Lely Shofa Imama Dosen IAIN Madura

Corona, Cocokologi, dan Ayat tentang Istri-Istri Rasulullah

1 min read

Pada masa mewabahnya Covid-19 sekarang ini, ada banyak postingan di medsos yang mengaitkan antara ayat ke-33 surah Al-Aḥzāb dengan nama virus Corona. Ini semacam cocokologi. Ayat tersebut berbunyi:

وَقَرۡنَ فِی بُیُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَـٰهِلِیَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِینَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥۤۚ إِنَّمَا یُرِیدُ ٱللَّهُ لِیُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَیۡتِ وَیُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِیرࣰا

“Dan hendaklah kamu tetap (qorna) di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlu Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Kalau kita lihat makna ayat ini dari sisi artinya saja, secara letterlijk, terutama bagi mereka yang tidak belajar ilmu tafsir dan Bahasa Arab, memang rawan tersugesti untuk mempercayai dan meyakini bahwa ayat ke-33 tersebut memang bagian dari peringatan Alquran terhadap virus Corona. Padahal, sama sekali tidak. Ayat ini juga tidak berdiri sendiri: ia hadir sepaket, serangkaian dengan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Yang perlu diketahui, ayat-ayat tersebut ditujukan untuk para istri Rasulullah, ummahāt al-mukminīn.

Ayat ke-33 ini diawali dengan kata-sambung (و) yang berarti dan, yang menunjukkan bahwa perintah-perintah dalam ayat ini merupakan kelanjutan dari “wejangan” Allah kepada para perempuan mulia itu di ayat sebelumnya.

Kata kerja perintah pertama قرن (yang kemudian terkenal karena dihubungkan dengan si cantik-namanya-bahaya-perangainya, virus corona) adalah kata perintah yang ditujukan untuk sekelompok perempuan, ditandai dengan keberadaan huruf ن (soal aturan kebahasaan ini bisa dipelajari di kelas Bahasa Arab, materi tentang ḍamīr). Asal katanya adalah اقررن yang dengan beberapa pertimbangan kebahasaan disederhanakan menjadi قرن (qorna), dengan kata kerja dasar قر – يقر yang berarti menetap.

Baca Juga  Islam Tak Hanya Melulu Membahas Poligami

Melalui ayat ini, Allah memerintahkan para istri Nabi agar berdiam di rumah (apabila tidak ada keperluan penting yang mengharuskan keluar), tidak bersolek sebagaimana gaya bersolek para perempuan jahiliyah (seperti banyak digambarkan dalam literatur sejarah, perempuan Arab masa lalu terbiasa bersolek dan menggunakan perhiasaan secara berlebihan), mendirikan salat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasulullah.

Perintah-perintah dalam ayat 33 ini sangat relevan dan berkesinambungan dengan ayat sebelumnya (ayat 32) yang berisi penegasan Allah kepada para ummahāt al-mukminīn bahwa mereka tidak sama dengan perempuan pada umumnya. Jika mereka bertakwa, seyogyanya mereka tidak melembutkan atau “mendayu-dayukan” suara mereka saat berbicara (yang berpotensi membangkitkan syahwat lelaki yang memiliki penyakit hati) dan hendaknya mereka berbicara dengan kalimat yang baik.

Kolaborasi dua ayat (32-33) ditutup secara indah dengan ayat yang menjelaskan balasan terhadap perintah Allah kepada mereka. “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlu Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Ayat-ayat ini kemudian dilanjutkan dengan ayat setelahnya.

وَٱذۡكُرۡنَ مَا یُتۡلَىٰ فِی بُیُوتِكُنَّ مِنۡ ءَایَـٰتِ ٱللَّهِ وَٱلۡحِكۡمَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ لَطِیفًا خَبِیرًا

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Aḥzāb [33]: 34)

Lebih jauh, agar pesan lebih mengena, ayat-ayat tentang ummahāt al-mukminīn ini dapat dibaca sebagai sebuah kesatuan yang tak terpisahkan, mulai dari ayat 28 yang turun sebagai jawaban atas “keluhan” istri-istri Rasulullah atas nafkah yang mereka terima, yang kemudian dilanjutkan dengan tarhīb (ancaman) dan targīb (seruan). Sungguh kesatuan yang indah.

Meskipun kita bukan ummahāt al-mukminīn dan tidak akan pernah bisa menyetarai mereka, namun anjuran dan larangan dalam parade ayat ini bisa kita pelajari dan amalkan. Bukankah itu esensi dari keberadaan mereka sebagai role models yang perlu dicontoh sebagai panutan? Wallahu a’lam.

Lely Shofa Imama Dosen IAIN Madura

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *