Pernahkah mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti: “kalau Tuhan itu Esa, kenapa agama itu banyak?”, “bisakah Tuhan menciptakan Tuhan yang lain?”, atau “bisakah Tuhan menciptakan batu yang sangat berat sampai-sampai saking beratnya Tuhan sendiri tidak sanggup mengangkatnya?”. Pertanyaan-pertanyaan legend yang biasa dikemukakan oleh orang-orang yang katanya ateis, agnostik, atau free-thinker dan sebagainya sebagai pematik paradoks. Orang-orang menganggap pertanyaan itu adalah pertanyaan yang berat. Benarkah demikian?
Perlu kita ketahui bahwa banyak pertanyaan-pertanyaan yang semacam itu pada dasarnya merupakan pertanyaan yang sangat-sangat ringan selagi kita mau berpikir secara logis sepenuhnya. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi berat, biasanya karena kita tidak berpikir logis sepenuhnya dan cenderung melibatkan emosi ke dalamnya. Dan seketika nilai-nilai keyakinan, sentimen moral, dan sejenisnya turut dimasukkan dalam sebuah pertanyaan, tidak heran, kalau kemudian sebuah pertanyaan yang mestinya ringan menjadi terasa berat.
Coba sekarang kita analisis pertanyaan itu satu per satu. Pertama, bukankah pertanyaan “kalau Tuhan itu Esa, kenapa agama itu banyak?” sama halnya seperti pertanyaan konyol yang mempertanyakan kalau sate ayam Cak Mail itu satu kenapa yang berteori tentang sate ayam Cak Mail itu banyak? Kalau sate ayam Cak Mail itu satu dan yang berteori tentang sate ayamnya itu banyak, ya memangnya kenapa? Ada yang berteori bahwa sate ayam Cak Mail itu ayamnya menggunakan ayam kampung, ada yang berteori bahwa sate ayam Cak Mail itu ayamnya menggunakan ayam boiler, atau ayam perkawinan silang antara kampung dan boiler misalkan; tapi sate ayam Cak Mail katanya cuma satu, apa itu menjadi soal?
Pertanyaan yang mempermasalahkan “Tuhan itu Esa” dan “agama itu banyak” sebenarnya adalah pertanyaan yang cacat karena mengaitkan dua pernyataan yang tidak berkaitan sama sekali. Apa yang dimaksud dengan Tuhan adalah konsepsi kita atas sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Mencipta, termasuk yang Esa. Jadi, kalau kita mempersoalkan keesaan Tuhan, berarti yang sebenarnya kita persoalkan ya konsepsi kita sendiri atas Tuhan itu, bukan Tuhannya itu sendiri.
Adapun agama ialah pandangan tentang Tuhan, pemahaman tentang Tuhan, spekulasi tentang Tuhan, dan sistem pengetahuan tentang Tuhan yang sehingga menuntut pemeluknya untuk bersikap dan bertindak sesuatu sebagai konsekuensi atas pandangan, pemahaman, spekulasi, dan sistem pengetahuan tersebut.
Jika faktanya agama itu banyak dan ditanyakan kenapa, maka semua itu ya murni karena manusia yang berkonsepsi atau berpandangan tentang Tuhan mempunyai kompetensi, metodologi, dan latar belakangnya sendiri-sendiri; tidak ada urusannya dengan apakah Tuhan itu Esa atau tidak. Jadi, kalau kemudian kita persoalkan Tuhannya Esa atau tidak karena menengok fakta bahwa agama itu banyak, yang patutnya dipertanyakan sebenarnya adalah kitanya, bukan Tuhannya.
Kemudian pertanyaan yang lebih legend lagi “bisakah Tuhan menciptakan Tuhan yang lain?”, mari kita analisis.
Pertanyaan itu, dimulai dari kita yang menjelaskan atau meyakini bahwa Tuhan itu Esa, kemudian keyakinan itu kita ditambah-tambahkan dengan instrumen-instrumen dan atribut-atribut lain misalnya Esa itu harus tunggal, mutlak, dan seterusnya. Kemudian, kita juga meyakini bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Sehingga, tidak ada sesuatu apapun yang tidak bisa diciptakan oleh Tuhan. Tuhan bisa melakukan apapun yang dia mau. Jadi, kita menambahkan atribut-atribut dalam spekulasi mistik kita tentang Tuhan dengan karakteristik-karakteristik yang harus diserupakan atau dicocokkan dengan keesaan dan kemahakuasaan Tuhan dalam pikiran kita.
Lalu, dalam pikiran kita sendiri juga, konsepsi yang kita bangun itu kita benturkan. Yaitu, kalau Tuhan yang Maha Kuasa bisa menciptakan segala sesuatu, apakah Tuhan bisa menciptakan Tuhan yang lain, yang berarti menggagalkan kemahaesaan Tuhan. Nah ini kan ya kita yang aneh sendiri. Ada Tuhan, kemudian kita berkonsepsi, kita berpikir, kita berteori, kita berhipotesis tentang Tuhan, kita berspekulasi mistik tentang Tuhan; kemudian spekulasi itu kita bentur-benturkan. Kan ya bagaimana kita ini?
Kalaupun kita meyakini misalkan satu agama tertentu yang memberitakan bahwa Tuhan itu Esa; maka, penggambaran itu adalah penggambaran yang tidak sepenuhnya utuh. Kenapa? Karena Tuhan yang Maha tidak terbatas tidak mungkin bisa dijelaskan dengan sesuatu yang terbatas seperti halnya bahasa.
Baik oleh Ferdinand de Saussure, Derrida, atau para filsuf bahasa lainnya, bahasa itu diakui sebagai cacat. Maksudnya, bahasa itu tidak sempurna, bahasa itu tidak bisa menyampaikan pesan dengan sepenuhnya benar. Dengan demikian, bagaimana mungkin kita bisa menjelaskan Tuhan lantaran bahasa dengan memadankan sifat-sifat Tuhan yang kita pahami sebagai yang maha-maha itu tadi?
Pertanyaan-pertanyaan yang semacam tadi itu bukan pertanyaan tentang Tuhan. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan tentang konsepsi kita tentang Tuhan. Jadi, semua itu sebenarnya bukan paradoks Ketuhanan, melainkan paradoks konsepsi kita atau teori kita tentang Ketuhanan. Demikian halnya dengan pertanyaan ketiga, “bisakah Tuhan menciptakan batu yang sangat berat sampai-sampai saking beratnya Tuhan sendiri tidak sanggup mengangkatnya?”
Lagipula misalkan kita ajukan sebuah simulasi. Jadi umpamanya kita akan jawab bahwa bisakah Tuhan menciptakan Tuhan yang lain, bisa. Terus, nanti kalau bisa berarti Tuhannya jadi dua, jadi tidak maha Esa? Ya itu kan kesimpulan kita sendiri, itu spekulasi kita sendiri. Jadi, polanya, kita membikin-bikin tentang Tuhan, kita rumuskan sifat-sifat tentang Tuhan, terus kita bentur-benturkan, dan ketika muncul sebuah jawaban, kita tambahkan lagi pertanyaannya.
Tuhannya berubah tidak? Ya tidak. Tuhannya tetap aja disitu. Berpengaruh tidak? Ya tidak. Apakah dengan misalkan kita menjawab bisa lalu Tuhannya jadi dua beneran? Kan ya mana mungkin Tuhan bisa terpengaruh oleh spekulasi mistik kita.
Lagipula, itu juga adalah pertanyaan yang konyol, dalam artian kita tidak menemukan aksiologisnya apa. Misalkan kita bisa menjelaskan bahwa Tuhan itu Esa, tapi ketika Dia berkehendak, Dia bisa menciptakan Tuhan yang lain; misalkan seperti itu, terus bisa tidak kita mendemonstrasikan pembuktiannya? Kan tidak bisa juga. Mana buktinya? Ya tidak ada. Semua pembuktian itu hanya dalam nalar kita saja, di dalam otak kita saja.
Kalaupun misalkan kita sebut tidak bisa, begitu, kita tetap tidak akan bisa benar-benar membuktikannya, atau orang lain pun tidak bisa membuktikan hal yang sebaliknya. Dunia tidak akan berubah, Tuhannya tidak berubah, masyarakat tidak akan berubah, semesta tidak akan berubah; jadi semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang absurd dan unfaedah yang hanya ribut di otak kita sendiri. Ya, cocok untuk onani intelektual saja. Cocok untuk pintar-pintaran saja, cocok untuk membuat diri kita merasa berjiwa filosofis kalau memikirkan itu.
Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa pertanyaan-pertanyaan itu menjadi terkesan berat karena semua itu menyangkut sesuatu yang kita yakini, dan kita emosional dalam meyakini itu. Kita takut kalau misalkan agama atau ajaran yang kita yakini itu menjadi salah, kehilangan kesakralannya, atau menjadi profan belaka. Oleh karena itu, makanya kita menjadi khawatir dan berat untuk memikirkan itu. Kalau kita benar-benar berpikir logis sepenuhnya, gampang bukan? (mmsm)