Seni Menjadi: Sebuah Eksplorasi Filosofis tentang Kebiasaan

Konsep kebiasaan menempati ruang yang unik dalam wacana filosofis, yang mengaitkan hal-hal yang biasa dengan hal-hal yang mendalam. Kebiasaan, pada hakikatnya, adalah ritme pengulangan—suatu tindakan yang dilakukan begitu sering sehingga ia menjalin dirinya sendiri ke dalam jalinan eksistensi kita.

Namun, jauh dari sekadar mekanisme rutinitas, kebiasaan adalah kekuatan yang dinamis, yang mampu membentuk kontur karakter kita, memengaruhi persepsi kita, dan menentukan lintasan hidup kita.

Aristoteles secara terkenal menyatakan bahwa kebajikan adalah kebiasaan. Baginya, keunggulan moral tidak muncul secara spontan atau melalui tindakan-tindakan yang terisolasi, tetapi melalui pengembangan praktik-praktik yang konsisten dan disengaja.

Keberanian, kesederhanaan, dan kejujuran bukanlah sifat-sifat bawaan, tetapi kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk melalui keterlibatan berulang-ulang dengan tindakan-tindakan yang berbudi luhur. Di sinilah terletak sesuatu yang mendalam: kebiasaan bukan sekadar sesuatu yang kita lakukan melainkan sesuatu yang kita jadikan.

Melalui tindakan kebiasaan, kita menuliskan pola-pola eksistensi pada diri kita sendiri, membentuk tanah liat “potensial” menjadi pahatan “aktual”. Oleh karena itu, kebiasaan menjembatani kesenjangan antara tujuan dan identitas, mengubah aspirasi yang cepat berlalu menjadi kenyataan yang langgeng.

Kekuatan transformatif dari kebiasaan ini tidak terbatas pada moralitas. Kebiasaan mencakup ke setiap ranah keberadaan manusia. Filsuf Prancis Henri Bergson memandang kebiasaan sebagai mekanisme yang dengannya kita menghemat energi, membebaskan pikiran untuk fokus pada pemikiran tingkat tinggi. Dalam pandangannya, kebiasaan mengotomatiskan tugas-tugas yang berulang, menciptakan landasan stabilitas tempat kreativitas dan spontanitas dapat berkembang.

Namun, efisiensi ini bukannya tanpa bahaya. Ketika kebiasaan menjadi terlalu kaku, kebiasaan berisiko mengeraskan pikiran, mereduksi kehidupan menjadi serangkaian gerakan mekanis tanpa refleksi atau vitalitas. Dengan demikian, kebiasaan merupakan pembebas sekaligus tiran potensial, dualitas yang menuntut sikap yang cermat.

Dari perspektif metafisis, kebiasaan menerangi hubungan antara waktu dan diri. Konsep Friedrich Nietzsche tentang pengulangan abadi—gagasan bahwa seseorang dapat menjalani kembali kehidupan yang sama tanpa batas—mengundang konfrontasi radikal dengan kekuatan kebiasaan.

Jika setiap tindakan diulang selamanya, maka kebiasaan yang kita bentuk memperoleh makna yang hampir sakral. Kebiasaan bukanlah pilihan yang cepat berlalu, melainkan penegasan abadi atas nilai dan prioritas kita. Pemikiran Nietzsche mengundang kita untuk meneliti pola kebiasaan kita, menanyakan apakah pola tersebut selaras dengan kehidupan yang ingin kita jalani berulang-ulang. Dalam hal ini, kebiasaan menjadi cermin, yang memantulkan kebenaran terdalam tentang siapa kita dan apa yang kita inginkan.

Psikologi modern, meskipun didasarkan pada studi empiris daripada spekulasi metafisis, menggemakan banyak wawasan filosofis ini. Karya William James, yang sering dianggap sebagai bapak psikologi Amerika, menggarisbawahi kekuatan formatif kebiasaan. James menggambarkan kebiasaan sebagai “roda gila masyarakat yang sangat besar”, kekuatan yang menstabilkan perilaku dan mengikat kehidupan individu.

Ia menyadari bahwa kebiasaan bekerja pada tingkat neurologis, mengukir jalur di otak yang membuat tindakan berulang lebih mudah dan lebih otomatis dari waktu ke waktu. Namun, James juga memperingatkan terhadap rasa puas diri yang dapat ditimbulkan oleh kebiasaan, sehingga mendesak individu untuk secara berkala memeriksa kembali rutinitas mereka untuk memastikan bahwa rutinitas tersebut mengantarkan pada tujuan yang lebih tinggi.

Dalam pemikiran eksistensialis Jean-Paul Sartre, kebiasaan dianggap ancaman potensial terhadap keautentikan. Bagi Sartre, jatuh ke dalam pola kebiasaan berarti mengambil risiko hidup dalam “iktikad buruk”, menyerahkan kebebasan seseorang pada kelembaman masa lalu. Namun, eksistensialisme pun mengakui bahwa beberapa kebiasaan merupakan perancah yang diperlukan untuk tindakan yang bermakna. Tantangannya terletak pada pembedaan antara kebiasaan yang mendukung keberadaan yang autentik dan kebiasaan yang merusaknya.

Pada intinya, makna filosofis kebiasaan terletak pada sifatnya yang paradoks. Kebiasaan merupakan tindakan dan kelembaman, kebebasan dan kendala, penciptaan dan pengulangan. Kebiasaan memungkinkan kita untuk melampaui keterbatasan saat ini, membangun fondasi yang stabil untuk pertumbuhan.

Namun, kebiasaan juga mengancam untuk menjebak kita dalam batasan logikanya sendiri, menumpulkan kapasitas kita untuk berubah dan kesadaran diri. Dualitas ini menggarisbawahi pentingnya menumbuhkan kebiasaan dengan niat, tekad, dan kewaspadaan, menyadari kekuatannya untuk membentuk tidak hanya apa yang kita lakukan, tetapi juga siapa kita.

Dalam konteks masyarakat yang lebih luas, kekuatan kebiasaan melampaui individu, memengaruhi budaya, lembaga, dan peradaban. Kebiasaan kolektif—ritual, tradisi, dan adat istiadat—mengikat masyarakat bersama, menyediakan kesinambungan dan rasa identitas bersama.

Namun, kebiasaan juga dapat melanggengkan ketidakadilan, menghambat inovasi, dan menolak perubahan yang diperlukan. Oleh karena itu, pemeriksaan filosofis terhadap kebiasaan harus memperhitungkan dimensi sosialnya, mengeksplorasi bagaimana kebiasaan individu dan kolektif berinteraksi dalam proses dinamis evolusi historis.

Pada akhirnya, kebiasaan merupakan bukti interaksi mendalam antara kebebasan dan determinisme dalam kehidupan manusia. Sementara kebiasaan membentuk kita, kita juga memiliki kapasitas untuk membentuk kebiasaan kita. Interaksi ini mengundang cara hidup filosofis, yang dicirikan oleh kesadaran dan intensionalitas.

Hidup secara filosofis berarti mengenali kekuatan kebiasaan, terlibat dengannya secara kritis dan kreatif, dan menggunakannya sebagai alat untuk realisasi diri dan mengejar kehidupan yang baik. Dalam pengertian ini, kebiasaan bukan sekadar kekuatan alam, tetapi kanvas tempat seni kehidupan dilukis.

0

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.