Bagian Sebelumnya.. (Bag. 1)
Pembacaan pemikiran Gus Dur tentang relasi agama dan negara juga dilakukan oleh Fakhrurroji M Bukhori (2003) dalam bukunya “Membebaskan Agama dari Negara: Komparasi Abdurrahman Wahid dan Ali Abd Raziq”.
Bukhori menjelaskan bahwa pemikiran Gus Dur tentang relasi agama dan negara dikategorikan sebagai perspektif fungsionalisme struktural. Perpektif ini beranggapan bahwa hubungan antara agama dan negara adalah bersifat fungsional. Agama dan negara dianggap sebagai organ yang harus berfungsi demi keberlangsungan hidup suatu organisme. Masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda yang harus diketahui secara proporsional.
Namun sayangnya, antara kedua organ ini (agama dan negara) sering mengalami ketidakharmonisan karena adanya tumpang tindih secara fungsional. Dan sekali lagi, menurut Gus Dur keharmonisan hubungan antara agama dan negara hanya bisa dilakukan ketika keduanya masuk dalam relasi substantif saja.
“Kacamata” Gus Dur tentang relasi agama dan negara masih sangat relevan jika kita pakai untuk membaca kondisi sekarang ini dimana banyak upaya untuk memunculkan agama dalam bentuk konkrit sebagai suatu tatanan hukum negara.
Agama yang menjadi nilai spiritual kemudian diupayakan untuk menjadi wujud nyata negara oleh sekelompok orang. Agama yang sunyi nan suci kini seringkali dibentur-benturkan dengan politik praktis. Akibatnya, wacana agung Gus Dur mempertahankan “Republik Bumi” hingga ke surga kini terkendala oleh sekolompok orang yang mencita-citakan “Istana Tuhan” di bumi Indonesia ini.
Mempertahankan “Republik Bumi” ala Gus Dur ini harus terus kita upayakan dan pertahankan. Meskipun di saat yang sama, banyak upaya pengkerdilan nilai-nilai suci Islam. “Kacamata” Gus Dur kini harus dihadirkan kembali dan dipakai kembali.
Bagaimanapun juga, Agama tidak boleh dibenturkan dengan negara, apalagi hanya dalam tataran politik-formal saja. Usaha menggaungkan ideologi Islam sebagai negara hanya akan membuat kering nilai-nilai substansi negara dan agama itu sendiri.
Agama bukan sesuatu yang harus dibentur-benturkan dengan politik-formal. Agama bisa saja berdialog dengan negara. Apalagi jika kita secara serius membaca sejarah Indonesia, bahwa para pemuka agama dan kaum nasionalis sebagai para pendiri bangsa ini sudah final dengan keputusan Indonesia sebagai negara berazaskan pluralisme pancasila.
Islam harus diposisikan sebagai landasan spiritual bagi bangsa untuk melaksanakan kehidupan bernegara. Islam tidak akan dipandang sebagai agama yang suci dan damai seperti namanya, apabila hanya dimanifestaskan dengan simbol-simbol semata tanpa mengarungi nilai-nilai Islam yang menyamudra.
Justru sebaliknya, Islam hanya akan dipandang sebagai “ideologi negara” saja. Sedangkan substansi Islam adalah nilai-nilai spiritual yang bisa saja menjadi teman langkah suatu bangsa. Walaupun sebenarnya kita tahu, seperti kata Gus Dur, wacana penyatuan agama dan negara akan terus ada. dan walaupun kita tahu, secara realistis, mewujudkan Islam sebagai bentuk negara akan terus menjadi khayalan belaka. Selesai [AA]