Bagaimana mengatur ekspresi beragama dalam ruang publik? Pertanyaan demikian itu penting untuk didiskusikan mengingat negeri kita adalah negara yang memiliki tingkat keberagaman agama yang tinggi. Ada enam agama yang dicatat oleh pemerintah sebagai agama resmi. Pun demikian dengan beragam kepercayaan lokal lain yang saat ini telah secara resmi diakui oleh Negara.
Dalam kondisi penuh perbedaan tersebut penting adanya sebuah payung bersama supaya semua pemeluk agama memiliki hak yang sama dalam kehidupan bersama di ruang publik. Payung bersama tersebut kini menemui urgensinya, karena belakangan ini sering kali terjadi tindakan-tindakan yang melampaui wewenang. Tindakan tersebut, misalnya, yang dilakukan oleh ormas (organisasi kemasyarakatan) agama tertentu yang menciderai pihak lain baik sesama maupun beda terhadap agama. Tentu, perilaku yang demikian itu akan mencoreng harmoni kehidupan beragama di ruang publik.
Untuk membicarakan tentang bagaimana idealnya agama dalam ruang publik, kita tidak bisa memulainya tanpa mengikutsertakan filusuf Jurgen Habermas tentang gagasan ruang publiknya. Menurutnya bahwa dalam masyarakat Post-Sekuler, agama adalah partner bagi modernitas untuk menjaga ruang publik bersama. Perlu adanya upaya penggalian kritis ajaran agama dengan tanpa kehilangan substansi ajarannya, supaya produknya dapat digunakan untuk mengisi ruang publik bersama (Sunarko, 2010).
Dengan demikian, perlu adanya penggalian gagasan tentang bagaimana hubungan antar agama dalam ruang publik dari sebuah ajaran agama. Terkait dengan pentingnya upaya demikian itu, sebetulnya sudah ada beberapa cendikiawan muslim yang memiliki gagasan dasar yang dapat menjadi landasan bagaimana hubungan antar agama dalam ruang publik tersebut dilakukan.
Salah satu cendikiawan muslim yang memiliki gagasan tentang agama dalam ruang publik adalah Kuntowijoyo. Dalam bukunya, Identitas Politik Umat Islam (2018), ia mengatakan bahwa prinsip dasar dari hubungan antar-agama dalam ruang publik adalah harmonisasi. Masing-masing agama tidak boleh mencampuri urusan internal agama lain. Pandangan ini dalam perspektif Islam sesuai dengan yang termaktub dalam Q.S. Al-Kafirunal (109): 6, “Lakum dinukum, wa liyaddin”, bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Spirit harmonisasi dalam ayat tersebut tersebut penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan kaum Muslim sehari-hari. Menurut Kuntowijoyo, seorang Muslim tidak perlu merepotkan diri untuk mengintervensi teologi maupun praktik pemeluk agama lain. Karena, yang demikian itu akan menimbulkan segregasi sosial dan menghilangkan persaudaraan dalam bingkai kemanusiaan dan kebangsaan.
Anjuran Kuntowijoyo tentang harmoniasasi dalam hubungan antar agama di ruang publik tersebut sama sekali tidak mengubah atau memengaruhi bagaimana kita, umat Islam dalam bertauhid. Justru, implikasi dari anjuran “untukmu agamu, dan untukku agamaku”, bahwa kaum beragama selain Islam juga tidaklah diperkenankan untuk mencampuri urusan internal agama kita.
Ketika semua agama memiliki spirit untuk menghormati agama lain dan tidak ikut campur dalam urusan internal agama lain, demikian itu akan menciptakan kehidupan sosial dalam ruang publik yang saling menghargai, tenggang rasa, harmonis, dan penuh persaudaraan. Ketika harmonisasi ruang publik tercapai, kehidupan beragama dan bernegara kita juga akan dipenuhi oleh pijar-pijar nilai keadilan. Dan yang demikian itu semakin dekat dengan adagium dalam Islam “Baldatun toyibatun, wa rabbun ghafur/ negara baik (adil), dan penuh ampunan Allah swt”.
Senada dengan Kuntowijoyo tentang perlunya harmonisasi dalam relasi antar agama di ruang publik, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa perlunya penjaminan hak beragama bagi setiap pemeluk agama. Sumber pemikiran Gus Dur tentang jaminan hak kebebasan untuk beragama tersebut diambil dari Maqoshid Syari’ah (tujuan-tujuan syara’) yang umum diajarkan dalam pendidikan pesantren.
Maqashid Syari’ah sendiri terdiri dari lima prinsip dasar yang menjadi tujuan akhir sebuah syari’at Islam. Lima prinsip tersebut, yaitu; pertama, hifdzu nafs–keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar hukum; kedua, hifdzud din–jaminan keselamatan atas pilihan agama masing-masing; ketiga, hifdzu nasl–keselamatan keluarga dan keturunan; keempat, hifdzul mal–jaminan kepemilikan harta benda; dan kelima, hifdzul aql–jaminan keselamatan pikiran atau profesi (Wahid, 2007).
Gus Dur melihat bahwa prinsip hifdz ad-din ini lah yang perlu ditegakkan dalam hubungan antar umat beragama, bahwa setiap orang berhak mendapatkan jaminan keselamatan atas keyakinan atau agama yang dianut. Prinsip jaminan hak beragama ini sebenarnya merupakan bagian dari dakwah islam itu sendiri.
Menurut Gus Dur, sejak berkembang menjadi agama besar di dunia, Islam sudah membawa misi yang beradab dan kosmopolitan. Misalnya, pada abad ke-9 masehi di era khalifah Al-Makmun (Abbasiyah) dengan Baghdad sebagai ibu kotanya, Peradaban Islam tercatat sebagai memiliki pusat pengembangan ilmu pengetahuan terbesar di dunia “Bait al-Hikmah”, Rumah (pusat) Kebijaksanaan. Di Baitul Hikmah banyak kalangan non-muslim yang terlibat dalam projek penerjemahan berbagai khazanah ilmu pengetahuan dari Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab.
Baitul Hikmah bisa dikatakan sebagai salah satu tonggak kemajuan perdaban Islam, di sisi lain, sekaligus menjadi ruang publik yang mempertemukan masyarakat yang berbeda yang semakin meneguhkan ajaran Islam yang kosmopolit dan beradab.
Akhirnya, spirit harmoniasasi antar agama yang merupakan bagian dari ajaran Islam tersebut perlu untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita sehari-hari dalam ruang publik. Terwujudnya masyarakat yang harmonis adalah tujuan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan adanya upaya harmonisasi dari setiap pihak, rasa persaudaraan antar umat beragama dan sesama anak bangsa akan semakin terjalin dengan baik. Wallahua’lam. [AA]