Aksin Wijaya Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo

Nuzul al-Qur’an: Mukjizat Hadir di Bulan Ramadan (Bag-1)

2 min read

Dalam diskusi rutin habis shalat tarawih di rumah tadi malam (malam 17 Ramadan), dengan tema nuzul al-Qur’an, salah satu putri saya, Nur Rif’ah Hasaniy, mengajukan pertanyaan. “Yah, katanya Alquran pertama kali turun di bulan Ramadan, dan ia turun dua kali: dari lauh al-mahfuz ke langit dunia yang disebut baitul izzah; dan, dari baitul izzah kepada nabi Muhammad yang berada di bumi. Kalau memang demikian, itu berarti, Alquran turun dari atas, dan Allah berada di atas sana. Padahal, ayah pernah menjelaskan, Allah tidak membutuhkan tempat, apalagi bertempat di atas langit”.

Pertanyaan ini muncul dari putri saya lantaran di waktu sebelumnya, saya membahas kritik terhadap pendapat Wahhabi bahwa Allah ada di langit. Jika kita menolak pendapat Wahhabi, begitu juga sejatinya kita “menolak”, menurut putri saya, pendapat bahwa Alquran turun dari langit, karena itu berarti juga, Allah ada di langit. Saya akan melihat masalah ini dari dua argumen: Allah yang menjadi subyek, dan teks Alquran yang membicarakan masalah nuzul al-Qur’an.

Allah Ada Dimana-Mana

Dari sisi subyeknya, Allah mempunyai sifat tanzih dan mukhalafatuh li al-hawadithi. Kedua istilah ini saling berhubungan. Tanzih artinya, Allah suci dari hal-hal yang bersifat kurang, dan karena itu, Dia berbeda (mukhalafatuhu) dengan manusia yang mempunyai sifat-sifat kekurangan. Dia tidak serupa (tasybih) dengan makhluk-Nya. Di antara sifat kekurangan yang ada pada manusia yang sejatinya tidak dimiliki Allah adalah membutuhkan tempat. Justru sebaliknya, sifat-sifat itu menjadi ajaran Wahhabi. Kaum Wahhabi berpendapat, Allah bertempat di langit, dan terkadang mereka mengatakan, Allah bertempat di Arasy-Nya. Itu berarti, Allah membutuhkan tempat. Pemahaman seperti ini tidak masuk akal, karena beberapa alasan.

Baca Juga  [Resensi Buku] Mengembangkan Pendidikan Multikultural untuk Demokrasi dan Keadilan Sosial

Pertama, Allah itu adalah Dzat yang Maha Awal (Qidam) dan kekal abadi (Azali), di sisi lain, keberadaan langit sebagai bagian dari alam merupakan ciptaan-Nya. Alam termasuk langit ada setelah Allah ciptakan. Sebagai sesuatu yang diciptakan, alam ini bersifat baharu, yakni pernah tidak ada dan suatu ketika akan tidak ada. Ali bin Abi Thalib, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan “Allah itu sudah ada, sementara alam (termasuk langit) belum ada. Dan Allah yang sekarang sama dengan Allah yang ada sebelum alam (langit) ini ada atau sebelum alam ini diciptakan. Dia tidak mengalami perubahan pada Dzat dan Sifat-Nya. Pertanyaannya, Allah berada dimana sebelum alam termasuk langit itu diciptakan? Juga, dimana Allah bertempat ketika langit yang diciptakan-Nya itu kelak hancur pada hari kiamat?

Kedua, kalau Allah bertempat di langit, bukankah itu berarti, Dia bertempat di dalam ciptaan-Nya sendiri? Jika bertempat di dalam ciptaan-Nya sendiri, berarti Allah mempunyai sifat-sifat yang sama dengan ciptaan-Nya, yakni membutuhkan tempat. Padahal Allah berbeda dengan ciptaan-Nya. Allah adalah Dzat Universal dan tak terbatas. Sementara alam (langit) itu terbatas.

Andaikata diyakini Allah ada di langit, berarti Dia terbatas karena menempati sesuatu yang terbatas. Karena keterbatasan-Nya, Dia tidak bisa ada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Dia tidak bisa ada di langit dan di bumi. Dia tidak ada di bumi, tidak ada bersama manusia yang menghuni bumi ini. Untuk berada di bumi, Dia harus bergerak melakukan perpindahan. Padahal, Alquran mengatakan Allah ada di langit dan ada di bumi (al-Zukhruf:84), Allah ada bersama kamu sekalian (al-Hadid:4), dan kemana saja kalian menghadap, disanalah wajah Allah berada (al-Baqarah:115).

Baca Juga  [Cerpen] Skenario Tuhan yang "Rumit" untuk Sebuah Cinta

Itu berarti, Allah ada dimana-mana. Dia ada di setiap ruang dan waktu, dan tidak di ruang dan waktu tertentu saja. Akan tetapi, istilah ada dimana-mana itu tidak dalam arti menempati ruang dan waktu, karena ruang dan waktu yang merupakan bagian dari sifat alam ini adalah ciptaan-Nya. Melainkan dalam arti sifat-Nya. Atau bisa dikatakan, meminjam istilah kaum Sufi, Allah “meliputi” Ruang dan Waktu. Karena Dia Maha Meliputi (Muhithun bikulli syai’). (HM)

Aksin Wijaya Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *