Ekstremisme berasal dari kata dasar ekstrem yang berarti fanatik. Orang yang menganut ajaran ekstremisme berarti teguh dan kuat terhadap paham yang dibawanya. Mereka yang fanatik, akan merasa bahwa dirinya adalah benar, dan yang lain bukan termasuk golongannya. Tentu beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan, namun jika ibadahnya terlalu kuat hingga mengganggu orang lain, apakah ini masih bisa dibilang baik?
Islam sendiri bukanlah agama yang fanatik, bahkan Rasulullah pun melarang umatnya untuk terlalu fanatik atas suatu hal, termasuk ibadah sekalipun. Seperti halnya berdoa tanpa teriak, shalat tanpa henti, ataupun puasa tanpa buka, merupakan sebuah sikap fanatik yang bisa tumbuh menjadi bibit-bibit ekstremisme. Sehingga dengan ini beliau menganjurkan umatnya untuk bersikap moderat.
Dalam suatu kisah, Rasulullah pernah memberikan contoh kepada para sahabat untuk melempar jumrah yang tidak membahayakan orang lain.Sebelumnya, para sahabat telah melempar jumrah dengan menggunakan jari tengah dengan batu berada di antara dua jari yang lain. Ini merupakan tindakan yang berbahaya karena berpotensi melukai orang lain. Sehingga Rasul mencontohkan dengan memegang tujuh batu yang lebih kecil (kerikil), digerakkan batu itu di telapak tangan, lalu dilemparkannya. Dengan itu, Rasul tidak hanya memperagakan caranya, namun ukuran batu yang bagaimana cocok untuk melempar jumrah, sehingga tidak menyakiti orang lain di sekitar.
Sikap moderat bisa dibilang sebagai tengah-tengah. Layaknya shalat, jika tidak shalat maka dosa, jika shalat tanpa henti maka fanatik, sehingga yang benar adalah shalat dengan memerhatikan waktu yang ada, serta mempertimbangkan kesibukan dan tanggungjawab yang harus dilakukan. Sikap ini juga bisa dibilang sebagai antonim dari ekstremisme. Jika fanatik menganggap dirinya paling benar, maka moderat tidak merasakan demikian. Jika ekstremisme membuat segala perlakuan jadi berlebihan, maka sikap moderat memilih untuk tidak keterlaluan.
Lantas bagaimana menumbuhkan sikap moderat itu sendiri?
Sikap moderat dapat ditumbuhkan dari diri sendiri melalui berbagai cara, diantaranya adalah:
- Saling tolong menolong dalam hal kebaikan sesama manusia
- Menggaungkan narasi perdamaian atas perbedaan
- Toleransi atas perbedaan etnis, budaya, beragama
- Tidak merasa paling benar, paling baik, paling pintar, dan paling yang lain
- Tidak berlebihan dalam berpikir dan bertindak, khususnya dalam beragama
Poin di atas hanyalah beberapa contoh semata, di lain berbagai sikap baik yang dapat diimplementasikan ketika bertemu dan bercengkrama dengan masyarakat yang berbeda. Pandangan moderat merupakan cara paling mudah untuk menciptakan perdamaian antar umat. Dan kedamaian inilah yang dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana Imam bukhari meriwayatkan hadis Nabi yang artinya; “Agama yang paling dicintai Alah adalah agama yang hanif dan tidak menyulitkan dan mempersempit hidup.”
Barangkali ada beberapa orang yang memilih jalan hidup demikian. Salat tak henti waktu, berharap mendapat syafaat yang berlebih dari Allah, atau puasa hingga hari esok, hingga berharap Allah akan memberikan kecukupan, kebahaagiaan abadi kepada mereka. Namun bukankah ini sangat bertolak belakang dengan hadis di atas ya? Bukankah puasa hingga tidak buka sama dengan menyiksa diri sendiri, begitupun juga salat tak kenal waktu?
Dalam buku saku Perempuan dan Ekstremisme pun turut dijelaskan beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menciptakan sikap moderat dari berbagai sisi, yang pertama adalah al-Wasathiyah. Lafadz ini terdapat tiga kata kunci, yang pertama adalah bahwa wasathiyah melekat dengan ajaran Islam yang mawaddah dan rahmah. Kedua, wasathan memiliki makna keadilan dan keseimbangan. Ketiga, ummatan wasathan merupakan syarat mutlak kehadiran umat Islam dalam seluruh ruang kehidupan. Metode kedua adalah melalui dakwah. Metode ini dibagi menjadi dua, yakni melalui kasih sayang, serta nasihat dan /atau peringatan.
Kedua metode di atas tentu tidak bisa dilakukan sendirian, namun juga harus saling bahu membahu untuk dapat menjembatani masyarakat yang terlanjur terjun bebas sehingga dapat kembali kepada jalan yang damai. Tetap bertaqwa, itu tetap menjadi kewajibannya. Beribadah, itu juga tanggungannya. Tapi tak cukup di situ, ada sesuatu yang perlu ditekankan di sini adalah bagaimana sikapnya antar manusia tetap terjaga, untuk saling menjaga, menolong, dan melindungi satu sama lain.