Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari atau lebih dikenal sebagai Imam Bukhari adalah seorang ahli hadis termasyhur di antara para ahli hadis sejak dulu hingga sekarang. Dalam bidang hadis, hampir seluruh ulama di dunia merujuk kepadanya. Salah satu mahakarya yang paling fenomenal darinya ialah Sahih al-Bukhari, satu di antara dua kitab hadis yang diakui sebagai sesahih-sahihnya kitab setelah Al-Qur’an.
Terkait filsafat, banyak kalangan tentu saja menyatakan bahwa Imam Bukhari tidak mungkin mengajarkan filsafat. Ya, beliau memang tidak mengajarkan tentang apa dan bagaimana itu filsafat. Akan tetapi, beliau mempraktikkan filsafat, beliau mendayagunakan akal dengan mengikuti alur-alur yang logis, sistematis dan kritis, yang mana itu adalah nama lain dari berfilsafat.
Imam Bukhari, dalam mengkaji sebuah hadis, menggunakan sebuah metodologi yang terkandung di dalamnya prinsip-prinsip kefilsafatan. Hadis-hadis yang pada mulanya adalah hanya sekadar dihafal dan diingat-ingat teksnya, sejak Imam Bukhari, muncul sebuah ilmu kritik hadis yang kemudian menjadi patokan bagi seluruh imam-imam hadis sesudahnya.
Apa sesungguhnya ilmu kritik hadis itu?
Ilmu kritik hadis adalah sebuah ilmu yang berusaha untuk menguji kelayakan sanad dan matan hadis dengan tujuan mengakui kekuatan dan kelemahan sanad, dan menetapkan kebenaran dan kesalahan matan. Kuat-lemahnya sanad menentukan sahih tidaknya suatu hadis. Benar-salahnya matan menentukan bagaimana sikap kita kemudian pada suatu hadis tersebut. Akankah kita menerima dan mengamalkannya atau menolak dan mengabaikannya.
Apa contoh prinsip kefilsafatan yang terkandung di dalamnya?
Contoh prinsip kefilsafatan yang utama dan paling penting dalam ilmu kritik hadis yaitu skeptis. Kenapa? Karena dengan skeptis bisa memunculkan keterujian. Dengan skeptis, kita dapat kemudian menguji apakah suatu hadis itu valid atau tidak, otentik atau tidak.
Imam Bukhari ketika mendapat sebuah hadis beliau akan tinjau terlebih dahulu bagaimana isi hadis tersebut, apakah berseberangan atau tidak dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis lain yang sudah teruji. Beliau akan mencari siapa orang yang menjadi asal penyampaian hadis tersebut. Beliau telaah seperti apa orang yang menyampaikan hadis tersebut, beliau tanyakan pada orang-orang sekitarnya mengenai kepribadian orang tersebut, bagaimana reputasinya, kehidupannya, dan sebagainya terkait keadilan dan ke-dhabit-an orang tersebut.
Untuk mengkonfirmasi sebuah hadis, kadang Imam Bukhari harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, sulit, dan memakan waktu lama. Pernah beliau hendak mengkonfirmasi sebuah hadis dari seorang ulama, ternyata ulama yang dimaksud nampak sedang membohongi kudanya agar mau masuk kandang. Melihat begitu, beliau segera berlalu, melupakan perjuangan panjang untuk bertemu dengan si ulama. Kenapa? Karena bagi beliau, berbohong tetaplah berbohong meski itu ditujukan untuk kuda. Nama ulama tersebut pun dicoret. Bagaimana?
Ada begitu banyak hadis, ada begitu banyak riwayat, tapi Imam Bukhari tidak begitu saja percaya dan menerima suatu hadis. Beliau selalu melakukan penyelidikan dan upaya verifikasi dengan sangat ketat, sebelum kemudian ia yakini dan menuangkannya dalam mahakaryanya. Menyelediki, memverifikasi, dan sebagianya muncul dari kondisi jiwa yang skeptis. Jiwa yang skeptis adalah jiwa seorang filsuf, dan itu ditampakkan dalam diri seorang Imam Bukhari. Bagaimana kita tidak bisa mengatakan bahwa Imam Bukhari tidak mencontohkan filsafat atau secara tidak langsung mengajarkan pada kita untuk berfilsafat?
Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadis menolak semua hadis yang tidak pernah teruji validitas dan keotentikannya. Meski beliau hafal ratusan ribu hadis, yang beliau nyatakan dan tuliskan dalam Shahih-nya hanya 7000-an saja, yang mana ¾-nya merupakan pengulangan. Biarpun tidak sebegitu banyak, tapi yang jelas semua hadis yang terkumpul itu adalah yang pasti, teruji, dan sulit diragukan lagi.
Sampai taraf tertentu ketika kita percaya dan menerima sesuatu yang belum benar-benar teruji pun tidak ada upaya bagi kita untuk menguji, mungkin hasilnya hanya kesia-sian saja. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri kalau pada taraf selanjutnya kita juga bisa jadi jatuh dalam kekeliruan dan kesesatan. Kalau kita melakukan sesuatu yang berdasarkan pada sesuatu yang keliru dan sesat, apa nanti tidak malah merugikan atau bahkan mencelakakan diri kita sendiri?
Sekarang dengan maraknya sosial media banyak sekali orang-orang yang menampilkan informasi yang sangat beragam dan tidak sedikit dari mereka yang sembunyi dibalik identitas palsu. Kalau konteksnya hiburan dan sekadar lucu-lucuan tidak akan menjadi masalah. Kalau menyangkut keyakinan dan hal-hal ilmiah pun sebenarnya boleh-boleh saja. Namun, kalau apa yang ditampilkan itu sesuatu yang berbeda atau menyimpang dengan yang lain maka kita harus skeptis kepadanya. Jangan percaya begitu saja atas apa yang disampaikannya sebelum semuanya benar-benar terverifikasi. Kalau kita percaya begitu saja apalagi sampai mengikutinya ya alangkah naif dan bodohnya kita itu.
Jangan sembunyi di balik kata-kata “karena saya tidak tahu, saya mengikut saja”. Jangan salah anggap ketika kita mengikuti seseorang maka yang akan bertanggungjawab adalah dia yang kita ikuti itu. Ketika kita tidak tahu, mestinya ya cari tahu. Islam sejatinya mengharamkan kebodohan dan tidak suka pada sikap taklid. Namun, kalau toh terpaksa harus mengikut, pastikan yang kita ikuti adalah orang yang memang benar-benar teruji, bukan malah orang random di internet.
Kita yang hidup ya kita yang bertanggungjawab atas hidup kita dengan segala putusan dan pilihan kita. Prinsip agama menurut Imam Bukhari, jangan kita percayai satu doktrin, satu aliran, satu gagasan, satu pemikiran, kalau kita tidak benar-benar tahu siapa yang mengusulkan, siapa yang menggagas. Kenapa? Karena kalau kita tidak tahu, dia tidak bisa diuji, apa yang diusulkan atau digagasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Imam Bukhari, seorang ahli hadis termasyhur di dunia Islam, menunjukkan pada kita sikap filosofis, yaitu skeptis. Berangkat dari sikap skeptis itu, kemudian lahir sebuah disiplin ilmu kritik hadis. Bisakah kita berfilsafat sebagaimana beliau dalam menghadapi dan menjalani kehidupan sehari-hari?
Selanjutnya: Belajar Filsafat dari Imam Bukhari (2)