
Santri atau seorang pelajar ilmu agama Islam di pesantren, memiliki sejarah panjang di Indonesia. Selain berperan sebagai penyebar ilmu agama Islam, santri juga terlibat dalam banyak hal selain ta’lim, pengajaran ilmu agama. Salah satunya andil santri dalam merebut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Paling fenomenal aksi santri dalam mengobarkan semangat juang melawan pasukan sekutu pada pertempuran 10 November 1945.
Menurut Nurcholis Majid, terdapat dua pendapat mengenai arti kata ‘santri’ tersebut. Pertama pendapat yang menyebut bahwa ‘santri’ berasal dari kata shantri, yaitu bahasa Sanskerta yang berarti melek huruf atau bisa membaca.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa kata ‘santri’ berasal dari bahasa Jawa, yakni cantrik. Maknanya ialah seorang yang senantiasa mendampingi guru, kemanapun guru itu pergi. Maka tak heran jika seorang santri kebanyakan sangat patuh kepada gurunya, dalam lingkungan pesantren berarti kiai.
Secara umum, saat ini istilah ‘santri’ merujuk pada para pelajar yang belajar agaram di pesantren. Namun, ada anggapan lain yang mengakatan bahwa santri tidak harus tinggal di pesantren; asalkan belajar langsung kepada guru atau kiai, maka ia juga dinamakan santri.
Sepak Terjang Santri di Indonesia
Santri memiliki sejarah panjang di Indonesia. Bahkan ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kata ‘santri’ telah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, yakni sebelum ajaran Islam eksis di Nusantara. Sebagaimana pendapat pertama yang telah penulis sampaikan sebelumnya, bahwa ia berasal dari bahasa Sanskerta yang maknanya merujuk pada orang-orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu atau orang yang ahli kitab suci. Atas dasar itulah kata ‘santri’ diyakini sudah ada sejak lama.
Dalam konteks sejarah Islam, pada abad ke-17, banyak para pelajar dari Nusantara yang pergi ke Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu agama Islam. Di sana mereka mempelajari kitab atau buku karya ulama klasik yang biasa disebut dengan kitab kuning. Adapun bidang ilmu yang dipelajari seperti Fikih, Tauhid, Akhlak, Tasawuf, Nahwu, dan Shorof.
Sepulang dari Haramain, Makkah dan Madinah, para pelajar tersebut kemudian mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Mulanya mereka membangun asrama terlebih dahulu. Kemudian mengadakan aktivitas pembelajaran di asrama tersebut. Mereka yang belajar kepada para alumni pelajar Haramain inilah yang dinamakan santri.
Para pelajar Haramain yang berhasil mendirikan pesantren dan memiliki banyak santri diantaranya Syaikhona Kholil Bangkalan, K.H. Soleh Darat, K.H. Hasyim Asy’ari, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, dan Syekh Muhammad Hasyim Al-Fadangi.
Pada masa-masa kolonial, santri berperan penting dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Pertempuran 10 November menjadi bukti aksi heroik santri dalam mengusir tentara sekutu dari Kota Pahlawan. Dengan semangat yang membara, para santri berhasil memukul mundur tentara sekutu dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Munculnya Resolusi Jihad tersebut dilatar belakangi oleh Presiden Soekarno yang menanyakan kepada Mbah Hasyim ihwal hukum membela tanah air dalam Islam. Lalu Mbah Hasyim mengumpulkan ulama Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura di Surabaya guna membahas persoalan hukum membela tanah air dari ancaman kolonial. Setelah itu lahirlah Resolusi Jihad, yang berisi kewajiban membela tanah air dari penjajah.
Di Jawa Tengah para santri juga turut membantu mempertahankan kemerdekaan. Melalui Laskar Hizbullah, wadah bentukan dari Masyumi, para santri berhasil mengusir sekutu yang berada di Srondol, Semarang.
Empat Tipe Santri Menurut Sayyid Muhammad Al-Maliki
Dalam buku “Mencari Jalan Pulang” karya kiai Abdul Jabbar Hubbi, Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki―ulama besar Islam era kontemporer― memiliki empat tipe pelajar atau santri. Beliau berkata:
قال السيد محمد بن علوي المالكي: طالب العلم على أربعة؛ طالب ذكي مجتهد وخدوم، و طالب خدوم و غير ذكي، وطالب ذكي وغير خدوم، وطالب خَدوم وغير ذكي، وطالب ليس بذكي ولا خدوم؛ فأحسنهم الأول، والأخير أسوأهم.
الطالب عندي: من يتعلم ويخدم، ومن خلص في خدمته يفتح الله عليه
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki berkata, santri itu ada empat macam: Pertama, santri yang pandai, bersungguh-sungguh dan mau berkhidmat. Kedua, santri yang tidak pandai tetapi mau berkhidmat. Ketiga, santri yang pandai tetapi tidak mau berkhidmat. Keempat, santri yang bodoh dan tidak mau berkhidmat. Adapun santri yang paling baik adalah tipe santri yang pertama. Dan yang paling akhir adalah yang terburuk. (Sedangkan) menurutku (Sayyid Muhammad) adalah seorang santri yang belajar sekaligus berkhidmat. Dan barangsiapa yang tulus dalam berkhidmat, maka (semoga) Allah SWT akan membukaan baginya pintu kebaikan.
Keempat tipe santri tersebut fokus utamanya terletak pada tekun-tidaknya tingkat belajar seorang santri dan ihwal berkhidmat atau pengabdian. Maka yang terbaik adalah santri yang melaksanakan keduanya―belajar dan mengabdi, dan paling buruk yang tidak mengerjakan keduanya. Artinya santri tidak tekun belajar dan tidak mau berkhidmat.
Masih menurut Sayyid Muhammad, belajar dengan tekun merupakan kunci melekatnya sebuah ilmu. Sedangkan khidmat ialah jalan agar ilmu yang dimiliki mendapatkan keberkahan. Belajar dan mengabdi telah menjadi tradisi para santri, bahkan menjadi sebuah satu kesatuan. Maka melakukan keduanya dapat dikatakan sebagai santri yang sempurna.
Alumni PAI UIN Sunan Kalijaga. Pegiat Studi Keislaman