Aziz Anwar Fachruddin Peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Intuisi dan Rasionalitas dalam Perdebatan Agama versus Sains

1 min read

Pada akhirnya, diskusi mengenai agama dan sains, sampai langit ketujuh sekalipun, akan dan harus berpungkasan pada satu pertanyaan kunci: untuk apa semua ini?

Untuk mencemooh agama? Asumsikanlah sudah berhasil. Sebut agama tidak ilmiah, irrasional, fiksi buatan manusia, dan tidak relevan untuk kehidupan modern. Lalu setelah berhasil memerdekakan diri dari agama, kita bisa membangun peradaban manusia yang tercerahkan nan berpikir logis. Tapi, di atas dasar apa peradaban itu dibangun?

Di atas sains itu sendiri? Bukankah sains hanya bisa memberimu pengetahuan bahwa manusia hanya berisi tulang, daging, darah, dan kotoran, dan semuanya itu disusun oleh materi-materi DNA saja? Apa dasar saintifik bahwa kamu harus peduli sama nyawa orang lain? Apa dasar saintifik bahwa manusia, yang keberadaan pikirannya pun tidak bisa dibuktikan secara empiris oleh sains, perlu diperlakukan spesial dibanding hewan?

Atau dasarnya rasionalitas? Apa alasan rasional bahwa kita harus memperjuangkan kemaslahatan hidup manusia lain? Atau tidak perlu peduli orang lain? Jika demikian, apa guna sains dan rasionalitas jika bukan untuk manusia, makhluk yang memproduksi sains itu sendiri?

Sebagai ilustrasi mengenai apa yang sebenarnya jadi jantung masalah ini, ambillah satu contoh sederhana.

Semua orang yang hati nuraninya masih bersih akan sepakat: rasisme itu jahat. Pertanyaanya: mengapa jahat? Apa alasan bahwa semua manusia harus diperlakukan setara? Mengapa ketika terjadi rasisme, kita punya kewajiban moral untuk menentangnya?

Agama bisa dengan mudah menjawab pertanyaan itu: Tuhan menganugerahkan “dignity” atau “karamah” pada diri semua manusia tanpa kecuali. Nilai etis mengenai kesetaraan manusia berlandaskan pada pondasi ini. Cuma, tadi sudah diasumsikan agama tidak berguna.

Tapi sains juga tidak bisa menjawabnya. Sains tidak sanggup membuktikan adanya hati nurani. Justru temuan sains yang kerap disebut netral itu bisa dan pernah dipakai untuk menjustifikasi rasisme (dengan evolusi, misalnya).

Baca Juga  Mengenal Putri-Putri Rasul

Tinggal rasionalitas: apa jawabannya?

Jika tata kehidupan manusia itu sendiri tidak rasional, sementara sains tidak ada gunanya kecuali untuk kemaslahatan hidup manusia, jangan-jangan nilai paling fundamental dari semua ini sebenarnya juga tidak rasional, tidak ilmiah.

Jangan-jangan intuisilah yang mendasari semua ini, baru kemudian rasionalitas dan keilmiahan dipanggil untuk melayaninya.[AS]

Aziz Anwar Fachruddin Peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta