Belajar Islam yang Tertipu Algoritma Media Sosial

2 min read

Masa dewasa ini banyak sekali hal-hal yang baru terjadi, perubahan sistem informasi yang berkembang cepat adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa kita hindari. Fenomena tersebut bisa dilihat menjadi nilai positif dalam berbagai hal, akan tetapi perkembangan ini tidak dibarengi budaya literasi komperhensif yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia.

Sampai imbasnya kita bisa lihat sendiri kebrutalan masyarakat sosial media atau Nitizen di Indonesia dalam menghadapi sesuatu fenomena yang ada. Hal ini banyak faktor yang menjadi penyebba, misalnya, hanya membaca time line judul artikel tanpa membaca isinya, menerima informasi hanya sepotong-sepotong tanpa menkonfirmasinya, hingga subjektifitas dalam membaca dipilih sesuai hanya yang ada dalam beranda disosial media yang meanstream digunakan.

Hal ini memang sudah banyak terjadi dikarenakan secara algoritma di sosial media, di mana konten yang muncul  sesuai apa yang kita sering lihat atau yang sering kita buka. Bisa dibayangkan jika seseorang melihat setiap hari tentunya secara tidak sadar informasi yang ia lihat itu akan terinflunce .

Hal ini dapat menimbulkan cara berfikir yang cenderung menutup dari informasi yang lain, sebab konten yang ia lihat akan sama lantaran algoritme sosial media memang demikian. Hal ini baik bila yang dilihat itu hal yang falid dan positif, namun sebaliknya hal ini akan menjadi yang menakutkan jika yang dilihat adalah konten yang hoax serta negatif bagi dirinya, masyarakat apalagi negara.

Imbas ini juga akan dirasakan dari aspek pendidikan Islam di mana media sosial dapat dijadikan referensi rujukan untuk proses belajar Islam secara praktis. Proses mencari informasi keagamaan yang cenderung terkungkung dan sesuai perspektif si pembaca dapat melahirkan para pemeluk agama yang berpikir ekslusif dan menutup pendapat lain,  karena apa yang dia dapat dan dia baca di sosial media hanya sesuai perspektifnya tanpa memedulikan pendapat yang lain.

Baca Juga  Simbol Agama dalam Aksi Teroris

Sesuai bahasan di atas terdapat dua perspektif berbeda tentang dampak dari belajaran keberagamaan Islam di sosial media yaitu positif dan negatif. Menurut Sadida (2017) bahwa masyarakat di negara berkembang memang merasakan kenyamaan dan kemudahan dalam mengakses dan menambah ilmu pengetahuan, tetapi secara beriringan juga berimbas negatif pada pembentukan moral dan rasa tanggung jawab.

Analisis lain mengatakan bahwa dalam mengakses ilmu agama di media sosial tidak mendapat keutamaan majelis ilmu dan sanad keilmuannya juga tidak jelas. Proses pendidikan lewat online cenderung tidak sistematis dan meloncat-loncat, serta akan juga timbul rasa kurang tanggung jawab dan keterikatan dengan gurunya. Hal ini berakibat pada multi interpretasi yang berimplikasi pada perilaku kebergamaan yang melenceng.

Dengan demikian perlu adanya kesadaran dan kebijakan yang ekstra dalam berselancar dalam mencari keilmuan Islam, agar tidak terjebak dalam algoritma dan berimbas pada pola berfikir kita. Perlunya ada konfirmasi secara menyeluruh dan komperhensif dari berbagai media yang beragam  akan menjadikan sudut pandang semakin luas.

Dikutip dari Sadida, Menurut Azari (2017) sebagai sejarawan Islam, ia mengutip dari kitab Al Majruhin Ibn Hibban, seperti Yahya bin Ma’in Sang ulama besar berkata: “Jika kita tidak menulis Hadis dalam 30 baris, maka kita tidak akan mengerti.” Masih menurut Azhari (2017), ulama Abu Khatim Alazi dari “Kitab Fatar Mugits Assakawi  ” mengatakan: “Jika kita tidak menulis Hadis dari 60 jalur riwayat, maka kita tidak akan mengerti.”

Ini mencerminkan pentingnya belajar Islam sesuai dengan sanad keilmuan. Penyerapan pengetahuan yang cermat pada akhirnya akan membantu mengekang kebiasaan buruk yang terbentuk, seperti perkataan yang mendorong kebencian atau berita hoax.

Pada akhirnya sosial media tidak dapat menjadi sebuah media inti dalam memenuhi asupan mempelajari Islam secara meyeluruh. Agar bersosial media tidak terjebak dalam algoritma maka perlu adanya pemahaman komperhensif dalam belajar Islam dengan membaca berbagai literature para ulama yang kredibel, mengikuti pengajian dengan guru yang jelas atau pemuka agama, serta kesadaran bahwa pentingnya mentoring agama yang continue dalam belajar agama Islam. (MMSM)