Muhammad Ahalla Tsauro MA at National University of Singapore

Yang Luput Dari Pembahasan Peringatan Hari Santri Nasional

2 min read

Tulisan ini berawal dari pertanyaan tidak sengaja seorang teman dalam obrolan sore di warung kopi. “Apa yang luput dalam pembicaraan mengenai hari santri akhir-akhir ini?”. Satu teman menjawab isu kekerasan seksual, satu teman lain menjawab kepastian dan perlindungan hukum. Keduanya bermuara pada satu topik besar yakni hak aman bagi santri dan hak untuk dilindungi selama menempuh pendidikan di sebuah pesantren.

Dalam kurun waktu sebulan saja, sejumlah pemberitaan mengenai kekerasan seksual di pesantren masih marak dijumpai, korban utama banyak dialami santri putri, akan tetapi sejumlah santri putra juga bisa rentan menjadi korban. Mulai dari pencabulan di sebuah pesantren di Sumatera Selatan, Serang, Jombang, Trenggalek dan masih banyak lagi yang belum dilaporkan dan terekspos ke publik.

Mirisnya, kebanyakan pelaku kekerasan tersebut dilakukan oleh santri senior, guru atau ustadz hingga pimpinan pesantren dan seringkali kasus berakhir tidak berpihak pada korban alias tidak adil. Tentu saja ini menjadi alarm yang harus diperhatikan dengan serius oleh semua pihak, mulai dari pengurus pesantren, wali santri, penegak hukum ataupun pemerintah untuk paling tidak memberikan perhatian dan membantu mengusut tuntas kasus yang terjadi dan ikut andil dalam penegakan hukum.

Dinamika Hari Santri Nasional

Memang, peringatan hari santri baru berjalan beberapa tahun saja. Tepatnya pasca ditandatanganinya Keputusan Presiden No 22 tahun 2015 yang merujuk pada Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Perhatian pemerintah di era Presiden Joko Widodo terhadap kaum santri tidak dapat dipungkiri sangat lah besar.

Terlepas dari hadirnya representasi figur Kyai Ma’ruf Amin sebagai orang nomor 2 di negeri ini, pengesahan UU 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan juga Peraturan Presiden no 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren seakan menunjukkan bahwa periode pemerintahan saat ini sangat menopang dan mengakomodasi kepentingan pesantren yang selama ini sangat mandiri dan luput dari bantuan pemerintah. Bahkan, untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi untuk studi S2 maupun S3 baik di dalam dan luar negeri, pemerintah memfasilitasi alumni pesantren melalui mekanisme Beasiswa Santri di bawah payung besar Beasiswa LPDP.

Baca Juga  “Sekolah: Surga yang Tidak Dirindukan”: Refleksi Orang Tua terhadap Pendidikan Anak

Perhatian yang besar ini secara garis besar menitikberatkan pada fungsi pemerintah memaksimalkan potensi pesantren sebagai institusi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dengan bantuan ekonomi sebagai agenda utama disamping memfasilitasi agenda lainnya seperti kebudayaan, seni dan olahraga.

Hingga saat ini peringatan Hari Santri Nasional (HSN) setidaknya masih berfokus pada tiga misi utama yakni misi ekonomi, pendidikan dan pembangunan. Misi yang terakhir ini diharapkan mendapat perhatian lebih pada pembangunan manusia, yang berupa pemberdayaan santri, pemenuhan hak mereka, termasuk mendapatkan pendampingan ketika menjadi korban kekerasan seksual.

Agar tidak berakhir sebagai tasyakuran atau selebrasi perayaan seremonial, perlu kiranya isu kekerasan seksual di pesantren diberikan porsi khusus dalam HSN kali ini. Sebuah rencana pembentukan Dirjen Pesantren ataupun semacam satuan khusus sebagaimana digagas oleh Gus Yaqut dalam peringatan HSN bisa memberikan angin segar bahwa negara bisa hadir melalui mekanisme dan regulasi yang terikat untuk menjamin rasa aman santri. Akan tetapi, kekhawatiran muncul jika pembentukan ini hanya berakhir sebagai platform yang sangat birokratis dan tidak responsif.

Apa yang bisa dilakukan

Korban kekerasan seksual di pesantren acap kali mendapati bahwa penyidikan kasusnya diberhentikan dengan alasan minimnya bukti atau pemutusan bahwa kasus yang dilaporkan tidak memenuhi persyaratan. Sejumlah lembaga negara seperti Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) melaporkan bahwa pelaporan kekerasan seksual yang terjadi di pesantren seringkali terabaikan.

Hingga bulan September 2021, tercatat 3.122 kasus yang diterima oleh kementrian-lembaga tersebut. Dari sini sebenarnya, negara bisa mengambil peran dalam memperkuat payung hukum dan mempertegas implementasi salah satunya melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak di Satuan Pendidikan Berbasis Agama, termasuk kasus di pesantren.

Baca Juga  Berhenti Membandingkan Parenting Orang Tua dalam Mendidik Anak

Sejumlah lembaga bantuan hukum dan juga lembaga swadaya masyarakat turut pula hadir memberikan pendampingan dan advokasi korban kekerasan seksual di pesantren. Dalam kasus di Trenggalek contohnya, Front Santri melawan Kekerasan Seksual (Formujeres) berkecimpung mendampingi korban untuk berani bersuara kepada penegak hukum setempat atas kekerasan yang ditimpa.

LSM ini berpendapat bahwa santriwati yang didampingi percaya bahwa kekerasan yang terjadi ialah aib yang harus ditutupi, sehingga membuat mereka takut untuk melapor dan mempengaruhi psikis dan mental korban. Inilah kemudian yang diklaim oleh para aktivis sebagai budaya kuat patriarki di pesantren yang perlu dilawan.

Sementara itu, terdapat pula Aliansi Santri Lawan Kekerasan Seksual yang menyuarakan bahwa pesantren perlu terbuka dengan intervensi pihak ketiga ketika pendampingan korban dilaksanakan. Pihak terakhir yang juga dapat berperan penting meyuarakan permasalahan ini ialah walisantri, sederhananya orang tua mana yang akan diam jika anaknya menjadi korban kekerasan seksual.

Pada akhirnya, semua sekolah agama membutuhkan regulasi untuk melindungi anak-anak dari kekerasan fisik verbal dan seksual, termasuk kejadian di pesantren. Dalam peringatan HSN kali ini, alangkah baiknya jika negara memberikan perhatian pada isu ini, agar upaya pemberdayaan santri dapat berjalan secara maksimal. Sebab, perlu diresapi secara mendalam bahwa secara tidak sengaja tema HSN tahun ini menyinggung pentingnya memenuhi hak aman santri yakni Santri Siaga Jiwa Raga. (mmsm)

Muhammad Ahalla Tsauro MA at National University of Singapore