Adalah sahih bila sesama warga Muslim jangan mau diadu versus domba. Sesama umat Muslim diharapkan bisa bersaudara dengan baik walaupun berbeda ideologi, mazhab, dan ijtihad politik. Sayangnya yang sering menyuarakan kritik terhadap saudara Muslimnya ini bisa jadi orang lugu, atau kadang malah orang yang sering mengotak-atik amaliah NU atau mengotak-atik NKRI. Padahal upaya mengotak-atik pakem itu juga akan mengarah kepada adu domba sesama Muslim.
Tidak hanya sesama Muslim, tapi sesama umat beragama, sesama warga NKRI, bahkan seluruh manusia juga tidak boleh diadu domba. Bahkan antara manusia dan binatang atau alam juga jangan mau diadu.
Jargon “jangan mau diadu domba sesama Muslim” lebih dekat sebagai kamuflase agar saat kelompok pembidah dan khilafahis ini saat bersuara, kita diharap diam, tunduk, dan tidak melawan. Sementara mereka “mencubit, menabok, menampar, menginjak, dan melecehkan” amaliah kita atau kesepakatan berbangsa kita.
Di bawah ini saya kutipkan dari buku para tukang pembidah yang terbit di Surabaya, bukan yang di Arab Saudi. Artinya, mereka nyata ada di sekitar kita. Buku menunjukkan bagaimana mereka memandang dan menilai kita.
1. Buku karya “Gus” Riduwan Tobatnya Putra Sang Kiai. Buku setebal 360 halaman ini diterbitkan di Surabaya. Buku ini menjelaskan banyak hal. Di antaranya membuktikan bahwa ujaran sesama muslim adalah saudara adalah tidak ada tempat bila itu beda aliran dengan mereka. Pada halaman 324-325 menukil pendapat bahwa salat di belakang ahli bidah adalah pada asalnya dilarang. Tidak boleh bersikap kasih sayang, kalau meninggal agar para imam dan ahlul Ilmi agar tidak mensalati. Tahukah anda, sasaran yang dianggap ahli bidah ini kalau di Indonesia siapa?
2. Buku Mahrus Ali berjudul Tak Ingin Jadi Kiai? Buku ini diterbitkan juga di Surabaya. Buku setebal 332 halaman ini pada halaman 138-144 menjelaskan pendapat agar jangan duduk dengan ahli bid’ah, kalau berpapasan dengan ahli bidah agar mencari jalan lain, bahkan melaknat ahli bidah bukanlah ghibah. Pada halaman 145-146 malah dijelaskan bilamana ada buku yang isinya sarat dengan bid’ah seperti al-Hikam, al-Futūhāt al-Makkiyah dll, maka hukumnya harus dilenyapkan dengan cara dibakar atau dilunturkan tintanya. Tahukah anda, sasaran yang dianggap ahli bidah ini kalau di Indonesia siapa? Juga tahukah siapa penggemar kitab al-Hikam dll di Indonesia?
3. Mahrus Ali dalam buku Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah yang dianggap Sunnah. Buku ini tebal isi 727 terbit di Surabaya. Pada halaman 3-9 menulis hari perayaan yang menurutnya bidah dan sesat. Ada sekitar 152 hari perayaan yang dianggap bidah dan sesat. Misalnya HUT Depag, hari Kowal, hari lahir NU, HUT HMI, peringatan PETA, hari kehakiman, hari Kostrad, milad IMM, hari TNI AU, hari Kopassus, hari pembebasan Irian Barat, hari Bhayangkara, maulid Nabi, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain.
4. Drs. H. Buchori dalam buku Mustasyar MWC NU Membedah Kitab Tauhid Kiai Ahli Bid’ah. Buku ini terbit di Surabaya tebal 569. Dalam endorsement buku ini djelaskan bahwa aqidah Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah bertentangan aqidah Depag, aqidah Imam Syafi’i, Aqidah empat mazhab, aqidah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, bertentangan dengan hadis sahih yang bisa jatuh pada ingkar hadis, bertentangan dengan ayat Alquran yang bisa jatuh kufur kepada Allah. Lalu dianggap identik dengan aqidahnya Syiah dan Jahmiah.
Editor: MZ