Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Belajar Filsafat dari Imam Bukhari (2)

3 min read

Sebelumnya: Belajar Filsafat dari Imam Bukhari (1)

Filsafat yang berorientasi pada kebenaran, meniscayakan sikap skeptis agar tertampakkan semua kebenaran secara jelas dan lugas. Berawal dari prinsip skeptis, akan didapatkan kemudian sesuatu yang teruji dan terverifikasi sehingga layak untuk diyakini dan dipedomani. Namun tidak hanya itu, selain skeptis, prinsip yang mesti digunakan sebagaimana para filsuf dan juga digunakan oleh Imam Bukhari dalam mengkritik hadis demi memunculkan keterujian yaitu netralitas.

Kebanyakan muslim di dunia saat ini berpikir bahwa Imam Bukhari adalah imam hadis dari kalangan Sunni. Padahal kalau ditelisik lebih jauh, beliau tidak termasuk dalam golongan apapun. Selain tidak pernah ada satu pun pernyataan dari beliau yang menyebut bahwa beliau adalah Sunni, Syiah, Mu’tazilah atau sebagainya; yang menunjukkan bahwa beliau adalah netral adalah fakta bahwa beliau mengambil hadis dari kelompok manapun.

Imam Bukhari banyak sekali meriwayatkan hadis-hadis yang perawinya adalah orang Syiah. Bahkan ada orang Syiah ekstrim seperti Abbad bin Yaqub, Abd al-Malik bin Ayun, hadis dari mereka itu diterima oleh Imam Bukhari. Imam Bukhari bukan orang yang fanatik buta. Banyak hadis dari kalangan semisal Qadariyyah, Mu’tazilah, Nashibiyyah, dan lain-lain yang juga diterima oleh Imam Bukhari.

Ya, memang kebanyakan yang diterima adalah dari orang-orang Sunni, tapi tidak sedikit juga dari orang sunni yang ditolak. Ambil contoh, Imam Bukhari sebagai perawi hadis menolak riwayat dari Imam Abu Hanifah. Ada apa dengan Imam Abu Hanifah yang merupakan imam pendiri madzhab fiqih Sunni terbesar dalam sejarah setelah Imam Syafi’i secara kuantitas? Apa Imam Bukhari membenci Imam Abu Hanifah?

Ya bukan begitu. Walaupun Imam Abu Hanifah memiliki reputasi sebesar itu di dunia Sunni, bukan jaminan untuk kemudian bisa diterima hadis yang diriwayatkan darinya. Bagaimana bisa?

Baca Juga  Nuzul al-Qur’an: Mukjizat Hadir di Bulan Ramadan (Bag-1)

Imam Abu Hanifah itu pendapat-pendapatnya banyak diterima bahkan dibela oleh Imam Bukhari. Akan tetapi soal hadis, Imam Bukhari itu netral. Sekalipun Imam Abu Hanifah adalah ahli fiqih yang sangat luar biasa, menurut Imam Bukhari dalam bidang hadis beliau lemah. Walaupun hadis yang dihafal oleh Imam Abu Hanifah itu sangat banyak, tapi kemampuan Imam Abu Hanifah dalam mengkritik hadis itu kurang menurut Imam Bukhari. Oleh karena itu, Imam Bukhari mengkategorikannya sebagai lemah sehingga beliau menolaknya.

Contoh lain, di dunia Syiah, ada ulama yang paling terkemuka disebut Imam paling besar di dunia Syiah, yaitu Imam Ja’far Shadiq. Kalau kita lihat hadis-hadis yang dikumpulkan oleh orang-orang Syi’ah, itu kebanyakan diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq. Bahkan di al-Kulaini, jumlah hadis yang diriwayatkannya sampai 10 kali lipat lebih banyak daripada hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Ya, banyak sekali. Akan tetapi, menurut Bukhari, riwayat dari Imam Ja’far Shadiq tidak bisa diterimanya dengan alasan yang kurang lebih sama.

Pada prinsipnya, Imam Bukhari tidak peduli alirannya apa, dari kelompok mana. Kalau dia tidak jujur, tidak bermoral, tidak adil, dan ke-dhabit-annya kurang, maka selesai sudah. Filsuf itu menerima atau menolak suatu pendapat bukan gara-gara dia dari golongan mana, tapi berdasarkan seperti apa pendapatnya, bagaimana orangnya, bagaimana kualitas daripadanya.

Kita kenal ulama-ulama zaman sekarang banyak tidak semuanya, dan umat-umat zaman sekarang banyak tidak semuanya, yang malah mengkerdilkan gagasan ini. Kalau muncul pernyataan dari orang Syiah, langsung sejak awal ditolak begitu saja. Ada dari Wahabi, langsung ditolak begitu saja. Ada datang dari kalangan liberal, langsung ditolak begitu saja. Bahkan sebelum di antara mereka ngomong sepatah katapun, pernyataan itu sudah disangkal duluan. Apakah kita sendiri termasuk yang begitu?

Baca Juga  Musafir Boleh Tidak Berpuasa, Dengan Syarat dan Ketentuan Tertentu

Semestinya, mau dari aliran apa dan kelompok mana pun, dengarkan dulu pendapatnya, perhatikan dulu apa yang diungkapkannya. Dalam Al-Quran disebutkan bahkan bahwa orang yang dapat petunjuk itu adalah yang mengambil informasi kemudian memilih yang terbaik. Bukan dia dari kelompok mana, tapi pilih mana yang paling masuk akal, yang paling baik, yang paling sesuai dengan syariah.

Misalkan ada ulama, kelompok atau kalangan yang mengungkapkan nanti bagaimana kita membedakan ini benar atau itu salah kalau bukan karena kelompok mana, yang menyatakan seperti itu jangan diikuti. Kenapa? Karena dalam kaidah ushul fiqh, yang dimaksud dengan akil balig adalah orang yang sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jadi kalau ada orang yang dari mana kita tahu dia berkata benar atau salah, berarti dia belum bisa membedakan yang benar dan yang salah. Jangan diikuti, karena dia belum akil balig.

Netralitas ini pada akhirnya memunculkan objektivitas. Ilmu kritik hadis yang berangkat dari sikap skeptis dan mesti mencapai tujuan berupa objektivitas. Suatu hadis dapat dikatakan benar-benar valid, otentik, dan teruji jika memang itu adalah objektif. Artinya, tidak peduli dari kelompok atau golongan manapun, keabsahan sanad dan matan bisa disaksikan dari pihak manapun.

Tidak sedikit orang-orang dunia muslim sekarang ini takut tersesat.Karena itu sehingga mereka mengafiliasikan diri pada satu kelompok dan dengan kacamata kuda mengikuti satu kelompok itu atau ulama itu saja. Apakah kita termasuk yang seperti itu? Sikap filosofis yang ditunjukkan Imam Bukhari, beliau tidak peduli latar belakang yang memang tidak terkait dalam seseorang seperti apa, yang penting adalah apa yang disampaikan dan kualitas yang menyampaikan itu bisa diterima atau tidak.

Baca Juga  Tadarus Litapdimas [6]: Islamic Clicktivism; Internet, Demokrasi, dan Gerakan Islamis Kontemporer

Beriman kepada hadis sahih adalah sebuah keharusan, tapi perlu diketahui bahwa untuk mengetahui suatu hadis sahih atau tidak adalah ijtihad dari ulama, penelitian dari ulama. Artinya itu semua menggunakan akal dan tidak semata-mata dalil. Jadi, tidak bisa langsung bilang cukup Al-Qur’an dan hadis saja tanpa yang lain-lain, karena Al-Qur’an dapat dipahami isinya dengan menggunakan akal, dan hadis bisa diketahui sahih atau tidaknya juga menggunakan akal.

Mendayagunakan akal dengan mengikuti alur-alur yang logis, sistematis dan kritis adalah nama lain dari berfilsafat. Imam Bukhari tidak mengajarkan tentang apa dan bagaimana itu filsafat, tetapi menunjukkan bagaimana berfilsafat itu. Sebuah kitab yang memuat hadis-hadis sahih yang menjadi sesahih-sahihnya kitab setelah Al-Qur’an yaitu Shahih Bukhari, tidak merupakan ‘kitab filsafat’ dari Imam Bukhari. (mmsm)

Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya