisasi secara online tentang cara-cara menjadi imam dan khatib pada hari yang fitri tersebut. Mudah saja kalau ingin membuktikan claim saya di atas. Bukalah postingan teman-teman FB anda pada tanggal itu, maka anda akan dapat melihat foto-foto para imam dan khatib baru tersebut.
Sebenarnya, menjadi imam bukanlah hal yang aneh bagi seorang laki-laki Muslim, apalagi jika dia sudah menikah. Dia harus menjadi imam salat berjemaah bagi istri dan anak-anaknya. Biasanya, di sebuah keluarga Muslim yang taat, seorang laki-laki yang berniat menjadi menantu, ingin mempersunting anak perempuan dari keluarga tersebut, akan melakukan tes menjadi imam salat berjemaah di keluarga tersebut terlebih dahulu. Dengan berpura-pura sedang batuk, atau sedang serak suara, ayah dari anak perempuan yang ingin disunting mempersilahkan calon menantu menjadi imam. Jika ternyata laki-laki tersebut tidak mampu menjadi imam yang baik, maka janganlah berharap niat bisa terkabul.
Bagaimana pun juga, bagi seorang ayah yang ingin melepaskan putrinya ke tangan laki-laki lain, hendak memastikan bahwa laki-laki tersebut adalah pribadi yang baik. Kemampuan menjadi imam menjadi salah satu indikatornya. Bisa dikatakan bahwa kemampuan menjadi imam adalah refleksi dari praktik ibadah seseorang, praktik kepemimpinan seorang laki-laki untuk keluarganya. Pandemi Covid-19 yang menghiasi hari raya Idul Fitri kemarin memaksa laki-laki atau kepala keluarga melaksanakan tugas kepemimpinan di keluarganya, membawa keluarganya, orang-orang yang dipimpinnya ke jalan yang benar, jalan yang diridai Allah.
Meskipun demikian, pada kenyataannya seorang laki-laki Muslim yang mampu menjadi imam bagi keluarganya, belum tentu berani atau mampu menjadi imam bagi jemaah publik. Salat berjemaah untuk banyak orang di luar keluarganya. Apalagi salat hari raya yang merupakan salah satu arena mensyiarkan Islam ke seluruh dunia. Ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi imam.
Paling tidak orang tersebut adalah seorang yang tegas suaranya, benar caranya melafalkan huruf-huruf Alquran. Dia juga harus menguasai tajwid dengan baik, hafal bacaan salat, termasuk ayat-ayat atau surah-surah Alquran yang akan dibacanya setelah selesai membaca surah al-Fatihah. Walaupun bacaan surah ini bukan termasuk rukun salat, tetapi pada salat jemaah di ranah publik, hafalan surah-surah ini menjadi alat penilaian jemaah terhadap kualitas atau kredibilitas seorang imam.
Begitu juga dengan menjadi khatib. Tidak sembarangan orang bisa menjadi khatib di ranah publik. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama menjadi persyaratan yang penting. Di negara tetangga kita, Malaysia, misalnya, hanya orang yang memiliki sertifikat dai, mereka yang telah lulus kompetensi menjadi dai saja yang boleh memberi ceramah atau berdakwah di masyarakat, di ranah publik.
Kesalahan umat dalam memahami agama merupakan cerminan dari kurang benarnya dakwah yang dilakukan oleh para dai, kurang berkualitasnya ceramah agama yang disampaikan oleh juru dakwah. Kehadiran para khatib di keluarga-keluarga Muslim pada masa Covid-19 ini menjadi cara Allah mengingatkan para kepala keluarga, bisakah kamu memberi nasihat kepada keluargamu jika kamu sendiri belum berbenah diri. Belum berada pada jalan ilahi.
Bagaimanapun keluarga inti, istri dan anak-anak adalah menjadi orang yang paling tahu bagaimana sifat asli dari seorang dai atau juru dakwah. Seorang khatib akan didengarkan nasihat-nasihat yang diberikannya kepada umat jika dia sudah melaksanakan terlebih dahulu apa yang dinasihatkannya. Sudah sesuaikah perkataan dengan perilaku?
Covid-19 yang terjadi pada masyarakat Indonesia dan dunia telah memberi peluang pada para imam dan khatib di keluarga untuk melakukan introspeksi terhadap tugas kepemimpinannya. Sudah benarkah bacaan salatnya, sudah benarkah gerak dan perilakunya? Sudah benar-benar pahamkah dia dengan keadaan jemaahnya? Keadaan istri dan anak-anaknya? Sudahkah dia memberi nasihat yang baik pada keluarganya, pada istri dan anak-anaknya? Sudahkan ia menyelaraskan antara perilaku dan perkataannya di hadapan istri dan anak-anaknya?
Covid-19 telah memberikan pembelajaran bagi imam dan khatib yang memimpin salat jemaah di ranah publik, di masjid-masjid dan musala-musala. Sudahkah dia menjadi pemimpin agama, kiai, ulama, ustaz, yang selaras antara perkataan dan perilakunya di masyarakat, di hadapan para jemaahnya dengan perilakunya di dalam keluarganya, di hadapan istri dan anak-anaknya? Para imam dan khatib yang selalu memberi nasihat kepada umat ini oleh virus Corona dipaksa untuk melakukan pembenahan diri, jika mereka tidak benar-benar melakukan tugas dakwahnya, mengajak umat menuju jalan kebaikan, menjauhi kemungkaran, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bukan tidak mungkin pekerjaan yang mereka lakukan itu akan segera hilang dari mereka. Masyarakat akan berupaya untuk menjadi imam dan khatib bagi diri sendiri, bagi keluarganya. Sebab mereka sudah kehilangan imam dan khatib yang benar-benar berkualitas di ranah publik. imam dan khatib yang sesungguhnya adalah mereka yang sudah mampu melaksanakan perintah Allah dengan baik untuk diri dan keluarganya, menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk untuk diri dan keluarga.
Berdakwah untuk diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendakwahi orang lainnya. Pandemi Covid-19 yang sedang kita alami ini mengajak umat Islam, para pemimpin umat, para dai untuk melakukan refleksi apakah sudah selaras perkataan dengan perbuatan. Sungguh amat besar kebencian Allah pada mereka yang mengatakan tetapi tidak melakukan apa yang dia katakan. [MZ]