Maufur Peneliti di Center for Religion and Local Culture (eLSAA), IAIN Kediri

Mendamaikan Agama dan Sains: Belajar dari Pandemi “Maut Hitam”

2 min read

Pandemi “maut hitam” atau biasa disebut black death adalah satu dari sekian banyak wabah dahsyat yang pernah mengguncang dunia. Pandemi ini terjadi di Eropa dan beberapa wilayah di Asia pada sekitar abad ke-14. Konon, wabah ini merenggut hampir 60 persen penduduk Eropa saat itu. Disebut “maut hitam” Karena orang yang terjangkit wabah ini kulitnya menghitam, sebelum akhirnya meninggal. Kita bisa bayangkan kengerian akibat wabah yang, menurut penelitian di masa-masa berikutnya, bermula dari kutu tikus (basil pes) ini. Menurut beberapa catatan, wabah tersebut menyebar melalui kapal dagang Italia yang melewati Jalur Sutra untuk seterusnya menular melalui kontak antar manusia.

Layaknya pandemi yang kita alami saat ini, “maut hitam” juga memicu polemik tidak hanya dari sisi medis, tetapi juga keagamaan. Di tengah upaya serius ilmuwan medis saat itu untuk mengungkap asal muasal wabah, perdebatan juga merambah ke doktrin keagamaan, baik di kalangan Kristen maupun Muslim. Sebagian orang mengaitkan wabah ini dengan “kutukan Tuhan” dan sebagian lain menghubungkannya dengan etnik atau ras tertentu.

Di kalangan Muslim, polemik yang mengemuka ada pada soal apakah penyakit ini menular atau tidak. Silang pendapat dipicu keberadaan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “tidak dapat sesuatu menginfeksi sesuatu yang lain, atau tidak dapat sesuatu menyebabkan sakit pada yang lain dengan sendirinya” (HR. Bukhari). Tidak hanya di kalangan awam, polemik juga terjadi di kalangan ulama dan juga ahli medis, terutama di Granada yang saat itu berada dalam kekuasaan Dinasti Utsmani.

Barangkali peristiwa ini menjadi contoh nyata betapa debat tanpa ujung mengenai hubungan antara agama (Islam) dan sains di kalangan Muslim terus terjadi. Di satu sisi, umat Muslim dihadapkan pada tuntutan untuk berpegang pada hadis Nabi bahwa tak ada penyakit menular, tapi di sisi lain penularan “maut hitam” secara factual tak bisa disangkal. Lalu bagaimana umat Muslim saat itu menyikapi dua hal yang seolah-olah kontradiktif tersebut?

Baca Juga  Islam, Kemanusiaan Universal, dan Rasialisme

Lisanuddin ibn Al-Khatib, seorang ulama-cum-ilmuwan yang juga seorang menteri di era kekuasaan Nasrid di Granada, menawarkan jalan keluar. Melalui karyanya, Muqni’at al-Sā’il ‘an al-Maraḍ al-Hā’il, yang ditulis selama masa pandemik, ia menunjukkan bahwa hadis lā ‘adwā sejatinya tidak bertentangan dengan fakta penularan black death. Baginya, penularan infeksi bersifat empiris dan factual, berdasar observasi dan penyelidikan.

Meski begitu, Al-Khatib tidak mengabaikan kebenaran hadis lā ‘adwā di atas. Hanya saja, ia menganjurkan tafsir alegoris (kiasan) terhadapnya. Al-Khatib menulis, sebagaimana dikutip Russel Hopley (2010) dalam artikelnya, Contagion in Islamic Lands: Responses from Medieval Andalusia and North America: “Jika observasi dan penyelidikan bertentangan dengan hadis, maka hadis tersebut perlu dipahami secara alegoris.” Dalam satu riwayat dikatakan bahwa hadis ini sebenarnya adalah counter Nabi terhadap praktik pagan pra-Arab yang mengaitkan penyakit dengan kekuatan supernatural jahat yang menurut mereka menular, bukan penolakan terhadap keberadaan penyakit menular.

Muhammad ibn Ali al-Lakhmi al-Shaquri, murid Al-Khatib, juga menegaskan bahwa sains adalah berkah Allah untuk manusia agar berlindung dari keburukan yang ada di dunia. Bagi Al-Shaquri, “ilmuwan, dengan iman di dada mereka bak penerang di dalam gelapnya gua.” Seperti gurunya, al-Shaquri menulis sebuah risalah berjudul Nasīhah, yang berisi tuntunan medis bagi orang agar terhindar dari wabah “maut hitam”. Saat itu, ia menganjurkan agar orang menghindari kontak dengan orang lain atau benda yang berpotensi menjadi sarana penularan. Ia juga memberi tips menguatkan imunitas dengan makan buah-buahan, melakukan pengasapan dengan luban (sejenis dupa) yang dicampur zat-zat tertentu, atau menaruh vinegar (semacam cuka) di pintu rumah.

Al-Shaquri juga menyarankan penutupan gerbang selatan Andalusia untuk memutus penularan virus. Uniknya, al-Shaqiri tidak serta merta melarang model pengobatan ala Nabi (tibb al-nabawī) yang melibatkan bekam dan obat-obatan herbal yang saat itu popular di kalangan umat Muslim. Bahkan ia tidak menolak pengobatan tradisional setempat, seperti pemakaian cincin dari batu yakut dan kalung dari gading gajah. Menurut Hopley, pendekatan al-Shaquri ini adalah bagian dari upayanya untuk tidak keluar dari teks-teks normatif Islam (2010: 58).

Baca Juga  Trensains Tebuireng: Melampaui Postradisionalisme Islam

Dari sekelumit kisah di atas, kita bisa menarik pelajaran bahwa hubungan Islam dan sains tidaklah berada pada posisi pertentangan biner. Keduanya merupakan berkah Allah bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia. Di masa epidemi Covid-19 ini, sikap serupa bisa kita lakukan. Pendekatan ilmiah, agama, ataupun tradisional bisa diselaraskan selama keselamatan adalah tujuan utamanya. Seruan tawakal kepada Allah harus disertai sikap ilmiah selama pandemik berlangsung. [AS, MZ]

Maufur Peneliti di Center for Religion and Local Culture (eLSAA), IAIN Kediri

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *