Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Perang yang Adil atau Kekerasan yang Adil? Problem Moralitas Perang

3 min read

Etika peperangan merupakan salah satu bidang filsafat moral yang paling runyam dan kontroversial. Etika ini berpusaran pada pertanyaan mendasar tentang keadilan, moralitas, dan hak asasi manusia dalam konteks kekerasan dan konflik yang mengerikan.

Pertanyaan utamanya adalah mungkinkah perang dibenarkan secara etis? Dan jika demikian, dalam kondisi apa? Wacana ini, yang berlangsung selama berabad-abad, menggunakan kerangka teori seperti Just War Theory, etika deontologis, dan penalaran konsekuensialis.

Moralitas Peperangan

Perang, pada hakikatnya, melibatkan bahaya dan penderitaan yang meluas. Perang menghancurkan kehidupan, komunitas, dan infrastruktur, sering kali meninggalkan bekas luka yang bertahan lama pada individu dan masyarakat. Karena alasan ini, banyak filsuf berpendapat bahwa pembenaran etis untuk perang harus memenuhi standar yang sangat ketat, jika pembenaran tersebut memungkinkan.

Inti dari wacana ini sebenarnya adalah pergulatan antara dua prinsip yang saling bertentangan: keharusan moral untuk mencegah bahaya serta melindungi nyawa yang tidak bersalah, dan kebutuhan untuk menanggapi ancaman serta ketidakadilan yang ada.

Dua kerangka etika utama mendominasi diskusi: konsekuensialisme dan deontologi. Para penganut konsekuensialisme, seperti para pemikir utilitarian, menilai moralitas peperangan berdasarkan hasil yang ditimbulkannya. Perang dapat dianggap dibenarkan jika mencegah bahaya atau penderitaan yang lebih besar.

Di sisi lain, para pemikir deontologis berpendapat bahwa tindakan tertentu pada dasarnya salah, terlepas dari konsekuensinya. Dari perspektif ini, peperangan dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak diperbolehkan secara moral karena pelanggaran hak asasi manusia yang hakiki, seperti hak untuk hidup.

Just War Theory: Kondisi untuk Perang yang Adil

Secara historis, Just War Theory telah menjadi kerangka utama yang digunakan untuk mengevaluasi moralitas peperangan. Berasal dari para filsuf Kristiani seperti St. Augustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas, teori ini menyatakan bahwa perang, meskipun tragis, terkadang diperlukan untuk mencegah ketidakadilan yang lebih besar.

Baca Juga  Logika Deduktif dan Induktif dalam Praktik Berpikir

Just War Theory menggariskan kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh suatu perang agar dianggap adil, dan kriteria ini sering dibagi menjadi dua area utama: jus ad bellum (keadilan perang) dan jus in bello (keadilan dalam perang).

Kriteria jus ad bellum membahas kondisi-kondisi yang secara moral memungkinkan untuk terlibat dalam perang. Prinsip-prinsip utama meliputi pertama,alasan yang adil. Perang harus dilancarkan untuk alasan yang sah, seperti membela diri atau melindungi nyawa yang tidak bersalah. Perang agresif untuk mendapatkan wilayah atau perolehan sumber daya gagal memenuhi kriteria ini.

Kedua, otoritas yang sah. Hanya otoritas yang dibentuk dengan benar, biasanya pemerintah, yang dapat menyatakan perang. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah kelompok-kelompok yang tidak memiliki tanggung jawab publik untuk terlibat dalam konflik.Ketiga, motif yang benar. Motif di balik perang harus murni, dengan fokus pada pemulihan perdamaian dan keadilan daripada mengejar balas dendam atau dominasi.

Ketiga, probabilitas keberhasilan. Perang tidak boleh dilakukan jika tidak mungkin mencapai tujuannya atau mencegah lebih banyak kerusakan daripada yang ditimbulkannya. Keempat, proporsionalitas. Manfaat perang yang diantisipasi harus lebih besar daripada kerusakan yang diharapkan. Kelima, upaya terakhir (last resort). Semua alternatif tanpa kekerasan, seperti diplomasi, harus diupayakan sebelum menggunakan perang.

Sementara kriteria jus in bello menyangkut perilaku dalam peperangan itu sendiri, yang menekankan perilaku moral di medan perang. Kriteria tersebut meliputi pertama, pembedaan. Para prajurit perang harus membedakan antara target militer dan warga sipil, dengan tujuan untuk menghindari bahaya bagi warga sipil.

Kedua, proporsionalitas. Penggunaan kekuatan harus proporsional dengan tujuan militer, dengan menghindari kekerasan yang berlebihan atau tidak perlu. Ketiga, keharusan militer. Tindakan harus diambil hanya untuk mencapai tujuan militer yang sah.

Jika perang memenuhi kriteria di muka, perang tersebut dapat dianggap “adil” menurut Just War Theory. Namun, standar ini sulit dipenuhi dalam praktik, dan beberapa filsuf berpendapat bahwa peperangan modern, terutama dengan persenjataan canggih, membuat kepatuhan terhadap kriteria ini hampir mustahil.

Baca Juga  Politik Identitas: Anak Muda dan Masa Depan Indonesia

Kritik terhadap Just War Theory

Beberapa kritik telah dilontarkan terhadap teori ini, khususnya dalam konteks peperangan modern. Salah satu masalahnya adalah subjektivitas yang melekat dalam menentukan apa yang merupakan “alasan yang adil” atau tanggapan yang “proporsional”. Misalnya, klaim satu negara untuk membela diri dapat dipandang sebagai agresi oleh negara lain, yang menyebabkan ambiguitas dalam membenarkan perang.

Lebih jauh, prinsip jus in bello sering dilanggar karena kenyataannya korban sipil kerap kali menjadi korban, khususnya dalam peperangan yang asimetris di mana aktor non-negara dan taktik gerilya mengaburkan perbedaan antara kombatan dan warga sipil. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah teori tersebut dapat diterapkan secara bermakna dalam situasi di mana warga sipil pasti terlibat dalam konflik.

Beberapa filsuf, seperti kaum pasifis, berpendapat bahwa Just War Theory pada dasarnya cacat karena menganggap bahwa perang dapat menjadi respons moral. Pasifisme, yang berakar pada keyakinan bahwa perang pada dasarnya salah, menyatakan bahwa selalu ada alternatif tanpa kekerasan, bahkan jika itu memerlukan kesabaran, negosiasi, atau pengorbanan.

Posisi pasifis mengacu pada prinsip-prinsip deontologis, yang menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang melekat dalam perang (misalnya, pembunuhan, pemindahan, dan penghancuran) tidak dapat dibenarkan secara moral, apa pun penyebabnya.

Perang dan Etika Utilitarian

Perspektif konsekuensialis, khususnya utilitarianisme, menilai perang berdasarkan potensinya untuk memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan penderitaan. Utilitarian berpendapat bahwa jika perang mencegah kejahatan yang lebih besar, maka itu dapat dibenarkan. Misalnya, perang yang dilakukan untuk mencegah genosida atau menghentikan kekuatan ekspansionis yang agresif, dari sudut pandang utilitarian, dapat dilihat sebagai sesuatu yang bahkan perlu secara moral.

Namun, kalkulasi utilitarian juga dapat mengarah pada pembenaran yang meresahkan. Kerangka berpikir utilitarian berimplikasi mendukung taktik-taktik ekstrem, seperti mengebom wilayah sipil, jika tindakan tersebut diharapkan dapat mengakhiri perang lebih cepat. Pendekatan “tujuan membenarkan cara” semacam ini berisiko melanggar hak asasi manusia yang mendasar, sehingga secara etis amat meragukan.

Baca Juga  Kenikmatan Menjalani Puasa Ramadan

Etika perang pada akhirnya mengungkapkan ketegangan yang mendalam antara prinsip moral dan realitas praktis. Di satu sisi, prinsip Just War Theory berupaya mengatur dan membatasi peperangan dalam batasan moral. Di sisi lain, keniscayaan kekerasan, penderitaan, dan ambiguitas moral dalam perang menantang batasan-batasan ini.

Bahkan perang yang tampak dapat dibenarkan di atas kertas sering kali berubah menjadi tindakan yang dipertanyakan secara etis, yang menunjukkan bahwa perang yang sepenuhnya adil mungkin lebih merupakan cita-cita ideasional daripada kenyataan konkretnya.

Apakah Perang yang Adil Mungkin?

Gagasan tentang “perang yang adil” sangat diperdebatkan. Sementara Just War Theory menyediakan kerangka kerja yang dapat memberikan legitimasi moral pada konflik tertentu, prinsip-prinsipnya sulit ditegakkan dalam praktik. Ketidakjelasan dalam mendefinisikan penyebab yang adil, tantangan dalam membatasi korban sipil, dan risiko meningkatnya kekerasan, semuanya memperumit gagasan tentang perang yang adil.

Para filsuf terus memperdebatkan implikasi etis perang, dan munculnya perang nuklir dan perang siber menghadirkan pertanyaan-pertanyaan etis baru yang mungkin tidak dapat sepenuhnya dijawab oleh teori-teori tradisional.

Sementara aspirasi untuk melakukan perang secara adil mencerminkan keinginan manusia akan tatanan moral yang lebih baik, realitas perang menunjukkan bahwa keadilan sejati mungkin tampak sebagai cita-cita yang mustahil. Oleh karena itu, tantangan etis peperangan memaksa kita untuk terus mempertanyakan pembenaran atas, dan perilaku dalam, setiap konflik, dengan selalu mengingat nilai inheren kehidupan manusia.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com