Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Pemikiran Islam Rasional Harun Nasution

3 min read

Era Kekhalifahan Abbasiyah (750-1268 M), khususnya pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan kemudian Al-Ma’mun, menjadi era di mana peradaban Islam mengalami puncak kejayaannya. Peradaban Islam memberikan kontribusi yang sangat luar biasa bagi perkembangan peradaban dunia. Akan tetapi karena beberapa faktor baik internal maupun eksternal yang menjadikan Kekhalifahan Abbasiyah runtuh, pamor peradaban Islam serta keterpengaruhannya bagi peradaban dunia kian hari kian meredup. Bahkan sekarang boleh dikatakan, peradaban Islam telah begitu tertinggal.

Ketertinggalan peradaban Islam yang semakin jelas adanya memicu lahirnya para tokoh pembaharu dalam dunia Islam. Di Arab ada Muhammad bin Abdul Wahhab. Di Mesir ada Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Hasan al-Banna. Di India-Pakistan ada Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal. Di Turki ada Sultan Salim III, Sultan Mahmud II, dan Mustafa Kemal. Adapun di Indonesia ada beberapa, satu di antaranya ialah Harun Nasution.

Harun Nasution adalah seorang akademisi, intelektual, pemikir, filsuf dan tokoh muslim Indonesia. Pernah menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui dunia pendidikan, Harun Nasution mewujudkan gagasan pemikiran pembaharuannya.

Dalam memulai upaya pembaharuan, Harun Nasution berangkat dari asumsi bahwa mengapa masyarakat Islam zaman sekarang, terutama di Indonesia, menjadi begitu tertinggal dan tidak kunjung bangkit, itu dikarenakan tiga hal.

Pertama, karena umat Islam di Indonesia mempunyai pandangan sempit tentang Islam, yaitu pandangan yang hanya bersifat legalistis, tentang halal dan haram; sementara pandangan teologis, filosofis, dan ilmiah kurang diperhatikan. Berkebalikan dengan umat Islam di zaman klasik, zaman di mana Islam menjadi kiblat peradaban.

Kedua, karena umat Islam pada umumnya, bukan hanya di Indonesia, terikat pada tradisi, yaitu interpretasi ajaran-ajaran Islam kira-kira seribu tahun yang lalu; suatu interpretasi yang disesuaikan dengan persoalan-persoalan umat Islam pada zaman itu, bukan zaman sekarang.

Baca Juga  Kemandirian Dana Muktamar NU

Ketiga, karena berpegang pada tradisi itu, umat Islam zaman sekarang dalam usaha-usaha menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditimbulkan akibat perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tidak kembali pada ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis yang sedikit jumlahnya, melainkan kepada buku-buku klasik yang mengandung interpretasi tua daripada ajaran dalam Al-Quran dan hadis tersebut. Dengan demikian peradaban Islam begitu tertinggal dan sulit untuk kembali gemilang.

Sudah semestinya bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, membalik semua itu. Pandangan sempit tentang Islam tidak boleh hanya berpusat pada ajaran-ajaran fiqih yang berupa ibadah dan muamalah; tapi juga merambah pada ranah dasar-dasar hukum Islam, perbandingan mazhab, teologi, filsafat, mistisisme, sejarah dan kebudayaan Islam dari zaman klasik hingga zaman kekinian.

Kemudian, dalam pencarian penyelesaian tentang persoalan-persoalan yang ditimbulkan daripada perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam jangan seharusnya kembali pada tradisi dan interpretasi lama, melainkan langsung merujuk pada ajaran Al-Qur’an dan hadis dengan penalaran dan pertimbangan atas konteks zaman sekarang. Dengan begitu paling tidak peradaban Islam dapat berjalan seiring zaman.

Namun tidak hanya itu. Harun Nasution menambahkan, satu asumsi yang cukup kontroversial, bahwa jika umat Islam ingin mencapai kemajuan, maka mereka harus mengganti paham teologi mereka dari Asy’ariyah yang tradisional dengan teologi yang memberikan peluang bagi rasionalitas yang lebih luas. Dalam hal ini, tidak lain ialah Mu’tazilah.

Bagi Harun, teologi Asy’ariyah yang telah mendominasi kehidupan umat Islam seluruh dunia selama berabad-abad telah ikut bertanggunggjawab terhadap kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Paham Asy’ariyah adalah paham yang cenderung pada fatalisme walau tidak sejauh Jabariyah. Akan tetapi betapapun demikian, sikap fatalis tetap akan menghalangi adanya upaya yang paling optimal dalam membangun peradaban. Kebalikan dari sikap fatalis merupakan prasyarat yang signifikan bagi terperolehnya kemajuan bagi umat Islam dalam dunia modern sebagaimana sekarang.

Baca Juga  Gus Dur: Sangat Dihormati dan Selalu Ada di Hati Rakyat Papua

Terlebih dengan melihat puncak kejayaan Islam pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, kejayaan tersebut disokong oleh kontribusi para filsuf dan ilmuwan yang hampir seluruhnya berlatarbelakang Mu’tazilah. Dengan semangat rasional dan tidak fatalis, para filsuf terdorong untuk mencurahkan segenap daya upaya memikirkan hakikat dan mewujudkan maslahat bagi umat secara totalitas dan bersungguh-sungguh. Tanpa kesungguhan yang penuh, hasil yang didapat niscaya akan kurang maksimal.

Semua kembali pada diri sendiri. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubah nasibnya sendiri. Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam usahanya, dia akan mendapat hasil sebagaimana yang diusahakannya. Begitulah kurang lebih prinsip daripada Mu’tazilah.

Namun perlu diingat, sebuah usaha sangat bisa menjadi sia-sia jika antara apa yang diusahakan dengan apa yang dicitakan tidak selaras sebagaimana mestinya. Penalaran yang menjadi dasar dalam menentukan suatu tindakan memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan. Dan sebaik-baiknya penalaran, ialah penalaran yang rasional.

Rasional dimaksud bukan sekadar dalam pengertian “masuk akal”, melainkan rasional ilmiah. Berpikir rasional yang membawa pada kebijaksanaan dalam menghadapi masalah. Berpikir rasional yang membawa pada kebebasan dari tipu muslihat dalam suatu masalah. Dan berpikir rasional yang membawa pada ketepatan dalam menyelesaikan masalah.

Penalaran yang tidak rasional, seperti emosional maupun tradisional, semuanya hanya membawa pada pendramatisiran suatu masalah atau kejumudan yang menghambat kemajuan suatu peradaban. Dari situ Harun Nasution menggagas suatu konsep pembaharuan yang diistilahkan sebagai Islam rasional. Sebuah konsep yang menjadi dasar upaya membangkitkan peradaban Islam dari ketertinggalan atau keterbelakangan, dengan meninjau dan mengkaji kembali ajaran Islam menggunakan kaidah rasional dan kontekstual.

Islam dapat dikategorikan menjadi aspek doktrinal dan nondoktrinal. Aspek doktrinal berhubung kait dengan aspek pokok keyakinan dan kewajiban menjalankan ritual, dan aspek nondoktrinal mencakup seluruh produk historis dalam dunia Islam. Aspek doktrinal Islam mencakup apa yang dikemukakan pada teks Al-Qur’an dan al-Sunnah, dan yang nondoktrinal meliputi interpretasi dari doktrin itu sendiri yang mengarah pada perkembangan aliran pemikiran atau mazhab yang berbeda-beda.

Baca Juga  Habib, Dicintai dan Mencintai

Sebuah penafsiran tidak bisa dipandang sebagai kebenaran mutlak sebab ia terikat pada batasan waktu. Sebagai kebenaran yang tidak mutlak, interpretasi dapat berubah jikalau ada suatu keadaan yang menghendakinya. Maka dalam konteks ini, tidak sepatutnya umat Islam yang ingin bangkit bersikap taklid apalagi fanatik terhadap sebuah penafsiran.

Islam rasional mendorong munculnya pola pikir keagamaan dan keberagamaan Islam yang lebih bebas dan terbuka. Islam rasional menolak pola pikir yang sangat terikat secara personal dengan suatu mazhab atau tokoh tertentu seperti kyai dan ulama. Pola berpikir rasional yang diterapkan dalam Islam, akan lebih memberikan ruang yang lebih bagi umat Islam dalam memahami ajaran agama, dengan menafsirkan teks keagamaan sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan perubahan.

Keadaan demikian memberikan peluang lebih besar terhadap konten agama untuk dapat berperan menjadi inspirasi dan solusi dalam menjawab tantangan dan kebutuhan aplikatif masyarakat Islam menghadapi dinamika kehidupan. Fungsi agama sebagai pedoman hidup dapat termaksimalkan dengan baik. Agama bukan lagi menjadi kambing hitam atas ketidakmajuan suatu peradaban, melainkan justru mendorong peradaban ke arah yang lebih baik dan terang. Semua itu didasari dengan mengkaji dan memahami Islam secara rasional.

Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya