Surah al-Tīn adalah surah Makkiyah dan urutan ke-95 dalam Alquran yang diturunkan pasca-surah al-Burūj. Nama surah ini diambil dari kata tīn yang mengandung makna buah Tin.
Meskipun surah ini memiliki makna arti yang sama dengan buah, tapi dalam surah tersebut Allah menjelaskan bagaimana potensi manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna. Juga Allah swt. menjelasakan tentang perintah untuk berbuat baik kepada pencipta maupun sesama makhluk hidup.
Dalam surah al-Tīn ayat 4 Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. al-Tīn: 4)
Ibnu Katsir menjelaskan pada ayat ini bahwa ayat ini sebagai objek sumpah Allah swt. telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dengan perawakan yang sempurna serta beranggotakan badan yang normal.
Kemudian dalam kitab tafsir al-Tafsīr al-Ma’mūn ‘alā Manhj al-Tanzīl wa al-Sahīh al-Masnūn Karya Ma’mūm Ahmad Rātib Hamūsy, Allah swt menciptakan manusia dalam paling sempurna tingkah laku, sebaik-baiknya bentuk seperti tangan untuk makan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berilmu, dapat berbicara dan mendengar, bijaksana, dan juga sebagai alat untuk meluruskan perbedaan-perbedaan yang ada di bumi.
Manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah. Semua ada pada manusia. Potensi, keistimewaan, dan kemuliaan ada pada diri manusia tersebut. Kemuliaan tersebut akan selalu ditingkatkan oleh Allah apabila seseorang tersebut selalu mempertahankan dan menjaga aktivitas perilakunya yang bagus, baik perilaku kepada Tuhan (habl min Allah) ataupun hubungan antar-manusia (habl min al-nās). Artinya, manusia tersebut harus mengimbangi antara hubunganya dengan penciptanya maupaun hubungan dengan sesama makhluk hidup.
Lain halnya manusia bisa pula saja menjadi makhluk yang hina, hal itu pula dijelaskan dari lanjutan surah al-Tīn yaitu:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
“Kemudian Kami kembalikan manusia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (QS. al-Tīn ayat: 5).
Didi Junaedi mungutip dari Sayyid Qutb dalam tafsir Fī Zilāl al-Qur’ān (Qur’anic Inspiration meresapi makna ayat-ayat Penggugah jiwa, Jakarta:Komputindo, 2014) yaitu memaparkan bahwa kondisi serendah-rendahnya (سَافِلِينَ) adalah pada manusia yang telah menyimpang pada fithrahnya.
Seseorang tersebut selalu menuruti hawa nafsunya. orang atau manusia yang selalu menuruti hawa nafsunya yaitu meninggalkan ajaran agama dan tidak mengindahkan aturan-aturan agama maka orang tersebut akan jatuh pada tingkat serendah-rendahnya.
Pada hakikatnya manusia lahir ke dunia dengan membawa fithrahnya, yaitu agama Islam. Hal tersebut disinggung dalam Alquran surah al-Rūm ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُون
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) Agama yang lurus; tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S al-Rūm ayat 30).
Manusia yang selalu menuruti hawa nafsunya bahkan bisa dinilai lebih rendah dari binatang. Karena binatang tersebut masih pada hakikat fithrah penciptaannya yaitu masih bertasbih kepada Allah swt.
Dalam konteks lafal serendah-rendahnya, Allah mengecualikan pada ayat selanjutnya tentang orang-orang yang selalu menjalankan amal-amal saleh.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS. al-Tīn ayat 6).
Dalam pemaknaan yang diambil ialah manusia tersebut harus bisa menjalin hubungan dengan Allah melalui ibadah ritualnya. Juga menjalin dengan apik hubungan dengan sesama manusia. Atau bisa dikatakan kemuliaan tersebut akan terjaga dengan baik bila hubungan antara habl min Allah dan habl min al-nās bisa berjalan dengan serasi dan selaras. [MZ]