M. Chusni Farid Wajdi Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

[Cerpen] ­­Mandi Terakhir

4 min read

“Wulan… sarapannya sudah siap di meja, ibu buru-buru berangkat. Segera sarapan lalu berangkat sekolah ya, nak!” Teriakan ibu di pagi buta.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, ibuku sangat sibuk dengan pekerjaannya. Di pagi buta ia sudah berangkat dan baru pulang ketika hari sudah larut.

Setiap kali ibu bekerja, sebenarnya aku merasa kesepian di rumah. Terlebih ibu seperti tidak mengenal waktu: larut malam ia baru pulang. Tak jarang mengambil jatah lembur dan tidak pulang dalam beberapa hari. Entah pekerjaan apa yang ibu geluti. Menuntutnya terus bekerja dan bekerja.

Sempat tebersit di pikiranku untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ibu kerjakan, dengan menanyakannya langsung. Akan tetapi, bukan jawaban yang kudapatkan, justru amarah. Ia mengamuk setiap kali aku bertanya tentang pekerjaan apa yang dilakukan ibu. Di penghujung amukan amarahnya, ia lalu menasihatiku “Ini semua demi kamu nak, menghidupi, menyekolahkan dan memberimu jajan. Ini demi kamu!”

***

Semenjak kecil aku diasuh oleh Bi Ijah, seorang janda tanpa anak. Ia menjanda di usia kepala tiga akibat ditinggal mati suaminya. Ia merangkap dua peran sekaligus, pembantu dan pengasuh. Semuanya dilakukan oleh Bi Ijah seorang.

Ia dipekerjakan ibu semenjak awal pernikahannya dengan ayah. Bukannya ibu seorang perempuan yang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri, namun akibat rasa iba ketika mengetahui bahwa Bi Ijah adalah seorang perantauan yang tidak mempunyai pekerjaan dan penghidupan untuk dirinya sendiri.

Bi Ijah pernah bercerita kepadaku perihal tingkah laku ibu yang selalu sibuk untuk bekerja, jauh sebelum aku dilahirkan. Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Akibat ulah suaminya yang pergi tanpa kabar. Lari dari tanggung jawab ketika mengetahui ibu mengandungku di usia tujuh bulan.

Malam sebelum ia pergi, terjadi pertengkaran hebat antara ibu dan laki-laki pengecut itu. Keduanya sempat beradu mulut memperdebatkan masalah biaya persalinan dan kelahiranku nanti.

Karena saat itu, sosok yang disebut ayah tidak menjalankan perannya. Tidak mencari nafkah, baik untuk dirinya maupun istrinya. Justru berfoya-foya menghabiskan uang sisa warisan mertua.

Ibu mengalami depresi berat setelah ditinggalkan lelaki pengecut tersebut. Sepanjang hari ia meraung sejadi-jadinya. Menutup diri di dalam kamar, menghindari kontak dengan para kerabat dan sanak famili yang berkunjung ke rumah.

Baca Juga  Buku-buku yang Menghakimi Ritual Nahdliyyin

Ia terus menangis tiada henti, asupan untuk tubuhnya mogok. Akibatnya kondisi tubuhnya mulai menurun. Selama beberapa hari, aku tidak mendapatkan pasokan makanan yang cukup. Akibatnya, aku bereaksi menggeliat didalam perut, menendang dinding rahim ibu. hingga ia merasa terusik.

Sebilah pisau sudah di tangan dan siap menikam perutnya yang kian hari membengkak akibat mengandungku. Pikirannya kalang kabut, terasa berat untuk melanjutkan hidup. Melahirkan seorang anak tanpa didampingi oleh suami yang justru pergi. Tangannya mulai mengambil ancang-ancang, mengangkat ke atas dan siap menghujam perutnya dan…

Bi Ijah mengambil pisau secara paksa dari tangan ibu. Pisau menghantam lantai. Ibu hilang kesadaran. Bi Ijah menengadahkan tangannya bersiap menopang tubuh ibu yang terhuyung ambruk kemudian berteriak meminta pertolongan.

Tiga hari setelahnya, aku dikeluarkan paksa dari perut ibu melalui caesar. Tubuhku masih sangat mungil, beratku di bawah rata-rata hanya satu kilo setengah. Tidak seperti bayi kebanyakan yang menangis ketika pertama kali melihat dunia, justru aku diam membisu.

***

Selang beberapa waktu, ibu perlahan pulih dari depresinya. Kewarasannya kembali seiring berjalannya waktu dan dukungan dari para kerabat, sahabat dan teman-temannya.

Mira, adalah sahabat karibnya semasa kecil. Ia yang selama ini banyak membantu ibu. Terutama ketika ibu ditinggal tanpa nafkah. Mira mengurus semua biaya persalinan dan menawarkan pekerjaan selepas ibu kembali pulih.

Ibu kembali menjadi sosok perempuan yang periang dan ambisius. Tak lama ia tersungkur. Dengan cepat ia bangkit. Ia sadar kini dia sendiri yang harus menghidupiku. Terlebih untuk membayar upah kepada Bi Ijah, pembantunya.

***

Menginjak usia sembilan tahun, Bi Ijah sering sakit-sakitan. Mengingat usianya yang sudah menggapai senja. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali ke kampung halaman.

Kepergiannya, menyisakan duka mendalam. Tidak ada lagi yang menemaniku di rumah. Bermain selepas pulang sekolah, bergurau dan bercanda bersama. Terkadang ikut membantu membersihkan rumah dan belajar memasak. Kini semua itu raib semenjak kepergianya. Hanya menyisakan sunyi yang semakin menjadi.

Sepulang sekolah aku hanya bermain sendirian di dalam kamar. Sambil menunggu ibu datang. Untuk makan, sudah disediakan stok makanan kaleng di kulkas. Jika aku lapar tinggal menggorengnya saja. Aku sudah bisa memasak walaupun masih sembilan tahun.

Baca Juga  Memahami Hadis Tidak Semudah yang Dipikirkan Khalayak Awam

Menunggu ibu pulang adalah kegiatanku setiap hari. Dan seringnya aku tertidur duluan. Karena setiap kali menunggu pasti ibu tak kunjung pulang dari pekerjaannya.

Pernah suatu ketika aku tak sengaja melihat ibu masuk ke dalam kamarku. Di saat tengah malam, nampaknya ia baru saja pulang dari pekerjaannya. Aku pura-pura tidur. Keningku terasa seperti dikecup dan belaian hangat dari ujung kepala hingga separuh badanku. Ibu memandangiku sejenak dan bergumam lirih “Nak, engkau harus sekolah yang tinggi agar bisa meraih cita-citamu nanti”. Setelah itu ia beranjak keluar kamar dan menutup daun pintu tanpa suara.

***

Perlahan aku menyesuaikan diri terhadap pekerjaan dan kesibukan ibu. Melakukan semua kegiatan sendiri, dari sarapan pagi hingga bersiap untuk istirahat malam.

Aku tidak lagi mempertanyakan pekerjaan ibu, aku mencoba memahaminya. Ibu sudah sangat letih untuk bekerja demi menghidupiku. Luapan amarah yang terlontar tiap kali aku bertanya bukan tanpa sebab. Sebenarnya ia sudah sangat lelah dengan keadaan yang terus menututnya mencari nafkah. Tidak sepatutnya aku terus bertanya, karena akan semakin memperkeruh suasana.

Sudah dua minggu lebih semenjak kepergian Bi Ijah. Belum sempat ibu mencarikan seseorang untuk menggantikannya. Alhasil pekerjaan rumah, aku sendiri yang mengurusnya. Dari mulai menyapu, mengepel lantai, menguras bak. Mengelap jendela termasuk menanak nasi. Aku sudah terbiasa melakukannya berkat bimbingan Bi Ijah dulu.

Saat menguras bak mandi, melepas sumpalan di pojok bak agar airnya langsung terbuang. kakiku terasa dingin. Hingga tumitku tergenang oleh air. Sepertinya ada yang menyumbat saluran pembuangan. Setelah kurogoh mencari penyebabnya, tanganku meraih sabun batangan yang menjadi penyebab utama. Di waktu bersamaan, aku teringat ketika sedang dimandikan oleh Bi Ijah saat masih empat tahun.

“Jangan banyak bergerak ya, non!”. Perintah Bi Ijah kala sedang menyabuni tubuhku. Layaknya anak kecil lainnya. Aku banyak tingkah ketika sedang dimandikan. Terlebih ketika diguyur air satu gayung penuh. Membasahi sekujur tubuhku. Aku tertawa kegirangan, belingsatan. Tubuhku meliuk-liuk hingga tak sengaja menyenggol tangan Bi Ijah membuat sabunnya jatuh.

Akibat kejadian tersebut, Bi Ijah melotot sedikit kesal. Aku bergidik kaget dan mulai berhenti bertingkah. Bi Ijah mulai mengguyurkan satu gayung penuh selanjutnya. Hingga gayung ketiga, Ia menatap heran ke bawah. Tumitnya tergenang oleh air. Saluran pembuangan tersumbat oleh sabun batangan tanpa ia sadari.

Baca Juga  Hingga Ujung Nyawa (3): Menanti Sebuah Usaha Bertaruh Nyawa

“Aku ingin dimandikan lagi”. Gumamku dalam hati. Aku akan memintanya kepada ibu. Kebetulan besok hari minggu pasti ibu sedang libur bekerja.

***

Esoknya, aku langsung menghampiri ibu yang kelihatan sedang bersiap untuk pergi.

“Ibu.. bisakah hari ini ibu berhenti bekerja?” Satu pertanyaan langsung kulontarkan.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu, nak? Kamu kan tahu ibu ini bekerja demi dirimu, biaya hidup kita tidak murah.” Sergah ibu yang setengah berdiri hendak pergi.

“Tapi sekarang kan hari minggu, bu. Para pekerja biasanya libur. Anak sekolahan sepertiku juga. Lantas mengapa ibu tetap pergi bekerja?” Ucapku polos yang secara tidak langsung membuatnya tersentak.

Aku tak kehabisan akal, tanganku reflek memeganginya, bergelayut manja, berharap bisa lebih lama dengannya. Aku menatap wajahnya dengan tatapan ingin, memasang pose wajah sedih dengan harapan ibu menuruti permintaanku.

Sepertinya ibu tidak tega melihatku seperti itu. Ia meraih tanganku dan menuntunku ke kamar mandi tanpa sepotong kata dari mulutnya.

Hening sesaat di antara kami. Di saat berhenti di depan pintu kamar mandi. Naluri hatiku mengatakan, ibu akan menuruti permintaanku. Langsung saja aku pergi ke jemuran belakang mengambil handuk. Dan ketika kembali, ibu sedang ditelepon seseorang.

“Baik pak saya akan segera ke kantor”. Aku menguntit suaranya yang tidak sengaja kudengar.

“Wulan,,, maaf ya, nak. Sepertinya ibu belum bisa menuruti permintaan kamu. Bos di kantor ibu akan mengadakan rapat, dan ibu harus segera hadir.” Sepotong kata keluar dari mulutnya. Seraya mencium keningku. Ia pergi melenggang menyisakan rasa kesal.

Aku kesal dengan tingkahnya. Yang super sibuk dan jarang sekali ada waktu untukku. Rencana dan siasat yang kususun semuanya sia-sia. Ibu tetap pergi bekerja dan meninggalkanku.

Langsung saja aku masuk kamar mandi dengan tidak hati-hati. Saat kakiku hendak menyentuh lantai, aku terpeleset hilang keseimbangan kemudian ambruk. Perlahan pandanganku berubah Menjadi gelap.

***

Sayup-sayup suara isakan tangis terdengar di sampingku, perlahan kesadaranku kembali. Aku melihat ibu sedang memandikanku. Betapa senangnya hatiku ketika melihatnya. Mengambil satu gayung penuh air dan perlahan menyirami sekujur tubuhku. Ibu, aku tetap merasakan dingin walaupun tubuhku sudah terbujur kaku. [MZ]

M. Chusni Farid Wajdi Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang