Andri Rosadi Dosen Antropologi UIN Imam Bonjol, Padang

Siapa Berani Ganti Pancasila?

1 min read

Salah satu partai dengan eksplisit mencantumkan dalam platformnya: kembali ke Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila versi ini adalah yang dikemukakan oleh Soekarno, sementara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah versi 22 Juni 1945, yang lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta, minus 7 kata. Perbedaan antara dua versi ini cukup substantif, baik dari segi urutan maupun konten. 

Lantas, pertanyaannya adalah: 1. Apakah usaha untuk kembali ke Pancasila versi 1 Juni bagian dari usaha untuk mengelaborasi makna Pancasila dalam Pembukaan UUD?  Jika iya, apakah konten dan urutan yang berbeda bisa digunakan sebagai bagian dari core element of interpretation? Jika iya, tentu saja hasilnya akan berbeda, untuk tidak dikatakan menyimpang.

Dengan kata lain, akan lahir Pancasila baru, walau dengan packaging lama. Ibarat ingin membuat coto Makasar, namun dengan bumbu soto Padang. Namun, karena modal untuk beli bumbu, tukang masak, alat masak dan dapurnya “milik sendiri”, maka saya dengan jumawa masih bisa ngotot bahwa yang saya masak itu adalah coto Makasar. Masalah bumbu dan urutan masak yang beda, saya masih bisa berkilah karena hegemoni power yang saat ini terkonsentrasi di tangan;

2. Jika jawabannya tidak, apakah usaha tersebut bisa disebut sebagai bagian dari usaha untuk mengganti falsafah negara, walau dengan cara legal melalui mekanisme dan lembaga demokrasi? RUU HIP adalah refleksi dari pertarungan di arena tinju yang belum usai. Fase awal kemerdekaan hanya berhasil memendam perseteruan itu, namun gagal menyelesaikan. Ketulusan elemen umat Islam yang direpresentasikan oleh para tokoh politiknya untuk menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta ternyata belum pernah dianggap cukup. Umat Islam dituntut untuk “berkorban” lebih banyak lagi, dengan menyetujui versi 1 Juni.

Baca Juga  Karena Kita Bukan Nabi Khidir

Ungkapan-ungkapan bombastis beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa “Saya Indonesia, saya Pancasila”, mendapat referensi pemaknaan yang jelas dengan kemunculan RUU HIP ini. Sebagai warga Negara, lahir dan batin saya setuju dengan ungkapan “saya Indonesia”, namun, dengan jiwa dan raga juga, saya menentang ungkapan “saya Pancasila” jika pemaknaannya merujuk  pada pembonsaian menjadi Trisila dan Ekasila.

Dengan kasus ini, maka yang lebih tepat dengan ungkapan beberapa waktu lalu sebenarnya adalah: “saya Indonesia, saya Pancasila versi 1 Juni”. Ungkapan ini lebih menjelaskan, mudah dipahami dan pada saat yang sama, memiliki kekuataan distingtif.

Jika inisiator RUU HIP ini tidak mendapat implikasi hukum apapun, maka usaha FPI untuk kembali menghidupkan 7 kata dalam Piagam Jakarta harus kita terima dengan segala konsekuensinya. Pancasila, dalam konteks ini  harus kembali kita terima sebagai arena tempat berbagai pemaknaan berkontestasi; ia bukanlah acting agent yang menafsirkan. Oleh sebab itu, mencari legitimasi pada Soekarnoisme tidak akan membantu memberi penjelasan apapun.

Wallahu A’lam.

Andri Rosadi Dosen Antropologi UIN Imam Bonjol, Padang