Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Orang Muhammadiyah Hidup Enjoy di Lingkungan NU (1)

1 min read

Haflah hari lahir NU yang ke 95 masih terasa gegap gempita khususnya di dunia maya. Hampir semua tokoh dan lembaga menyampaikan ucapan selamat diiringi dengan berbagai harapan baik untuk jamiyyah terbesar di bumi Nusantara ini. NU bagi saya yang lahir dari Rahim Muhammadiyah dan menjadi aktivis persyarikatan adalah sesuatu yang istimewa karena pernah menikmati (enjoy) hidup bersama mereka.

Toleransi itu diuji dalam perbedaan, ketika kita hidup dengan kelompok yang berbeda, karena kalau hanya hidup dengan sesama kelompok semahdzab, sealiran tentu tidak banyak persolan ikhtilaf, perbedaan adalah ujian toleransi sesungguhnya. Paling tidak ada beberapa faktor yang membuat NU terasa istimewa bagi saya.

Pertama: Interaksi pemikiran pertama saya dengan NU ketika saya belajar di pesantren.  Meskipun lahir dan tumbuh dilingkungan Muhammadiyah, saya banyak belajar pada para guru NU. Mungkin ini mengikuti jejak bapak saya yang masa mudanya mondok di pesantren Jalen Banyuwangi, kemudian pulang dan menjadi tokoh Muhammadiyah.

Pada tingkat aliyah saya berkesempatan nyantri di Pondok Modern al Islam Nganjuk yang dikelola oleh para tokoh NU kultural yang bermanhaj nahdliyin baik aqidah maupun ritualnya. Meskipun pondok modern namun tradisi salaf tetap terasa, ngaji kitab kuning lafadz makna bahasa jawa, tahlilan, barzanji, dibaiyyah sebagai tradisi ahlu sunnah wal jamaah tetap dilaksanakan dengan baik. Di situlah saya banyak mengerti tentang tradisi keilmuan dan budaya NU.

Kedua, ketika saya melanjutkan belajar di perguruan tinggi, tepatnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya saya tinggal di pesantren mahasiswa an Nur jemur wonosari Surabaya dibawah asuhan KH. Prof. Dr. Imam ghazali Said, MA selama tiga tahun, 1996-1999 (seingat saya pada saat itu beliau ketua lajnah bahsul masail PWNU Jawa Timur).

Baca Juga  Argumentasi Kritik atas Sistem Khilafah

Meskipun ketika saya menjadi aktivis pesantren (ketuanya cak Ali Mustofa, Sekretarisnya mas Harir Muzakki dan saya bendahara OSPM) waktu beliau banyak dihabiskan belajar di Mesir. Dari interaksi yang ada saya banyak belajar bahwa perbedaan adalah sunatulloh, sebuah keniscayaan dan realitas yang tidak mungkin dihindari. Pengetahuan beliau yang luas dan moderat mampu menjelaskan secara baik fiqh ikhtilaf dalam umat bisa terjadi.

Satu hal yang sangat saya ingat adalah ketika beliau menjelaskan secara logis kenapa ada yang mengganggap melafalkan niat adalah sunnah, sedang sebagian yang lain mengatakan bid’ah. Saya cukup bersyukur bisa belajar pada beliau dan ustadz-ustadz lain di pesantren mahasiswa an-Nur yang sangat moderat, mungkin ini bagian dari yang membuat saya merasa biasa saja menjalankan ritual ala NU meskipun ada beberapa yang berbeda. Saya tetap mengikuti ritual tahlilan meskipun tidak sepakat dengan system tawasul dan hadiah pahalanya, karena bagi saya semua bacaan kalimah thayyibah dalam ritual tahlil adalah masyru’.

Ketiga, Alloh mentaqdirkan saya menikah dengan putri seorang tokoh NU. Bapak mertua saya H Toha Muhsin adalah syuriah NU Anak Cabang Sampung Ponorogo. Seluruh keluarga dan lingkungan mertua adalah para kader NU yang berperadaban karena hampir semua adalah santri pesantren ternama di Jawa seperti Ploso, Lirboyo, Jombang, Lasem, Banyuwangi, dan pesantren-pesantren di Ponorogo.

Saya tinggal dengan mertua sekitar dua belas tahun (2002-2014) karena belum memiliki rumah dan tidak boleh ngontrak sama mertua. Meskipun jarak antara rumah mertua dan kampus saya, IAIN Ponorogo cukup jauh, sekitar 20 kilo meter namun tetap saya jalani dengan senang.

Selanjutnya: Orang Muhammadiyah Hidup Enjoy…(2)

Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung