Jurnalis Perempuan di Tengah Bayang-bayang Kekerasan

2 min read

Kekerasan terhadap jurnalis perempuan masih terjadi hingga saat ini. Salah satu kasus terbaru menimpa Baiq Silawati, reporter Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Selaparang TV, yang dipaksa menghapus rekaman video saat meliput dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Selasa, 14 Januari 2025. Kabar soal kejadian itu pun santer di media sosial.

Menurut berita yang beredar, awalnya Baiq Silawati disambut baik oleh petugas dapur dan diberikan izin untuk merekam suasana di dapur MBG. Namun, tak lama kemudian, ia didatangi oleh Ketua Panitia Program Makan Bergizi Gratis (PPMBG) Lombok Timur, Agamawan Salam, meminta agar rekaman video tersebut dihapus.

”Saya disuruh menghapus video-video yang saya ambil saat itu. Tetapi saya tidak mau. Kemudian dia ambil kamera saya dan langsung menghapus video yang sudah saya ambil,” kata Baiq Silawati, yang saat itu sudah memperkenalkan bahwa dirinya merupakan jurnalis. 

Kasus itu menunjukkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis perempuan, baik secara fisik maupun digital, masih menjadi ancaman serius dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Bentuk kekerasannya bisa berupa intimidasi, ancaman pembunuhan, pelecehan seksual, perampasan alat liputan, hingga serangan seperti pemukulan.

Lebih jauh, menurut Survei Nasional Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan di Indonesia yang dikerjakan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) pada 2021, sebanyak 1.077 orang (86%) dari 1.256 jurnalis perempuan yang menjadi responden pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun digital. Lalu, 179 orang (14%) sisanya, menyatakan tidak pernah mengalami kekerasan sepanjang karier mereka.

Sebagian besar kekerasan terhadap jurnalis perempuan terjadi di daerah dengan tingkat aktivitas media yang tinggi. DKI Jakarta mencatat jumlah tertinggi, dengan 133 responden (11,1%) mengaku pernah mengalami kekerasan. Jawa Barat berada di posisi kedua dengan 112 responden (9,3%), diikuti oleh Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Baca Juga  Sikap Ekstremisme Merugikan Perempuan

Data tersebut menunjukkan bahwa bentuk kekerasan yang dialami jurnalis perempuan meliputi: menerima komentar body shaming (59%), ancaman atau pelecehan verbal bersifat seksual (40%), ancaman atau pelecehan verbal non-seksual (37%), diskriminasi gender di tempat kerja (32%), dan serangan fisik bersifat seksual (22%).

Apalagi, di tempat kerja mereka kerap menghadapi diskriminasi berbasis gender atau pelecehan seksual, baik dari rekan kerja maupun narasumber. Kekerasan ini tidak hanya mengancam keselamatan fisik, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak mendukung.

Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan PR2Media, berjudul Potret Suram Jurnalis Korban Kekerasan Seksual tahun 2023, mengungkap sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan. Salah satu temuan itu diceritakan oleh Putri (bukan nama sebenarnya) pada Kamis, 6 Juli 2023.

Putri berbagi pengalaman yang tidak menyenangkan ketika sedang melakukan liputan pada suatu malam. Saat itu, seorang narasumber menawarkan untuk pulang bersama dengan alasan arah perjalanan mereka sama.

Dalam perjalanan, narasumber singgah membeli kopi dan memberikannya kepada Putri, tetapi tiba-tiba lelaki itu mencoba mencium bibirnya. Kaget dan tidak nyaman, ia memutuskan pulang dengan taksi. Ketika menceritakan kejadian tersebut kepada asisten produser, responsnya justru menyalahkan Putri dengan mengatakan agar lebih menjaga komunikasi.

Saat ada tugas liputan lain dengan narasumber itu, Putri mencoba menyerahkannya kepada rekan reporter, tetapi narasumber menolak dan hanya ingin ditemui Putri. Redaksi pun tetap memaksanya melanjutkan liputan, meski ia merasa tidak nyaman.

Setelah mengumpulkan berbagai cerita kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan, tim peneliti mencatat bahwa 82,6% dari 852 responden mengaku pernah mengalami satu atau lebih bentuk kekerasan seksual selama karier jurnalistik mereka. Sementara itu, hanya 17,4% responden yang menyatakan tidak pernah mengalaminya.

Baca Juga  Bagaimana Pelaksanaan Haji Bagi Perempuan Menstruasi?

Temuan itu menegaskan pentingnya bagi perusahaan media untuk menerapkan kebijakan kesetaraan gender, aturan terkait kekerasan berbasis gender, serta memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menangani kasus kekerasan seksual di tempat kerja.

Namun, penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan PR2Media pada 2024 menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar perusahaan media telah memiliki kebijakan kesetaraan gender, aturan terkait kekerasan berbasis gender masih sangat minim. Banyak perusahaan media belum memiliki SOP untuk mencegah atau menangani kekerasan berbasis gender, mendorong kesetaraan gender dalam produk jurnalistik, maupun memberdayakan perempuan di tempat kerja.

Dampak kekerasan itu sangat berat, baik secara fisik, psikologis, dan pekerjaan. Banyak jurnalis perempuan mengalami trauma, stres, hingga kecemasan berkepanjangan. Beberapa dari mereka memilih membatasi peliputan pada isu-isu tertentu, sementara yang lain bahkan terpaksa meninggalkan profesi mereka.

Apa Saja yang Bisa Diusahakan Bersama?

Ada hal yang bisa diusahakan bersama untuk meminimalisir kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Pertama, edukasi dan meningkatkan kesadaran. Pelatihan keamanan holistik, digital security, dan lain-lain, bagi jurnalis perempuan harus menjadi prioritas, mencakup aspek fisik, psikis, hingga digital. Misalnya, pelatihan cara menghadapi ancaman atau kekerasan seksual di kantor, lapangan, atau media sosial. Selain itu, perlu melakukan kampanye publik yang menyuarakan pentingnya menghormati kerja-kerja jurnalis perempuan dan melindungi kebebasan pers perlu terus digaungkan.

Kedua, dukungan dari perusahaan media. Tempat jurnalis perempuan bekerja harus berperan aktif dalam melindungi pekerjanya. Ini dapat diwujudkan dengan membuat kebijakan perlindungan yang tegas, seperti memberikan akses bantuan hukum bagi jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan, hingga membuat SOP Penanganan Kekerasan Seksual. Tidak kalah penting, menyediakan layanan konseling untuk membantu mereka pulih dari trauma. Media juga perlu menunjukkan komitmen untuk tidak mendiamkan kasus kekerasan yang dialami pekerjanya.

Baca Juga  Hukum Queef dalam Islam

Ketiga, menggalang solidaritas. Jaringan sesama jurnalis perempuan, misalnya, dapat menjadi tempat berbagi pengalaman dan saling memberi dukungan. Selain itu, publikasi kasus kekerasan yang dialami melalui jaringan solidaritas bisa membantu mendorong penyelesaian kasus tersebut. Solidaritas semacam ini memperkuat posisi jurnalis perempuan dalam melawan ancaman kekerasan. [AA]