Angga Arifka Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, tinggal di anggaarifka[dot]com

Spirit Kemanusiaan dalam Islam menurut Gus Dur

2 min read

Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, adalah sosok karismatik yang meninggalkan jejak brilian dalam pemikiran keagamaan dan kemanusiaan. Salah satu kontribusi pandangannya yang terus membekas adalah penekanannya pada aspek humanisme dalam Islam.

Gus Dur sangat yakin bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ia berpendapat bahwa ruh Islam tidak hanya terletak pada praktik ritual atau doktrin teologis, melainkan pada komitmen seriusnya untuk memajukan martabat manusia, keadilan sosial, kasih sayang, dan toleransi. Pandangan ini berakar pada pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Qur’an, hadis, dan tradisi (turats).

Salah satu elemen kunci pemikiran Gus Dur mengenai aspek kemanusiaan dalam Islam adalah ijtihadnya yang teguh perihal pluralisme agama. Ia sangat yakin bahwa Islam harus hidup berdampingan dengan agama lain secara harmonis dan toleran. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, hal ini merupakan sebuah sikap yang revolusioner.

Gus Dur berpendapat, pluralisme agama bukan hanya sekedar kebutuhan politik, melainkan juga nilai Islam yang sudah mendarah daging dari dalam. Ia sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan penerimaan keberagaman, seperti surah al-Hujurat [49]: 13 yang berbunyi, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”

Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme agama terlihat dari upayanya mendorong dialog dan pemahaman antaragama. Ia yakin bahwa dengan melakukan dialog dengan umat beragama lain, umat Islam dapat menumbuhkan toleransi, mengurangi kesalahpahaman, dan membangun jembatan kerja sama. Ia melihat hal ini sebagai cara untuk menjunjung tinggi aspek kemanusiaan dalam Islam, yang menyerukan penghormatan terhadap semua umat manusia, terlepas dari apa pun keyakinannya.

Baca Juga  Covid-19 Menohok Spiritualitas Kita

Lebih jauh, pandangan Gus Dur perihal pluralisme agama tidak sebatas teori, tetapi diwujudkan dalam praktik. Selama masa kepresidenannya, ia mengambil langkah-langkah untuk menjamin perlindungan kelompok agama minoritas dan hak-hak mereka.

Sebagai pendukung vokal kebebasan beragama, ia dengan tegas menentang segala bentuk diskriminasi atau penganiayaan umat beragama. Tindakannya tersebut mencerminkan keyakinannya bahwa masyarakat yang adil dan manusiawi hanya dapat dicapai dengan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan kebebasan beragama bagi semua orang.

Gus Dur berpendapat bahwa prinsip ini seharusnya menjadi pedoman tidak hanya perilaku individu tetapi juga kebijakan dan sikap negara. Ia menandaskan bahwa masyarakat yang benar-benar islami harus ditandai dengan rasa empati dan kepedulian terhadap kelompok rentan dan minoritas.

Aspek penting lain dari pemikiran Gus Dur tentang aspek kemanusiaan dalam Islam adalah penekanannya pada keadilan sosial. Ia percaya bahwa Islam memiliki upaya yang tidak setengah-setengah untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi yang menimpa masyarakat.

Ia sering mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang menyerukan pembagian kekayaan secara adil dan memberikan dukungan kepada mereka yang kurang mampu. Surah al-Baqarah [2]: 267, misalnya, menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.”

Bagi Gus Dur, umat Islam mempunyai kewajiban untuk berupaya mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan merata. Ia memandang keadilan sosial sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari ajaran utama Islam. Oleh sebab itu, ia bekerja tanpa kenal lelah untuk mendorong kebijakan yang dapat mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendidikan, dan menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kepresidenannya ditandai dengan upaya untuk mengurangi korupsi dan memastikan bahwa pemerintah melayani kepentingan masyarakat, khususnya kelompok yang termarjinalkan. Selain itu, advokasi Gus Dur untuk keadilan sosial tidak hanya menjangkau wilayah Indonesia.

Baca Juga  Kemandirian Dana Muktamar NU

Ia adalah seorang kritikus yang blak-blakan terhadap sistem ekonomi global, yang dianggapnya melanggengkan kesenjangan dan eksploitasi. Ia berpendapat bahwa prinsip-prinsip etika ekonomi Islam, seperti kewajiban zakat, menawarkan cetak biru bagi perekonomian global yang lebih adil.

Komitmen Gus Dur terhadap keadilan sosial bukannya tanpa kontroversi, karena ia menghadapi perlawanan dari mereka yang memiliki kepentingan. Namun, ia tetap teguh pada keyakinannya bahwa Islam menuntut terwujudnya masyarakat yang adil, dan ia terus memperjuangkan cita-cita tersebut hingga akhir hayatnya.

Selain pluralisme agama dan keadilan sosial, pemikiran Gus Dur tentang aspek kemanusiaan dalam Islam juga berporos pada rasa kasih sayang dan empati. Bahwa Islam menyerukan pengikutnya untuk menunjukkan kebaikan dan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup dipegang erat oleh Gus Dur. Ia sering mengutip hadis Nabi yang berbunyi, “Allah tidak akan mengasihi seseorang yang tidak punya belas kasih terhadap orang lain” (HR Bukhari & Muslim).

Pandangan serta tindakannya terus menginspirasi tidak hanya masyarakat muslim Indonesia tetapi juga umat Islam dan pemeluk agama lain di seluruh dunia yang berupaya membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Warisan pemikiran Gus Dur ini mengingatkan kita bahwa jalan kebajikan dan kasih sayang tidak hanya sejalan dengan Islam, melainkan justru menjadi ruh ajarannya.

Angga Arifka Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, tinggal di anggaarifka[dot]com