M Fakhru Riza Mahasiswa Magister Universitas Ahmad Dahlan

Qutbi’isme, Psikologi Kelompok, dan Politik Perpecahan

2 min read

Sosok pemikir politik Islam yang menginspirasi hampir mayoritas gerakan jihad dengan teror belakangan ini tak bisa dilepaskan dari sosok yang bernama Sayid Qutb. Dari Al-Qaeda hingga ISIS tak bisa dilepaskan dari konsepsi politik Islam yang dibuat oleh martir kaum ikhwan ini.

Ideolog kaum jihadis ini merupakan aktivis Ikhwanul Muslimin generasi pasca Hasan Al Bana di Mesir. Situasi gerakan kaum ikhwan pada masa itu sedang suram karena mendapat perlakuan keras dari berbagai rezim politik nasionalis Arab di Mesir.

Sang penulis buku Tafsir fi Zilal Qur’an ini bahkan menghabiskan banyak masa dewasanya di balik jeruji penjara politik rezim nasionalis Arab. Bahkan ia mengarang berbagai kitab yang kemudian menjadi dasar ideologis berbagai gerakan jihad ini dari balik penjara. Suasana batin yang muram tersebut konon disebut memengaruhi bagaimana ia mengonsepsikan pandangan politiknya yang ekstrem.

Konsepsi politik Islam ala Sayid Qutb ini disebut sebagai Qutbi’isme, sebuah ideologi politik yang mendasarkan pijakannya dari pemikiran tokoh ikhwan ini. Qutbi’isme ini banyak diterima oleh berbagai aktivis muslim konservatif di tanah air. Melalui tulisan ini, penulis hendak meninjau implikasi psikologis dari ideologi Qutbi’isme ini terhadap model keberislaman para pengikutnya.

Qutbi’isme dan Nalar Perpecahan

Aksin Wijaya melalui Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (2018) menyebutkan bahwa Sayid Qutb memiliki dua kategoriasasi nalar yang kerap ia hadap-hadapkan. Pertama adalah nalar qur’ani. Kedua adalah nalar jahiliyyah.

Nalar qur’ani merupakan cara berpikir yang mengikuti tuntunan Al-Qur’an. Sedangkan nalar jahiliyyah adalah cara berpikir yang mengikuti logika manusia. Kedua nalar ini oleh Qutb diperhadap-hadapkan. Menurutnya, jika seorang muslim tidak memakai cara berpikir al-Qur’an maka ia masuk jahiliyyah. Kategori nalar yang mengikuti panduan al-Qur’an di sini tentu saja hanya mengikuti tafsir al-Qur’an sesuai yang ia pahami.

Baca Juga  Kesadaran Diri (Self-Awareness) dalam Al-Qur’an

Dua kategori nalar ini menjadi dasar bagaimana Qutb membagi kelompok politik Islam kedalam dua kelompok. Qutb membagi kita versus mereka. Dalam definisi Qutb menyebut kelompok yang tidak sesuai dengan aspirasi teologisnya distigma sebagaikaum jahiliyyah.

Teologi politik ala Sayid Qutb ini mengilhami banyak gerakan jihad di dunia. Mereka meledakkan bom dan mencederai nilai-nilai kemanusian dengan dasar ideologi politik ala Sayid Qutb ini. Dengan demikian, nalar teologi politik ala Qutb ini turut menyumbang bagaimana perpecahan politik terjadi di berbagai belahan dunia.

Psikologi Kelompok dan Politik Perpecahan

Berbagai kasus teror yang didasari oleh teologi Islam ala Sayid Qutb ini kadang membuat kita bertanya-tanya. Kita mengalami kebingungan terkait dengan bagaimana sebuah pemikiran yang awalnya hanya dari teks buku yang kita baca dapat menjadi penyebab sebuah aksi teror terjadi di berbagai belahan dunia.

Untuk memahami persolan ini kita harus belajar dari Psikologi kelompok. Pada kisaran tahun 80-an, seorang Psikolog Sosial bernama Henry Tajfel menemukan teori tentang bagaimana konflik sosial antar kelompok terjadi.

Sebelum teori Tajfel muncul, ilmu-ilmu sosial hanya melihat kasus konflik antar kelompok hanya didasari oleh perebutan sumber daya material. Kemudian, pandangan itu berubah setelah Tajfel mengeluarkan hasil risetnya yang menyebut bahwa pembagian beberapa orang yang tidak dikenal kedalam dua kelompok yang berbeda saja, tanpa ada perebutan sumber daya material sekalipun, tetap menghasilkan permusuhan antar kelompok.

Pandangan Henry Tajfel yang demikian ini relevan dengan kasus pengaruh ideologi Qutb yang membagi orang beriman kedalam dua kelompok: qur’ani dan jahiliyyah. Labeling yang menyebut kelompok lain sebagai jahiliyyah ini dapat menjadi pendasaran bagaimana seseorang melakukan aksi teror kepada kelompok liyan seperti yang dilakukan para jihadis.

Baca Juga  NU dan Perjuangan Kelas

Hal ini juga sejalan dengan temuan riset dari Mirra Noor Milla, dosen Psikologi Universitas Indonesia dalam disertasinya yang menyebut variabel identitas sosial (pertautan diri dengan kelompok) para teroris menjadi penyebab aksi teror mereka yang menyasar kelompok non muslim.

Melalui teori dan riset tentang Psikologi kelompok inilah kita semakin memahami bagaimana proses ideologi yang dikembangkan Sayid Qutb ini dapat mendorong banyak penganutnya untuk melakukan aksi teror kepada sang liyan.

Dengan demikian, ideologi teror seperti Qutbi’isme ini perlu untuk kita kritik dan lawan narasinya agar dapat mencegah perkembangan bibit-bibit nalar kekerasan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. (mmsm)

 

 

 

M Fakhru Riza Mahasiswa Magister Universitas Ahmad Dahlan