Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan

Cyber Harassment terhadap Bunga Citra Lestari: Objektivikasi Perempuan dan Janda

3 min read

“Mengingatkan saudaraku semua bahwa: hari Senin 29 Juni 2020 M./8 dzul qa’dah 1441 H. adalah hari terakhir masa iddah Bunga Citra Lestari. Hanya saling mengingatkan. Semoga berkah”.

Begitu pesan WhatsApp (WA) atau status di Facebook (FB) terkait dengan Bunga Citra Lestari (BCL), artis ternama yang ditinggal meninggal oleh suaminya Sinclair Ashraf pada 18 Februari 2020 silam, menyebar beberapa hari lalu. Sejauh penelusuran saya, penyebarluasan pesan dengan foto BCL yang tersebar di WA menggunakan jilbab biru, sedang di FB tidak menggunakan jilbab.

Penyebarluasan foto dengan informasi yang saya yakin tidak berasal dari BCL, kemudian mendorong komentar-komentar yang merendahkan BCL dapat dikategorikan sebagai doxing, sebuah bentuk pelecehan siber (cyber harassment). Pelecehan siber terhadap perempuan terkadang disebut dengan cybersexism atau cybermisogyny, yaitu yang secara khusus menargetkan perempuan dan anak perempuan sebagai obyek pelecehan.

Diantaranya melalui penggunaan foto yang dimanipulasi dan deskripsi seksual eksplisit tubuh mereka. Foto-foto anak perempuan dan perempuan sering digunakan tanpa persetujuan mereka dan/atau dimanipulasi sehingga mereka muncul dalam adegan atau foto tidak pantas atau digunakan dalam meme.

Narasi yang dibangun dalam informasi, foto dan komentar menyasar BCL sebagai seorang perempuan dan status jandanya. BCL mendapatkan dua lapis pelecehan yaitu karena ia perempuan dan karena ia janda.

Terminologi janda dan duda sebenarnya mengacu pada arti yang sama, yaitu orang yang tidak bersuami/beristri lagi baik karena bercerai ataupun karena ditinggal meninggal. Namun, istilah ini berlaku berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Status duda lebih bernilai positif dibandingkan janda yang dipenuhi streotipe. Menjadi janda, berarti seluruh prilaku akan diawasi dengan penuh prasangka, baik oleh laki-laki maupun perempuan sendiri. Seperti, ketika BCL kembali beraktifitas ‘manggung’ sebelum empatpuluh hari kematian suaminya, atau ketika BCL menggunakan pakaian yang memperlihatkan lututnya maka muncul tuduhan tidak pantas.

Baca Juga  Ada Rasulullah di Antara Aisyah dan Khadijah

Sama sepertihalnya kekerasan berbasis jender lainnya, pelecehan dan streotipe janda terjadi dalam dunia nyata, dan kini berkembang melalui fasilitas teknologi, salah satunya berbentuk cyber harassment ini.

OBJEKTIFIKASI SEKSUAL JANDA

Dalam masyarakat patriarki, menjadi perempuan apalagi janda bukanlah hal mudah. Perempuan masih dipandang sebagai obyek seksual lelaki, terlebih ketika menyandang status janda. Sebutan “janda kembang”, “janda kaya”, “janda muda”, atau “rondo kempling” hanya bagian kecil streotipe terhadap janda. Bahkan terdapat dua puluh singkatan janda yang tak pantas untuk disampaikan disini.

Pertanyaannya mengapa kita memberikan streotipe terhadap seorang perempuan yang sedang berduka atau berjuang menghidupi diri dan anaknya?

Lyn Parker & Helen Creese dalam kata pengantar atas hasil penelitian tentang stigma janda di Indonesia menilai bahwa di Indonesia seorang perempuan harus terikat pada seorang laki-laki. Yaitu melalui pernikahan, hanya berhubungan seks dengan suami, melahirkan dan merawat anak.

Perempuan seperti itu adalah citra ibu: istri yang setia, ibu rumah tangga yang berbakti dan ibu yang pengasih – teladan kebajikan. Negara telah menumbuhkan ideologi gender berdasarkan citra ibu diatas terutama selama periode Orde Baru Soeharto. Perempuan yang tidak memenuhinya – apakah karena pilihan, kebetulan atau keadaan – akan menderita streotipe, tersingkir dan marginalisasi.

Lyn menyimpulkan streotipe janda muncul karena perempuan tidak lagi berada dalam pernikahan, tidak memiliki pasangan laki-laki, ia kehilangan status ibu yang dihormati dan dianggap terbuka untuk berhubungan intim dengan lelaki lain. Dengan kata lain, janda adalah antitesis dari ibu yang ideal.

Janda, terutama apabila masih muda dan menarik, dianggap tidak bermoral dan penuh birahi. Laki-laki berfantasi seksual mengenai janda, sementara perempuan yang sudah menikah takut bahwa janda akan menggoda suami mereka. Streotipe ini dipopulerkan melalui film, lagu, sinetron juga gosip dari mulut ke mulut yang terus mereproduksi dan membakukan citra ini.

Baca Juga  [Cerpen] Tamu Bulanan Itu Akhirnya Datang

Selain obyektifikasi seksual, ketika ideologi peran jender menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama, dan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan bukan pencari nafkah, mempengaruhi daya tawar janda. Karena sebagian besar tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, janda dianggap tidak memiliki nilai tawar lain selain tubuh dan seksualitasnya.

Berbeda dengan duda yang dianggap punya nilai tawar lain berupa kemampuan untuk bekerja. Ketergantungan ekonomi dan kerentanannya dimanfaatkan dengan tawaran menjadi isteri kedua atau isteri simpanan. Hal ini misalkan nampak dari pernyataan Bupati Lumajang Thoriqul Haq yang menyatakan janda berumur 20 tahun jangan dikasih BLT Dana Desa, dicarikan suami saja.

Streotipe dan pemiskinan janda terjadi di lingkungan keluarga saya. Misalkan tiga tahun yang lalu, kolega saya meninggal dunia dan meninggalkan isteri dan satu orang putri. Paska kematiaan suaminya, komentar-komentar di status facebooknya tentang apapun akan dikaitkan dengan status jandanya. Akhirnya ia memilih menutup akunnya.

Sedangkan kakak ipar saya, yang tiba-tiba harus menjanda dengan dua putri dan terpaksa membuat kue, pedagang kue keliling yang dahulu adalah anak buah kakak saya menolak kuenya karena isterinya cemburu. Atau ibu saya yang baru bercerita keputusan menjual seluruh asset di Jakarta dan pindah ke Tasikmalaya, salah satunya karena risih terus didatangi ‘Pak Haji’ tetangga depan toko kami.

Sebagai anak yang dibesarkan oleh ibu yang menjanda sampai akhir hayatnya, mendukung kakak ipar yang menjanda dan menemani para perempuan yang memilih menjanda untuk lepas dari kekerasan rumah tangga saya tidak menemukan streotipe bahwa janda adalah penggoda, perebut suami orang ataupun penuh birahi.

Tidak ada perempuan yang dari awal mengingikan menjadi janda. Dibutuhkan waktu panjang untuk menerima dan bangkit kembali setelah ditinggal pasangan hidup. Dibutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka batin akibat kekerasan rumah tangga yang diterima. Keberlangsungan hidup dan pendidikan anak menjadi tujuan pencapaian para janda. Itu sangat terhormat.

Baca Juga  Huda Shaarawi: Perintis Pergerakan Wanita yang Mengakhiri Kehidupan Harem di Mesir

Memberikan streotipe, memproduksi meme, doxing, atau membagikan cyber harassment tidak akan membantu janda, dalam hal ini BCL untuk bangkit. Sebagai penutup, saya mengajak para lelaki untuk menjawab: Bagaimanakah perasaan istri anda, jika ia dijadikan obyek fantasi seksual lelaki lain, fotonya disebar tanpa ijinnya, dikomentari tak pantas atau dibuat meme setelah kematian anda?

Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan