Untuk apa sebuah pernikahan dilakukan? Pertanyaan ini terkesan sederhana, tapi penting diutarakan kalau kita ingin membicarakan sebuah pernikahan.
Saat ini kita sedang sedang dikagetkan dengan sebuah wedding organizer (WO) yang bernama Aisha Weddings, yang mempromosikan perkawinan anak, sirri, dan poligami. Dengan sangat percaya diri, WO ini mengiklankan dirinya sebagai lembaga yang secara ketat mengikuti syariat Islam.
Jika ini hanyalah sebuah trik bisnis, maka betapa nistanya WO ini. Setiap usaha bisnis sah-sah saja membuat promo yang menarik untuk memikat konsumen. Namun menjadikan agama tidak lebih dari sekedar mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek maslahah (kebaikan) yang menjadi tujuan utama disyariatkannya Islam, sungguh perbuatan yang nista.
Apakah hubungan seksual dalam sebuah perkawinan penting? Ya. Bahkan dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda:
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »
“Dan hubungan intim suami-istri di antara kalian adalah sedekah”. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami mendatangi istri kami dengan syahwat dan mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada wanita yang haram, kalian mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika kalian bersetubuh dengan wanita yang halal, kalian akan mendapatkan pahala” (HR. Muslim).
Apakah hanya dengan hadits di atas perkawinan semata-mata soal seks? Jelas tidak. Apalagi jika urusan seksual ini semata-mata hanya dilihat dari sudut pandang kepuasan biologis laki-laki. Tapi justru inilah yang dipromosikan oleh Aishah Weddings yang mendorong pernikahan anak dengan menyatakan: “Jangan tunda pernikahan karena keinginan egoismu, tugasmu sebagai gadis adalah melayani kebutuhan suamimu.”
Jika Aisha Weddings menyatakan dirinya secara ketat mengikuti al-Qur’an, WO ini bahkan mengabaikan sebuah ayat al-Qur’an yang sangat terkenal karena seringnya dikutip di hampir setiap resepsi pernikahan keluarga Muslim. Dalam Surat al-Rumm, Allah berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya; dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya di dalamnya terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ketika Allah menggambarkan perpasangan antara laki dan perempuan pun, Allah dengan sangat indah melukiskan rasa kasih dan sayang di antara keduanya. Perasaan kasih sayang yang terjalin antara laki-laki dan perempuan hanya mungkin terbangun dalam relasi yang setara dan sadar, bukan anak-anak yang dikawinkan dengan seorang laki-laki, tanpa menyadari perasaannya sendiri dan konsekuensi sebuah perkawianan.
Ketika mendapat serangan dari publik terkait dengan promosi pernikahan anak-anak, Aisha Weddings membuat pembelaan yang justru sangat menyakitkan hati. Inilah pembelaannya: “Beberapa keluarga tidak punya uang untuk anaknya. Lebih baik menikah daripada mati kelaparan….”
Apa yang ada di benak humas Aisha Weddings ketika menulis hal tersebut? Apakah anak perempuan hanya dipandang sebagai beban orang tua? Apakah anak perempuan menjadi alat tukar bagi orang tua untuk mendapatkan sesuap nasi? Jika anak perempuan dipandang tidak lebih sebuah benalu keluarga dan pernikahan tidak lebih hanyalah cara orang tua untuk menukar anak perempuannya dengan kekayaan, adakah yang lebih nista dari ini?
Kelompok-kelompok yang mendorong pernikahan anak, termasuk Aisha Weddings ini, selalu berdalih dengan pernikahan antara Nabi Muhammad dan Sayyidah Aisyah yang saat itu berusia enam atau tujuh tahun, dan mengawali kehidupan rumah tangganya saat berusia sembilan tahun. (Perlu juga dipertimbangkan pendapat lain bahwa usia Sayyidah Aisyah ketika menikah dengan Nabi Muhammad adalah tujuh belas atau sembilan belas tahun, dan memulai rumah tangganya saat berusia sembilan belas tahun).[1]
Terhadap dalih ini, kita bisa menyatakan, mengapa harus usia Aisyah yang dijadikan patokan sunnah? Mengapa bukan usia Khadijah yang menikah dengan Nabi Muhammad dalam status sebagai janda usia empat puluh tahun? Mengapa Aisha Weddings menyarankan agar perempuan harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih? Jika mau sungguh-sungguh menjadikan usia Sayyidah Aisyah sebagai sunnah, mengapa tidak sekalian menyuruh anak perempuan usia enam tahun untuk menikah? Mengapa masih malu-malu membuat batas bawah di usia 12 tahun? Jika memang betul-betul berdalih mengikuti sunnah, atas dasar apa membuat batas atas 21 tahun?
Jelaslah bahwa ini hanyalah sebuah bisnis WO yang menjadikan agama tak lebih sebagai alat promosi. Yang membahayakan dari cara ini adalah mengabaikan aspek perlindungan terhadap anak perempuan. Islam yang sejak awal memperjuangkan perempuan untuk mendapatkan statusnya sebagai manusia dengan harkat dan martabat yang mulia kembali dinistakan sebatas benalu keluarga. Pernikahan yang disyariatkan dengan tujuan mulai dibelokkan tidak lebih dari sekedar pertukar anak perempuan dengan harta benda. Menjadikan Sayyidah Aisyah RA yang mulia sebagai dalih bagi laki-laki untuk mendapatkan perempuan-perempuan muda yang tak berdaya, dengan dalih sunnah.
Bayangkan, jika banyak perempuan muda yang tak berdaya ini masuk dalam pernikahan di mana lelaki yang menjadi suaminya itu adalah seorang teroris. Akan kemanakah para perempuan ini? Sekedar membayangkan! (mmsm)
catatan kaki:
[1] Lihat Yusuf Hanafi, “Kontroversi Usia Kawin Aisyah RA dan Kaitannya dengan Legalitas Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam Islam,” Istinbáth Jurnal of Islamic Law/Jurnal Hukum Islam, vol. 15, No. 2 (Desember 2016).