Dalam filsafat politik, konsep pemimpin negara ideal telah menjadi bahan perenungan mendalam di berbagai budaya dan zaman. Di antara para pemikir yang mengancangkan pandangan filosofisnya mengenai wacana ini adalah Ibn Bajjah, yang juga dikenal Avempace, seorang filsuf muslim tersohor, polimatik, dan negarawan di era abad pertengahan.
Pandangan filosofis Ibn Bajjah, yang berakar pada filsafat Islam dan pemikiran Yunani klasik, menawarkan perspektif yang berbeda mengenai kualitas dan tanggung jawab seorang pemimpin negara yang ideal.
Lahir di Andalusia abad ke-11 M, Ibn Bajjah hidup pada masa perkembangan intelektual, di mana para pemikir muslim berdialog dengan khazanah filsafat Yunani, khususnya karya Plato dan Aristoteles. Dengan memanfaatkan warisan yang kaya itu, Ibn Bajjah mencanangkan visinya tentang pemerintahan, dengan menekankan nilai-nilai moral dan intelektual yang krusial bagi seorang pemimpin untuk memerintah secara adil dan efektif.
Sari pati dari visi Ibn Bajjah tentang pemimpin negara yang ideal adalah gagasan “al-fard al-fardī” (pribadi individu). Ia percaya bahwa karakter dan kebajikan penguasa sangat memengaruhi kemakmuran negara dan kesejahteraan warganya. Menurut Ibn Bajjah, seorang pemimpin yang ideal harus mewujudkan integrasi yang harmonis antara kebajikan intelektual, etis, dan praktis.
Bagi Ibn Bajjah, ketajaman intelektual menempati posisi terpenting. Ia menganjurkan agar para pemimpin memiliki intelektualitas luas dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, teologi, dan yurisprudensi. Ibn Bajjah berpendapat bahwa seorang pemimpin yang dilengkapi dengan kecakapan intelektual dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan, membuat keputusan paling baik, dan menghadapi tantangan sosiopolitik yang kompleks dengan kebijaksanaan.
Lebih lanjut, Ibn Bajjah menekankan aspek kebajikan etis sebagai kualitas yang sangat diperlukan dari seorang pemimpin negara yang ideal. Integritas, keadilan, dan kesederhanaan adalah nilai-nilai yang amat penting untuk menumbuhkan kepercayaan, menjaga kohesi sosial, dan memastikan distribusi sumber daya yang adil bagi masyarakat.
Pemimpin yang berbudi luhur, menurut Ibn Bajjah, adalah pemimpin yang dapat menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika bahkan dalam menghadapi situasi politik yang sulit dan dilematis, sehingga, dengan melakukan itu, seorang pemimpin mendapatkan rasa hormat dan kesetiaan dari rakyatnya.
Selain kebajikan intelektual dan etis, Ibn Bajjah menggarisbawahi pentingnya kebijaksanaan praktis (phronesis) dalam pemerintahan. Kebijaksanaan praktis mencakup kemampuan untuk menerapkan pengetahuan teoretis pada situasi konkret, menerapkan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan, dan beradaptasi dengan perubahan keadaan.
Bagi Ibn Bajjah, seorang pemimpin yang memiliki kebijaksanaan praktis menunjukkan kecerdasannya dalam perumusan kebijakan, negosiasi, dan penyelesaian konflik pada pelbagai level, sehingga mampu menyebarkan kebaikan bersama dan menjaga stabilitas negara.
Lebih jauh lagi, Ibn Bajjah menganjurkan pemimpin yang memiliki pemahaman mendalam tentang sifat dan psikologi manusia. Ia berpendapat bahwa tata kelola yang efektif memerlukan pemahaman terhadap motivasi, aspirasi, dan keluhan masyarakat.
Dengan berempati terhadap permasalahan rakyatnya, seorang pemimpin yang ideal dapat menumbuhkan pemahaman, kasih sayang, dan solidaritas dalam masyarakat, sehingga hal itu akan mengurangi ketegangan sosial dan meningkatkan keharmonisan sosial.
Dalam pandangan Ibn Bajjah, pemimpin negara yang ideal tidak akan pernah berperan sebagai seseorang yang zalim, melainkan sebagai seorang “raja-filsuf” yang memerintah dengan kebijaksanaan, kebajikan, kompas etika, dan kerendahan hati.
Tentu saja tidak seperti para tiran yang memerintah melalui represi dan persekusi, seorang raja-filsuf memerintah melalui persuasi, dialog, dan musyawarah. Dengan terlibat dalam diskursus rasional dan menghormati otonomi rakyatnya serta kebebasan berekspresinya, sang raja-filsuf memupuk budaya keterlibatan sipil, penyelidikan kritis, dan perkembangan intelektual dalam negara.
Selain itu, Ibn Bajjah menganjurkan desentralisasi kekuasaan dan pembentukan sistem meritokratis di mana siapa pun individu bisa ditunjuk untuk menempati posisi otoritatif berdasarkan kompetensi, kebajikan, dan prestasi mereka, bukan malah berdasarkan privilese keturunan dan nepotisme anyir.
Dengan mengedepankan mobilitas sosial dan menghargai prestasi serta kompetensi, pemimpin negara yang ideal akan menempa kader administrator dan penasihat yang cakap untuk berkontribusi terhadap pemerintahan yang efektif demi kemakmuran negara, kemakmuran segenap bangsanya.
Pada titik ini, Ibn Bajjah menekankan pentingnya pendidikan sebagai sarana membina warga negara yang cerdas dan mampu berperan aktif dalam urusan kenegaraan. Ia menyerukan pendirian sekolah, perpustakaan, dan pusat pembelajaran yang darinya setiap warga negara dapat memperoleh pengetahuan, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan terlibat dalam diskursus intelektual.
Dengan berinvestasi di bidang pendidikan, pemimpin negara yang ideal memberdayakan warga negara untuk mewujudkan potensi mereka, berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat, dan menjaga nilai-nilai keadilan, toleransi, serta martabat manusia.
Visi Ibn Bajjah tentang pemimpin negara ideal, yakni raja-filsuf, mewujudkan sintesis aspek intelektual, kebajikan etis, dan kebijaksanaan praktis. Seorang pemimpin yang memberikan teladan kebijaksanaan serta integritas moral dapat memperkuat kohesi sosial dan menyuburkan kebaikan bersama. Seorang raja-filsuf memenuhi tugasnya untuk mewujudkan cita-cita pemerintahan etis yang tak lekang oleh waktu dari generasi ke generasi.