Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.

Bangkitnya Era Mitos dan Matinya Intelektualitas

1 min read

sumber: www.catherineplano.com.au/

Simbol salib, warna merah, cebong-kampret, hijrah, klepon pun tak luput di soal bak rukun iman. Era Jokowi melahirkan Budaya “the cult of philistinism” semacam pemujaan terhadap budaya kedangkalan pikir oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.

Jokowi era ditunjuknya Nadhiem Makarim sebagai Mendiknas menjadi penanda matinya intelektualitas diganti dengan beragam interes dan kebutuhan kebutuhan praktis sebelumnya Susi Pujiastuti seorang praktisi kelautan cemerlang tapi ner-konsep kecuali ‘tenggelamkan”.

Ironisnya perlawanan terhadap—the cult of philistinism—juga dilakukan dengan cara sepadan kaum sofiisme -macam rokcy gerung juga dipuja-mereka secara bersama-sama secara massif dan simultan mematikan intelektualitas dan lebih mengedepankan kedangkalan pikir atas nama ‘akal waras’.

Pikiran-pikiran dangkal inilah yang kemudian dipuja karena massa tak lagi suka berpikir intelek karena di desak kebutuhan konsep: kerja—kerja—kerja satu sisi diharap bisa mengurai benang kusut tapi juga membawa masalah baru. Ibu Susi dan Mas Nadhiem adalah jawaban Jokowi terhadap intelektualitas yang diragukan.

Yudi Latif memberi catatan menarik bahwa telah terjadi Gelombang anti-intelektualisme di tanah air pada era Jokowi— ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual, tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran.

Seperti kata Bung Karno, “Orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.” Lahir sikap ragu terhadap intelektualitas—dunia akademik kehilangan kewibawaan dan banyak nilai-nilai keilmuan yang perlahan mengalami reduksi.

Ironisnya arus besar gelombang anti intelektualitas yang ditabuh Jokowi diamini hampir semua orang baik yang mendukung maupun yang melawan—para ulama, cendekiawan pun larut dalam pikiran mithos yang mengedepankan kedangkalan pikir.

Stigma cebong dan kampret adalah sebutan menyedihkan untuk lawan politik, juga bermula dari pikiran dangkal tanpa dibarengi pengetahuan, akibatnya hanya gaduh—pun dengan fenomena keberagamaan masyarakat bahkan dikalangan mahasiswa: ‘fenomena hijrah’ menjadi tren dari pikiran dangkal karena didesak kebutuhan sesaat.

Baca Juga  Pro dan Kontra Sertifikasi Ulama dan Keberlangsungan Moderasi Beragama

Kebutuhan sesaat dan interest interes inilah yang signifikan mempengaruhi cara pandang dan perspektif—peluruhan pemikiran intelektualitas ini kemudian bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah—para ulama, politisi bahkan akademiisi mengalami defisit pemikiran.

Yang kemudian tercermin dalam kesalahan pengambilan kebijakan dan simbol-simbol yang dituangkan dalam berbagai ketidak beresan karena defisit pemikiran: pilihan institusi-institusi demokrasi, amandemen konstitusi hingga ‘poligami’ yang dijadikan solusi sosial.

Era Jokowi membawa Gelombang anti intelektualitas menjadi arus besar—Yudi Latif kembali memberi catatan kritis—banyak orang mulai tidak menghargai pikiran kritis bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan—Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya; ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan sesaat. Saya bilang ini era menuju: Matinya kaum intelektual. [AH].

Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.