Mutawakkil Alallah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Ponpes Penaber Bawean: Mengaji lalu Berkreasi

2 min read

Dung tek dung dung tek tek dung gema rebana terdengar dari bangunan depan berjendela anyaman bambu Pondok Pesantren Penaber saat motor yang ku kendarai memasuki pesantren yang terletak di dusun Paginda, desa Sokaoneng, kecamatan Tambak.

Belum ku pijakan raga dari motor sembari menatap arsitektur sederhana ponpes yang terkenal dengan pesantren budayanya pulau Bawean, seorang santri tanpa aba-aba mendatangi kami dan mengarahkan kami ke tempat yang didesain untuk menerima tamu. Kursi dan meja yang terbuat dari semen dilengkapi makanan-makanan ringan dalam toples yang bertengger diatasnya, dan kolam ikan kurang lebih berdiameter 1 m menemani kami menunggu kedatangan pengasuh ponpes Penaber.

Bangunan depan berjendela anyaman bambu itu merupakan tempat menyimpan alat-alat kuno. Tempat ini disebut Museum Dhinggelan Kona (alat-alat peninggalan masyarakat dahulu). Didalamnya menyimpan Rangghepan, Korkoran, alat timbangan padi, Peol untuk serut bambu, alat pembajak sawah, lampu strongking, biola, radio kuno, kaset pita, dan berbagai macam alat yang pernah dipakai oleh orang dulu.

Kiai Mustofa Rusydi pendiri pesantren memaparkan keberadaan museum ini sangat penting bagi masyarakat Bawean, utamanya bagi generasi muda, baik sebagai bahan studi maupun dalam rangka melestarikan peninggalan nenek moyang. Sebab baginya warisan leluhur di masa lalu memiliki nilai-nilai luhur kehidupan yang mengakar dari sejarah masa lalu kepada anak-anak masa depan.

“saya tidak ingin anak-anak kehilangan masa kecilnya, dan tidak kenal warisan leluhurnya. inikan ada hubungannya dengan pendidikan karakter,” tuturnya sembari memesan roti Canai dari warung yang tak jauh dari pesantren.

Kiai yang akrab dipanggil kiai Musthofa membandingkan antara kehidupan anak yang hidup dengan kemegahan, gemilang, dan kemewahan seperti di kota dengan anak yang hidup di lingkungan tradisional pesantren.

Baca Juga  Obituari Prof A. Malik Fadjar: Menunda Kepergian Guru

“kemungkinan besar anak-anak yang hidup di lingkungan tradisional pesantren akan menjalani hidup apa adanya, karena sudah menjadi kebiasaan tiap hari. Lingkungan mempengaruhi proses pembentukan karakter setiap orang,” tegasnya.

Pendiri ponpes Penaber menyatakan bahwa sebenarnya fokus utama kami adalah pembentukan akhlak.

“disini selain mengaji kitab kuning pada umumnya, saya menekankan pada kitab nadhom Jawahirul Adab yang saya terjemahkan kedalam bahasa halus Bawean, penerjmahan ini juga merupakan pelestarian budaya bahasa,” terangnya sambil mengajak kami ke halaman belakang pesantren.

Di halaman belakang pesantren, tempat yang asri dan nyaman, dhurung-dhurung kecil berjejer yang kadang digunakan santri belajar dan santai menghirup udara persawahan. Ada juga dua rumah kecil berdesain rumah adat Bawean tahun 60-an, didalamya menyimpan batik karya santri Penaber. Dan yang akan membuat mata terbelalak adalah dhurung (umumnya dikenal sebagai gazebo) raksasa dengan panjang 7 meter dan tinggi 6 meter, dhurung ini dapat menampung kurang lebih 40 orang untuk pertemuan dan juga bisa dijadikan panggung untuk kegiatan.

Di gazebo raksasa dan di sekitarnya para santri putra dan putri sedang berkatifitas memproduksi batik. Kiai Mustofa menjelaskan pembutan batik ini sudah menjadi kegiatan ekstra selain seni bela diri pencak silat Bawean, tari Samman, Dhungka, Korcak.

“selain merespon ekonomi kreatif, saya berharap selain bisa mengaji santri juga bisa berkreasi. Kegiatan membatik ini juga bisa jadi salah satu bekal santri saat jadi alumni” terangnya.

Hasil karya membatik juga dijadikan tamabahan pesantren. Harga batik karya santri Penaber yang paling murah dihargai Rp 200 ribu perhelai kain, juga ada harga Rp250 ribu perkain dan yang paling mahal dihargai Rp500 ribu perkain.

Menurut kiai Mustofa batik Penaber cukup bersaing di kalangan nasional. Yang khas dari batik penaber adalah motifnya. Motif diangkat dengan mengenalakan budaya Bawean berupa motif dhurung, motif Rangghepan, motif jhukong, kayu santegi, dan tanduk rusa Bawean.

Baca Juga  KH. Abdul Hamid Sulaiman (1917-1998): Ulama Reformis dari Tembilahan Riau

Di Penaber, hanya ada dua jenjang pendidikan tsanawiyah dan aliyah. Tapi aliyah tidak masuk kategori sekolah formal tetapi status hukum masuk kategori Pendampingan Kegiatan Belajar dan Mengajar (PKBM) sebagai sekolah non-formal. Hingga saat ini tercatat 114 santri yang menyantri di Penaber.

Mutawakkil Alallah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga