Aruna adalah sebuah perusahaan yang mengembangkan aplikasi jual beli online yang fokus pada sektor perikanan laut. Perusahaan ini dirintis oleh Utari Octavianty, seorang pemudi yang tumbuh di lingkungan nelayan miskin di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dalam CV-nya, dia memperkenalkan dirinya sebagai Co-Founder sekaligus Chief Sustainability Officer Aruna. Usianya kini baru kepala dua. Benar-benar anak muda.
Pengalaman hidupnya sebagai anak dari desa pesisir miskin yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Telkom Bandung dan University of Oxford Said Business School membuatnya bertekad untuk mengabdikan ilmunya untuk menyejahterakan nelayan Indonesia. Misinya adalah menjadikan laut sebagai sumber kehidupan yang menyejahterakan untuk semua orang.
Ironi sektor kelautan Indonesia telah banyak diketahui. Nilai ekonomi perikanan dan kelautan Indonesia mencapai USD 1,2 Triliun per tahun. Indonesia menjadi produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah China. Indonesia juga penghasil tuna nomor satu di dunia. Sumber rumput laut Indonesia adalah yang terbesar di dunia.
Mirisnya, penghasilan bulanan para nelayan Indonesia sangat rendah. Hampir tiga juta nelayan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dan menyumbang 25% dari rata-rata kemiskinan nasional. Karena sektor ini tidak bisa menjadi tumpuan kesejahteraan hidup, tidak heran jika dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah nelayan Indonesia turun hingga lima puluh persen.
Aruna mengembangkan teknologi aplikasi yang mempertemukan antara nelayan dengan pembeli diseluruh dunia untuk memutus mata rantai jual-beli yang seringkali meninggalkan si nelayan tetap dalam kemiskinan. Melalui Aruna, para nelayan tahu apa yang sedang dibutuhkan para pembeli, sehingga mereka menangkap ikan sesuai kebutuhan.
Mereka terlibat langsung dalam transaksi sehingga tidak menjadi korban dari para pengambil rente. Untuk mendekatkan para nelayan tradisional ini dengan model online trading, para pemuda kampung yang sudah familiar dengan teknologi dijadikan sebagai local heroes untuk membantu nelayan menggunakan aplikasi. Para tengkulak yang selama ini beroperasi sebagai pengijon yang mencekik nelayan dirangkul menjadi petugas quality control. Ibu-ibu yang biasanya menjumputi sisa-sisa ikan yang ditinggal para tengkulak dilibatkan dalam pekerjaan proses produksi.
Selama ini, pendapatan rata-rata seorang nelayan adalah USD 84 per bulan. Melalui Aruna, pendapatan minimum seorang nelayan melonjak hingga tiga kali lipat (USD 240). Bahkan, ada nelayan yang pendapatannya sampai tembus USD 1.035 per bulan. Sementara, para perempuan yang bekerja di bidang proses produksi bisa mendapat pemasukan antara USD 100-410.
Saat ini, Aruna berjejaring dengan 23.000 nelayan, tersebar di 48 titik lokasi dari ujung atas pulau Sumatera hingga Papua, dan memasarkan dua puluh lebih komoditas. Jangkauan pembeli mancanegara terrentang dari Korea hingga pasar Amerika Serikat. Ketika kami bertanya berapa omzetnya, Utari memberi gambaran bahwa barusan ada investor masuk dengan menggelontorkan dana sebesar lima ratus milyar rupiah.
Melihat prestasi yang sudah didapatkan, dia sebetulnya tak perlu untuk datang di ajang ini. Pada tahun 2018, Aruna keluar sebagai Gold Winner ASEAN ICT Award for Private Sector; Juar pertama Fishackaton; menyabet The Grand Winner dari Alipay-NUS Enterprise Social Innovation Challange; ditetapkan Majalah Tempo sebagai Startup of the Year 2019 kategori Social Impact; juga menggondol The Most Social Impact Startup 2019 dari Kemenristekdikti. Kini, Aruna telah masuk ke dalam Forbes 30 Under 30 Class of 2020, Forbes Asia.
Untuk apa dia harus berpayah-payah menunggu berjam-jam panggilan panitia untuk masuk ke dalam ruang presentasi? Kalaupun ada dampaknya bagi bisnisnya, tentu itu tidak signifikan. Tapi dia tetap “harus” datang karena mewakili daerahnya. Bersambung… [AA]
Selanjutnya: Di Hadapan Mereka, Saya Malu (3)
Sebelumnya: Di Hadapan Mereka, Saya Malu (1)