Centung! Gadget di saku saya berbunyi, menandakan ada pesan WA yang masuk. Saya membukanya, ada pesan dari bos saya yang merupakan seorang profesor muda dan prolific. Saya meneleponnya untuk memperjelas informasi. Dia meminta saya untuk menggantikannya sebagai juri dalam acara Pemilihan Pemuda Pelopor Tingkat Nasional yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, karena pada saat yang bersamaan, bos saya ini memiliki acara lain yang tidak mungkin ditinggalkan.
Tentu saja, saya meng-iya-kannya. Kesediaan saya semata-mata karena ini adalah mandat atasan sekaligus hubungan baik yang terjalin di antara kami. Terhadap acaranya itu sendiri, saya tidak terlalu berharap banyak. Bahkan ketika berangkat, saya rasanya masuk kategori vacationer, yaitu orang yang mengikuti sebuah acara bukan karena didorong oleh passionterhadap acaranya itu sendiri, tapi lebih sebagai “plesir” untuk keluar dari rutinitas sehari-hari yang melelahkan.
Acara-acara seperti ini tidak jarang menjadi agenda rutin yang begitu-begitu saja. Harus diadakan karena ia menjadi skema untuk menyerap anggaran. Apalagi ini sudah akhir tahun di mana semua kementerian dituntut untuk segera menghabiskan anggaran agar terlihat betul-betul telah bekerja sesuai dengan mandat undang-undang.
Saya pernah dicurhati seorang teman yang menjadi pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), di mana kelompok dampingannya menjadi juara dalam kategori Kelompok Usaha Bersama (KUBE), sebuah program komplementer bagi keluarga penerima manfaat PKH. Yang menyesakkan dada adalah hadiah yang menjadi hak pemenang kelompok keluarga miskin itu tidak pernah sampai ke tangan yang berhak. Betapa bobrok dan korupnya para birokrat kita, bahkan uang receh untuk para keluarga miskin pun diembatnya.
Karena itulah, sehari sebelum acara, ketika saya memberitahu seorang teman tentang acara tersebut, teman saya bertanya, “Apakah kamu yakin acara-acara begini bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik?” Saya menjawab, “I’m not sure. I’m here just because of my bos instruction.”
Bertemu Pemuda-Pemudi Hebat
Ketika saat penjurian tiba, tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengoreksi sepenuhnya su’udzan dalam kepala saya. Acara dimulai pukul 08:30 WIB ini membuat mata saya terbelalak. Saya ternganga! Ini adalah ajang bagi para pemuda hebat yang telah melakukan berbagai rintisan mulia dan hebat untuk bangsanya. Sekalipun acara baru berakhir pukul sembilan malam lebih, antusiasme saya tetap terjaga.
Di hadapan mereka, saya sungguh-sungguh malu. Mereka anak-anak muda, sebagian besar hanya lulusan SLTA, bahkan ada yang hanya lulus SD, tapi sanggup melakukan sesuatu yang besar untuk kebaikan masyarakat di wilayahnya. Seluruh pemuda ini mengawali kiprahnya dengan semangat dan tekad, menggerakkan lingkungan terkecilnya untuk berjuang bersama, menggunakan uang recehnya untuk membangun sesuatu, tanpa bantuan dari negara.
Negara baru hadir saat mereka telah berhasil membuktikannya. Para pejabat kemudian muncul dan memujanya. Ketika kami, para juri, bertanya ke beberapa peserta, apakah pemerintah memberi dukungan? Mereka menjawab ‘ya’. Tapi dukungannya hanya sekedar Kata sambutan, pujian, dan doa. Dan, para pemuda ini datang ke ajang pemilihan mewakili daerahnya. Ironi!
Sebegitu malunya saya, hingga setiap kali saya melontarkan pertanyaan, saya selalu mengawalinya dengan pujian yang tulus. Saya katakan pada mereka bahwa menjadi juara atau kalah dalam acara pemilihan ini sama sekali tidak mengecilkan kemuliaan dari apa yang sudah mereka lakukan.
Tentu saja, saya bisa membedakan mana peserta yang harus saya beri nilai tinggi dan mana rendah, sekalipun tidak jarang saya sungguh-sungguh mengalami kesulitan dan perasaan tak enak hati ketika harus memberi nilai rendah. Namun, acara ini telah berhasil menumbuhkan kembali optimisme saya terhadap masa depan negeri ini.
Rasanya klise mengambil quote dari Presiden Pertama kita, “Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncang dunia”, tapi itulah yang saya rasakan. Di tangan para pemuda, nasib Indonesia dipertaruhkan. Dan, di tangan para pemuda hebat ini, kita bisa berharap bahwa menjadi negara yang adil dan makmur untuk seluruh warganya bukanlah mimpi di siang bolong. Bersambung… [AA]
Selanjutnya: Dihadapan Mereka, Saya Malu (2), Di Hadapan Mereka, Saya Malu (3)