Akhir bulan Desember mengingatkan kita pada sosok yang kerap disebut sebagai “Bapak Pluralisme”. Siapa lagi kalau bukan Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang lebih kita kenal dengan sapaan Gus Dur. Tepat 11 tahun lalu sosok berkacamata dengan humor yang renyah itu pergi meninggalkan kita.
Mengingat kembali gagasan serta perjuangan yang dilakukan Gus Dur semasa beliau hidup, rasanya masih belum tuntas. Berkat pemikiran Gus Dur yang sering dianggap penuh kontroversi dan sering memicu perdebatan, masyarakat Indonesia dapat merasakan dan memahami apa itu toleransi yang sesungguhnya. Hasil pemikiran yang dipadukan dari ilmu agama, ideologi, serta sesuai dengan perkembangan zaman (Amin, 2020).
Kembali ke tahun 2001 saat Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan oleh MPR. Ketika di tahun 2004 dirinya gugur pada pencalonan presiden. Meski tidak tuntas saat memimpin Indonesia. Namun, banyak yang telah Gus Dur selama masa kepemimpinannya. Bahkan, berkat beliau Imlek termasuk sebagai Hari Libur Nasional. Gus Dur bersama Kabinet Persatuan Pembangunan mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Kelautan dan Perikan pertama.
Gugurnya Gus Dur dalam pencalonan presiden pada pemilu tahun 2004 menjadikan hak konstitusional bagi penyandang Disabilitas hilang. Konvensi mengenai hak-hak disabilitas diatur dalam Convention on the Right of Person with Disabilities (CRPD) dan menyebutkan hak disabilitas terkait partisipasi dalam kehidupan politik dan publik. Pada pasal 29 poin (ii) disebutkan bahwa disabilitas memiliki hak penuh untuk dipilih dan memilih.
Jika saja Gus Dur memimpin Indonesia dengan tuntas, maka beliau akan menjadi presiden pertama Indonesia dengan riwayat disabilitas netra. Sayangnya, pertimbangan KPU pada pemilu tahun 2004 mensyaratkan bahwa calon pemimpin negara haruslah sehat secara jasmani dan rohani. Hal tersebut benar-benar menutup kesempatan disabilitas untuk mendapatkan haknya sebagai pihak yang dipilih.
Tentu saja dalam tatanan undang-undang telah disebutkan sedemikian rupa hak-hak bagi disabilitas. Baik dalam CRPD maupun Undang-undang Negara Republik Indonesia. Namun, pada praktiknya apakah juga demikian? Meski memiliki riwayat disabilitas netra secara permanen, Gus Dur tetap berkarya melalui banyak tulisan, gagasan, serta pemikiran yang sejalan dengan perkembangan zaman.
Pemenuhan hak dan akses bagi disabilitas masih minim terjadi. Tempat umum yang paling banyak disoroti terkait hal ini adalah masjid. Guiding blok bagi disabilitas netra masih jarang ditemui. Bidang miring bagi disabilitas daksa juga berlaku demikian. Bahkan, pernah ditemui orang awam mengatakan bahwa pengguna kursi roda dan kruk tidak diperkenankan memasuki masjid karena dianggap membawa najis. Lalu dari mana sikap toleransi kita antar umat dapat dipupuk?
Gus Dur juga sempat menyuarakkan hak konstitusionalnya dan hak disabilitas netra lainnya lewat gugatan pengadilan. Hasilnya tetap nihil. Hakim tidak mengabulkan gugatan Gus Dur (Sanda, 2020). Penegakan sikap anti diskriminasi oleh penyandang disabilitas masih minim kita temui. Selain dari faktor keberpihakan sasaran, masih banyak yang menganalogikan disabilitas sebagai orang yang tidak bisa hidup mandiri.
Dalam perspektif Islam, disabilitas diidentikkan dengan dzawil ahyat atau orang-orang yang memiliki keterbatasan. Gus Dur memang memiliki keterbatasan dalam penglihatan. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat Gus Dur terbatas dalam menyuarakkan gagasan dan pemikirannya terhadap kaum minoritas. Bahkan, berkat kegigihannya menyuarakkan hak bagi kaum minoritas khususnya etnis Tionghoa di tahun 1999, Gus Dur dijuluki sebagai “Bapak Tionghoa” pada 2014 lalu.
Hal ini senada dengan kisah dari sahabat Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Beliau merupakan salah seorang sahabat di zaman Nabi dengan disabilitas netra. Beliau datang kepada Nabi dengan maksud belajar ilmu agama. Disaat yang sama Nabi sedang terburu-buru untuk menuntaskan urusannya bersama pemuka Quraisy. Kemudian turun surat ‘Abasa sebagai peringatan dari Allah kepada Nabi atas sikap acuh beliau terhadap sahabat yang menyandang disabilitas. Sejak saat itu Nabi selalu memuliakannya (Muntaha, 2015).
Pemikiran Gus Dur terhadap kaum minoritas termasuk disabilitas membawa para Kiai Nahdhatul Ulama untuk ikut andil dalam menjunjung tinggi keberadaan disabilitas. Selama ini belum ada hukum fiqih yang membahas tentang bagaimana hukum ijab qabul yang diucapkan melalui bahasa isyarat oleh disabilitas rungu. Apakah pernikahan mereka sah? Bagaimana dengan hukum pernikahan disabilitas yang lain? Hal ini membuat para ulama dari Ormas NU yang kemudian melahirkan sebuah buku untuk menjawab persoalan fiqih dari kaum disabilitas.
Pada tahun 2017 PSLD Universitas Brawijaya Malang bersama LBM (Lembaga Bahtsul Masail) PBNU dan P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) menyusun buku “Fiqih Disabilitas”. Buku tersebut berisi seputar bagaimana para penyandang disabilitas memenuhi rukun ibadah dalam keterbatasan. Diskriminasi terhadap disabilitas daksa tentang kursi roda maupun kruk yang dikatakan najis juga dibahas dalam buku ini.
Jika ditelusuri lebih lanjut tentang keberpihakan politik di Indonesia pada kaum minoritas seperti disabilitas rasanya masih belum sempurna. Selain kasus gugurnya Gus Dur dalam pencalonan dirinya menjadi Presiden, di beberapa tempat ibadah juga masih minim akses untuk disabilitas. Berangkat dari sikap toleransi yang diajarkan Gus Dur, salah satu pondok pesantren di daerah Jawa Tengah mengembangkan pesantren inklusi dengan beberapa siswa disabilitas yang tinggal di sana.
Selain itu, sikap Gus Dur dalam mengayomi kaum minoritas patut kita contoh. Gus Dur tidak hanya menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Beliau juga yang membuat Papua dan Aceh tetap berada dalam NKRI. Tanpa kekerasan. Tanpa paksaan. Sosok Gus Dur menggunakan pendekatan kebudayaan dan humanisme untuk menjawab persoalan di kedua daerah tersebut (Kepresiden, 2019).
Pluralisme dan toleransi antar umat beragam menjadi ciri khas Gus Dur dalam hidup. Beliau merupakan sosok disabilitas netra dengan segudang rasa humanisme yang tinggi. Bagi Gus Dur, agama bukan hanya dijadikan sebagai simbol dan jargon yang hanya menawarkan akhirat. Lebih daripada itu, agama dalam pemikiran Gus Dur dari segi kehidupan bermasyarakat diposisikan sebagai acuan nilai yang mengarah pada sikap dan tindakan umat beragama (Azmi, 2020).
Terkait dengan sikap toleransi antar umat beragam, Gus Dur dikenal baik oleh etnis Tionghoa. Bahkan di nisan makan Gus Dur tertulis “Di sini berbaring pejuang kemanusiaan” yang ditulis ke dalam empat bahasa. Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Tiongkok. Memang benar sosok Gus Dur adalah teman, sahabat, bagi seluruh umat beragama khususnya di Indonesia.
Sebagai sosok disabilitas netra, Gus Dur telah melahirkan karya dan pedoman hidup toleransi antar umat beragama yang tercatat dalam sejarah. Namanya harum dikenang masyarakat. Jasanya melekat di ingatan masyarakat. Semua yang berhubungan dengan masyarakat adalah Gus Dur. Dari Gus Dur kita dapat mengambil pelajaran bahwa keterbatasan bukan halangan untuk berbuat baik. Bukankah Islam telah mengajarkan yang demikian?