Minat seorang Islah, atau lebih terkenal dengan nama Islah Gusmian, terhadap naskah-naskah tafsir Al-Qur’an dalam lanskap ke-jawa-an, mendorongnya untuk gemar mempelajari tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa sejak menjadi dosen di UIN Raden Mas Said (RMS) Surakarta.
Dekan Ushuluddin dan Dakwah UIN RMS Surakarta ini sudah lama dikenal gemar melakukan hal konsisten dalam mengumpulkan satu per satu naskah tafsir, untuk didokumentasikan dan diteliti. Langkah yang diakui Islah, diinspirasi oleh James Clear dengan bukunya Atomic Habits.
Ketekunan ini salah satu hasilnya menjadi disertasi yang ditulis oleh Islah untuk program doktoralnya pada 2014 mengenai dialektika tafsir Al-Qur’an dan praktik rezim Orde Baru (1968-1998).
“Dalam riset itu saya menunjukkan bahwa sebagai produk ilmu pengetahuan, penafsiran Al-Qur’an dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah faktor genealogi pengetahun penafsir, audiens, konteks sosial politik ketika tafsir ditulis dan dipublikasikan. Ada pengaruh latar belakang, peran sosial, budaya, dan politik penafsir.”
Selanjutnya, Islah Gusmian mengisahkan perhatiannya pada karya-karya mufasir yang mempublikasikan tafsir Al-Quran dengan sejumlah perangkat kebudayaan (bahasa) Jawa.
Islah Gusmian menyebut sejumlah nama: Kiai Salih bin Umar al-Samarani (1820-1903), Kiai Imam Ghozali Solo (1887-1969), ST. Cahyati, Raden Muhammad Qamar/Tafsir Anom V (1854-1927), Raden Muhammad Adnan (1889-1969), Bagus Ngarpah, Munawar Chalil (1908-1961), Kiai Bisri Mustafa (1916-1994), Kiai Mujab Mahalli (1958-2003), Bakri Syahid (1918-1994) hingga Kiai Shodiq Hamzah.
Karya para mufasir itu, menurut Islah, luput dari perhatian peneliti Barat. Padahal karya mereka memiliki kedalaman dan kekhasan. Bagaimana Al-Qur’an dipahami pesan-pesanya, bagaimana pergumulan yang terjadi, sejauh mana nilai dan tradisi Jawa berperan dalam membangun dan menghasilkan suatu tafsir serta bagaimana nilai-nilai Jawa dibawa dan Al-Qur’an diresapi, menjadi hal-hal yang menarik dikaji.
Ia menjelaskan,“Al-Quran dan Islam diresepsi, diadopsi, diadaptasi dan ditransformasikan para ulama di Jawa secara dinamis dan kreatif dalam ruang batin dan kesadaran masyarakat. Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat mencerminkan praktik tersebut.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan maksud dari pernyataan tersebut bahwa Jowo digowo mengandung pesan jangan pernah meninggalkan nilai dan tradisi baik yang telah hidup dalam kesadaran mayarakat Jawa. Arab digarap artinya segala yang datang dari Arab sebaiknya dipelajari, dimengerti dan dipahami terlebih dahulu dengan baik.
Sedangkan Barat diruwat artinya segala hal yang mengalir dari Barat selaiknya dipilah dan dipilih yang sesuai nilai kehidupan masyarakat. Dan para penulis tafsir Al-Quran Jawa telah membuktikannya secara elegan dalam beragam tafsir Al-Quran yang mereka tulis.
Tidak hanya dalam bidang riset saja, Islah pun merasa bahwa tradisi akademik untuk mencari hubungan Al-Qur’an dengan ruang batin ke-Jawa-an kerap terabaikan, oleh sebab itu dia pun mendirikan Pusat Kajian Naskah dan Khazanah Islam Nusantara di UIN RMS Surakarta.
Kepakaran dalam bidang itulah yang lantas membawa Islah Gusmian dikukuhkan menjadi Guru Besar Tafsir pada Selasa (16/5). Bertempat di Graha UIN Surakarta, Islah Gusmian menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Tafsir Al-Qur’an dan Lanskap Kejawaan: Resepsi, Transmisi dan Strategi Budaya”. Dari pengukuhan itu, Islah Gusmian resmi menjadi profesor ke-16 UIN Raden Mas Said Surakarta.
Semasa masih menjadi mahasiswa, Islah Gusmian lebih dulu dikenal sebagai editor buku dan kolumnis di sejumlah media massa lokal dan nasional dengan sebagian besar bertopik ilmu tafsir. Pengukuhan Guru Besar Tafsir ini pun menjadi legitimasi yang mengesahkan secara akademik kepakaran Islah Gusmian sejak dulu. [AA]