Muhammad Sya’dullah Fauzi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga; Sedang Mengabdi di PP Wahid Hasyim Yogyakarta

Gagasan ‘Muslim Progresif’ Omid Safi: Antara Tasawuf dan Humanisme

2 min read

Gagasan ‘Muslim Progresif’ Omid Safi: Antara Tasawuf dan Humanisme

Wacana pergulatan Islam dan barat memang tak henti-hentinya mewarnai perkembangan sejarah dunia. Terutama pasca tragedi 9/11. Peristiwa itu pada akhirnya memberikan dampak yang luar biasa kepada stigma Barat terhadap Islam. Dunia barat kemudian beranggapan bahwa Islam sangat dekat sekali dengan terorisme dan kekerasan. Anggapan ini terus belangsung hingga sekarang.

Realita semacam ini akhirnya membuat kalangan pemikir muslim berusaha untuk memberikan klarifikasi-klarifikasi kepada barat tentang hubungan Islam dengan terorisme. Namun  pada saat yang sama, arus modernitas yang cenderung dipelopori oleh dunia barat terus mengalir deras tidak terbendung. Di sisi lain, doktrin-doktrin dan norma agama juga harus tetap dipertahankan.

Walhasil, dari pergulatan Islam dan Barat inilah yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok Islam dengan berbagai label seperti tradisionalis, liberalis, ekstrimis, sekular, kritis dan lain sebagainya. Termasuk juga adanya kelompok Muslim yang menamai dirinya dengan sebutan “Muslim Progresif”. Istilah ini dipelopori oleh seorang cendekiawan Muslim terkemuka, Omid Safi.

Omid Safi merupakan cendikawan muslim yang berwarganegara Amerika berdarah Iran. Sebagai salah satu profesor di Duke University serta menjadi  anggota Steering Commite untuk Studi Islam di American Academy of Religion ia memiliki peran yang sentral untuk mengampanyekan gerakan “Muslim Progresif” ini. Dengan demikian, maka wajar jika gagasannya tentang Muslim progresif mampu menggugah para pemikir internasional.

Alasan Safi sendiri dalam mengampanyekan gagasan muslim progresif tersebut adalah sebagai bentuk upaya untuk mengklarifikasi kepada dunia barat yang telah menganggap Islam sebagai agama yang kaku, keras, tidak menghargai hak-hak perempuan dan fanatis.  Setidaknya gagasan Muslim Progresif ini memiliki tiga agenda besar, yaitu, keadilan, kesetaraan gender, dan pluralisme (Safi, 2003: 2)

Baca Juga  Fenomena Hijrah Mantan Psk Di Putat Jaya Barat Surabaya

Sebenarnya, istilah progresif sendiri merupakan term yang problematis. Karena arti dari kata progres sendiri adalah “maju menuju”. Pertanyaan yang kemudian muncul, “Maju kemana?”. Selain itu, term progresif ini juga terkesan elitis karena secara tidak langsung istilah progresif akan menganggap dirinya lebih baik dan lebih maju dibanding yang bukan non-progresif.

Terlepas dari problem istilah progresif itu sendiri, Safi menegaskan bahwa yang dimaksud Muslim Progresif di sini adalah sebuah konsep dasar yang memayungi orang-orang yang menginginkan ruang terbuka dan aman untuk menjalankan suatu keterlibatan yang ketat dan jujur dengan tradisi, dan penuh harap akan mengantarkan kepada aksi lebih lanjut. (Safi, 2003: 17-18).

Dalam menjalankan ketiga agenda besar di atas, Safi lebih menggunakan pendekatan Multiple Critique (Kritik ganda) dalam melihat berbagai persoalan. Artinya, Safi tak hanya dengan keras mengkritik Barat, tetapi juga mengkritik Islam sendiri. Alasannya, karena bagaimanapun juga, baik yang mengatasnamakan Islam maupun barat, apabila keduanya melupakan nilai keadilan, maka keduanya sah-sah saja untuk dikritik.

Lebih lanjut, menurut Safi, yang menjadi ciri khas gagasan Muslim Porgresif ini adalah tidak hanya berhenti pada kritik saja, akan tetapi Safi juga menyarankan agar ia harus terlibat dalam tindakan dan transformasi sosial yang konkret (2003: 8).

Selain itu, dalam menjalankan tiga agenda besar tersebut, Omid Safi selalu berpijak pada prinsip humanisme dan sufisme. Keduanya menjadi pijakan di setiap gagasannya. Bagi Safi, humanisme Islam merupakan pijakan awal lahirnya adab. Humanisme merupakan landasan filosofisnya, sementara adab merupakan kode hubungan lahiriah antar manusia. Dalam hal ini kemudian Safi menekankan pada aspek sufisme.

Safi meyakni bahwa at-Tashawwuf Kulluhu adab, maksudnya adalah dengan tasawuf, seseorang sudah seharusnya memilki sisi humanisme yang tinggi. Dari humanisme ini pula lah yang nantinya akan mampu menciptakan keadilan fan  keadilanl out pula yang akan melahirkan perdamaian di dunia.

Baca Juga  Relasi Agama-Negara Ala Gus Dur: Mempertahankan Republik Bumi Hingga ke Surga (2)

Walhasil, dalam menghadapi tantangan globalisasi sekarang ini, prinsip yang digagas oleh Omid Safi masih relevan dan efektif. Hal ini karena melihat pijakan dari Safi sendiri. Nilai-nilai Humanisme harus lahir dari kegiatan spritiualitas seseorang dengan Tuhan. Artinya, semakin bertakwa seseorang, maka ia akan semakin humanis.

Dari humanis ini lahirlah adab dan keadilan kepada sekitar. Baik adab dan keadilan inilah yang kemudian mampu menciptakan kedamaian di dunia. Dan yang lebih penting dari gagasan muslim progresif yang diusung Omid safi ini adalah bahwa tidak cukup hanya menjadi muslim yang kritis saja tanpa aksi konkrit untuk menebar kedamaian di dunia. Wallahu a’lam… [AA]

Muhammad Sya’dullah Fauzi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga; Sedang Mengabdi di PP Wahid Hasyim Yogyakarta