Achmad Room Fitrianto Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Agama Mana yang Paling Benar?

2 min read

Pertanyaan dalam judul di atas mungkin banyak menghinggapi mereka yang merasa aneh karena beberapa kelakuan orang-orang yang terlihat beragama tapi masih melakukan tindakan yang kurang patut, misalnya korupsi, manipulasi, intimidasi atau si si lainnya. Lebih-lebih setelah marak dilakukan tindak kekerasan dan memaksakan kehendak atas nama agama.

Mungkin juga ada yang akan berkomentar dan mengkaitkan dengan  “Innadhina indallah hil Islam ” dan mengangap yang punya pertanyaan sebagaimana judul tulisan ini sebagai bentuk  tidak mengimani, alias mengingkari Islam sebagai satu satunya pilihan hidup. Saya sih sederhana saja menanggapinya, kita salah berjihad (saya berasumsi ini adalah ijtihad saya) akan berpahala satu dan bila benar maka saya akan berpahala dua.  Ijtihad yang saya lakukan dibangun melalui logika dan kritis berfikir, sebagaimana sering dicontohkan oleh amalan-amalan yang dicontohkan Rasulullah pada awal dakwahnya hingga Khullafaur Rasyidun.

Kalau saya mah sih simple dalam menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, Agama yang paling benar adalah agama yang bisa dimengerti dan pahami oleh umatnya, disampaikan dengan cara yang indah, serta dipraktekkan secara seksama dalam bingkai menjunjung tinggi rasa kemanusiaan

Definisi di atas adalah bentuk pemahaman saya atas hadis  “al imanu huwa tasdiqul qolbi wal iqroru bilisan wal amalu bil arkan” (HR Ibnumajah no: 64)

Apakah hadis ini hanya berlaku bagi umat Islam? mari kita simak lebih lanjut.

Hadis ini seolah mengungkapkan bila segala sesuatu (ajaran) yang dipahami, dimengerti seharusnya membawa implikasi kesatuan gerak dan napas dari amalan lahir maupun batin walaupun hubungan keadaannya terlihat (agak) terpisah (satu dihati, satu diamalan sehari hari).

Lebih detail hadis di atas memiliki tiga unsur

Baca Juga  Merangkul Awal yang Baru dan Bentang Harapan untuk Tahun yang Baru

Pertama, “tasdiqul qolbi”. Memantapkan pemahaman atas value (nilai) yang diyakini. Pemantapan atas pemahaman atas value ini membawa pengertian dan pemahaman yang komprehensif atas nilai yang dipercaya (agama), sehingga melandasi proses berfikir seseorang.

Setelah proses berfikir terstruktur dengan pemahaman nilai ini (Agama), maka masuklah pada unsur kedua yaitu “iqroru bilisan”: pemantulan dari pemikiran yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dimengerti kedalam bentuk penyampain kepada orang lain. Penyampaian kepada orang lain ini bisa dalam bentuk lisan dan tulisan. Bentuk lisan misalnya ucapan, pidato, diskusi atau gunjingan.

Sementara bentuk tulisan misalnya naskah akademik di jurnal, artikel di majalah atau koran, status di media sosial dan lain sebagainya. Kadang kala bentuk penyampaian yang kurang memiliki nilai-nilai keluhuran pekerti (baca: Agama) atau informasi yang kurang valid dan tidak terukur maka akan menghasilkan bentuk penyampaian yang cenderung mendiskriditkan pihak-pihak yang tidak sepahaman atau parahnya akan mudah sekali mengembar-ngemborkan ujaran kebencian dan informasi hoax.

Ketiga, “amalu bil arkan”. Mengamalkan apa yang dipahami dan apa yang diucapkan (baik lisan dan tulisan) dalam laku perbuatan yang menjunjung tinggi kemanusiaan

Sehingga dari sini terlihat tidak aneh bila ada seorang yang bersorban atau memakai rosario di tangan tiap hari, pergi ke Klenteng rutin dan melakukan berbagai macam ritual harian mingguan, bulanan, tahunan yang beraneka ragam, namun kelakuannya masih membikin orang lain sakit hati (mencaci dan mengungkapkan kata kata kasar di podium), melakukan korupsi kitab suci atau pun melakukan kesepakatan jahat lainnya. Atau malah dibelahan bumi lainnya banyak orang-orang yang saling bunuh dan menghalalkan darah orang lain atas nama agama.

Untuk itu kita tidak usah melihat apakah kita lebih baik dari orang lain atau tidak. Karena ketika kita beribadah (apapun agama anda), kita tidak menerima receipt (tanda terima) dari malaikat Rokit “Wahai si fulan sholat anda pada jam 1.30 pada hari Senen, telah diterima dengan minor revision”.

Baca Juga  Menemukan Kembali Asa Kesetaran Gender Dalam Kebijakan Presiden Gus Dur (2)

Kita boleh (wajib) mengingatkan tetapi ndak usah memaksakan, mari kita benahi diri kita sendiri perlahan hingga waktu yang telah ditentukan.

Sehingga dari sini saya menggarisbawahi bila agama yang paling benar adalah agama yang bisa dimengerti dan dipahami oleh umatnya, disampaikan dengan cara Indah, serta dipraktekkan secara seksama dalam bingkai yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Definisi itu ada dalam agama  Islam, Islam yang dicontohkan Rasulullah pada awal dakwahnya hingga Khullafaur Rasyidun.

Bukan Islam yang menghalalkan pertumpahan darah dengan mudah, bukan Islam yang mengklaim paling benar pandangannya dan orang lain salah.  Kalau yang lainnya menterjemahkan dengan yang lain ya monggo. (mmsm)

 

Achmad Room Fitrianto Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya