Sebelumnya: Bukan Hanya Orang… (1)
Di dalam tradisi keilmuan pesantren, terutama dalam bidang ilmu fiqh, sebetulnya ide pribumisasi Islam bukanlah sesuatu yang asing. Karena fiqh menyangkut hukum yang harus diikuti umat islam, maka ilmu ini tidak mungkin menghindar dari berbagai peristiwa yang itu sepenuhnya bersifat lokal dan baru.
Strategi pribumisasi Islam juga adalah cara untuk melayani masyarakat di luar komunitas santri. Tanpa mendekatkan diri dengan budaya lokal, komunitas santri akan kehilangan bahasa untuk berdialog dengan komunitas di luar dirinya. Melalui pribumisasi Islam, komunitas santri akan berjumpa dan berdialog dengan komunitas lain, yang itu bisa menjadi jalan untuk berhikmad pada masyarakat luas.
Pribumisasi Islam juga bisa berwujud cara memahami teks-teks suci. Ada beberapa hadits yang makna literalnya mungkin akan problematik jika diterapkan secara harfiyah di luar konteks ketika hadits itu disabdakan. Gus Dur mencontohkan dengan hadits yang mendorong umat Islam untuk memperbanyak anak karena di akhirat Rasulullah akan membanggakan umatnya di depan nabi-nabi lain. Pemaknaan harfiyah hadits ini bisa mengarah pada memperbanyak jumlah anak tanpa menghiraukan kualitasnya.
Melalui pribumisasi Islam, Gus Dur mendorong untuk melakukan pemaknaan ulang yang melampaui bunyi harfiyah teksnya dengan melontarkan pertanyaan, apa yang menjadi kebanggan Nabi Muhammad terhadap umatnya? Apakah kebanggaan itu semata-mata terkait jumlah ataukah kualitasnya? Apakah kebanggaan ini juga menyangkut tentang pemenuhan persyaratan yang layak sebagai manusia, misalnya, pendidikan, sandang, pangan, papan, dsb?
Jadi, gagasan pribumisasi Islam tidak semata-mata tentang mendekatkan jarak Islam normatif dengan kebudayaan lokal, tapi lebih dari itu adalah cara memahami ajaran Islam normatif sesuai dengan konteksnya. Secara tegas Gus Dur menjelaskan bahwa “Pribumisasi berarti mengikuti jalan pikiran yang sedang berkembang di masa tertentu” (Imron Hamzah & Choirul Anam [peny.], Gus Dur Diadili Kiai-kiai, 1989:37).
Dengan melihat penjelasan Gus Dur atas gagasan pribumisasi Islam, jelas bahwa pribumisasi Islam bukanlah gagasan tertutup, tapi terbuka terhadap tantangan-tantangan baru. Pribumisasi Islam bukan hanya deskripsi atas realitas Islam lokal, tapi tawaran epistemologis dalam bingkai pemikiran Islam. Pribumisasi Islam bukan strategi Islamisasi. Pribumisasi Islam bukan satu fase menuju Islamisasi/ Arabisasi/ homogenisasi, tapi sikap yang tulus untuk ngemong dan melayani.
Apakah pribumisasi Islam anti-Arab? Pribumisasi Islam mengakui keragaman etnis dan kesetaraan manusia, sehingga pribumisasi Islam tidak anti-Arab. pribumisasi Islam tidak kehilangan kritisisme atas berbagai “praktik tak baik” budaya. Pribumisasi Islam tidak terkait dengan akidah tanpa menutup diri dari pengayaan keyakinan melalui perjumpaan dengan keyakinan lain.
Sebagai praktik dan produk, pribumisasi Islam berada di level lokal, tapi transendensi nilai-nilainya mengatasi batas-batas lokalitas. Pribumisasi Islam adalah strategi membumikan ajaran-ajaran langit. Karena itu, primbumisasi Islam sesungguhnya adalah keniscayaan perwujudan Islam di manapun, termasuk di Arab. Pribumisasi Islam juga sudah terjadi di era Nabi Muhammad, bahkan di setiap rasul. Karena, sesungguhnya hadirnya agama dalam kehidupan manusia adalah proses mendialogkan wahyu dengan realitas di bumi.
Pribumisasi Islam adalah proses dialektika antara universalitas Islam dengan lokalitas. Pribumisasi Islam bukan pembauran Islam dan budaya; bukan sinkretisme; bukan juga meninggalkan ajaran Islam demi budaya, tapi ekspresi Islam yang sanggup menampung kebutuhan budaya tanpa kehilangan sikap kritis terhadap berbagai praktik budaya yang tidak baik.
Nilai-nilai pribumisasi Islam tertancap dalam prinsip maslahah ‘ammah (kebaikan bersama). Melalui pribumisasi Islam, kita bisa memelihara nilai-nilai baik yang sudah ada; mengganti nilai lama yang tidak baik; dan menciptakan sesuatu yang baru (kreatif).
Pribumisasi Islam memungkinkan umat Islam untuk selalu engage dengan problem-problem kemanusiaan aktual. Pribumisasi Islam menekankan pada rekonsiliasi dengan sikap empati kepada mereka yang berbeda. Dalam konteks kebangsaan, pribumisasi Islam mengakui kesetaraan warga negara
Mengapa Perlu Pribumisasi Islam?
Menjadi Muslim yang baik tidak harus tercerabut dari akar budayanya. Menjadi seorang Muslim Indonesia tidak perlu menjadi orang Arab. Arab tidak menjadi standar tunggal ber-Islam.
Pribumisasi Islam adalah sebuah komitmen. Komitmen membangkitkan umat Islam melalui dinamisasi di dalam umat Islam sendiri. Melalui pribumisasi Islam, Islam akan terus dihidupkan dengan menghubungkannya dengan problem-problem kemanusiaan riil. Dengan cara ini, pribumisasi Islam juga adalah self criticism karena konservatisme yang membatu adalah salah satu “penyakit” yang menghinggapi hampir seluruh umat beragama, termasuk umat Islam.
Dalam konteks hubungan antar-agama, Islam pribumi menjadi cultural sphere lintas-kelompok, tak peduli agamanya apa. Saat di mana isu agama menjadi bahan gorengan untuk memecah belah bangsa, gagasan pribumisasi Islam bisa jadi adalah obat yang bisa dipertimbangkan. (mmsm)