Sebelumnya: Orang Muhammadiyah Hidup Enjoy…(1)
Selama 12 tahun itu saya berinteraksi dengan masyarakat NU pedesaan sekaligus menjadi aktivis Muhammadiyah. Pada waktu itu saya sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ponorogo. Saya selalu mengikuti acara-acara yang diadakan oleh lingkungan, seperti Yasinan rutin tiap malam Kamis, khataman al Qur’an tahunan, maulid nabi, pengajian umum bahkan dzikir fida’.
Kebetulan imam dzikir fida adalah pak lek saya, kiyai Ahmad Zubaidi yang pernah saya kasih masukan terkait ritual tersebut. Banyak warga yang meyakini dzikir fida sebagai penebusan dosa, kemudian saya tanyakan pada kiyai Zubaidi. Beliau menjelaskan bahwa dzikir itu untuk membersihkan jiwa supaya kalau berdo’a diterima oleh Alloh swt, jadi bukan untuk menebus dosa. Karena itulah saya usulkan agar sebelum ritual dimulai harus dikasih penjelasan dulu, dan itu dilakukan oleh pak lek.
Begitu pula ketika ada beberapa warga yang mengambil barang-barang di kuburan para wali dalam tradisi wisata religi ziarah wali songo. Sebagian warga yang kurang faham agama menjadikan barang-barang tersebut sebagai pesugihan, jika membawa tanah, bunga, air atau apapun itu kanan membuat dagangannya laris. Saya minta pak Lek menjelaskan pada warga agar tradisi sunnah ziarah wali tidak tidak menjerumuskan mereka pada kemusyrikan, namun melembutkan hati mereka dengan dzikir dan mengambil pelajaran pada para wali.
Selama saya hidup berdampingan dengan mertua dan lingkungan NU tidak pernah sekalipun saya berkonflik dengan mereka dalam hal agama. Saya merasa nyaman hidup bersama masyarakat NU, santai dan menyenangkan. Banyak persoalan agama diselesaikan bukan dengan pendekatan dalil langsung namun dengan budaya dan kearifan lokal.
Itulah kecerdasan social NU disamping kecerdasan spiritualnya yang menyebabkan kehidupan keberagamaannya semarak. Saya juga berkesempatan ikut membantu membesarkan RA Muslimat NU di kampung mertua, bukan karena kepala sekolahnya istri saya, namun saya yakin dimanapun orang berbuat baik pasti berpahala. Para gurunya saya kirim ke ustadz Afifi untuk belajar teknik membaca al Qur’an methode Ummi agar para siswa bisa membaca dengan baik.
Kemampuan siswa harus diekspos supaya diketahui oleh khalayak, karena itulah setiap acara perpisahan saya usahankan dengan warga yang kompak untuk bikin pengajian agar kreatifitas dan kemampuan siswa ditunjukkan. Biasanya saya minta para sesepuh di IAIN Ponorogo untuk mengisi tausiyah, tentu saja murah meriah karena teman sendiri. Beberapa tahun berikutnya (sekitar 5 tahun) ada peningkatan murid yang tadinya sekitar 25 menjadi 60 an anak.
Banyak juga warga yang mengetahui saya aktif di Muhammadiyah, bahkan ada juga yang kadang mengajak diskusi dan bertanya sesuatu tentang amalan Muhammadiyah, setelah saya jelaskan mereka faham. Begitu pula ketika saya jelaskan bahwa saya mengikuti ritual mereka tapi saya niatkan sebagai dzikir dan do’a terbaik mereka juga faham, mereka tau saya ikut tahlil dan dzikir fida tetapi tidak ikut tawasul dan kirim pahala karena saya tidak sefaham meskipun tau dasar pelaksanaanya, namun tidak ada khilafiyah dalam mendo’akan orang lain baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.
Bagi yang tidak faham mungkin melihat saya sebagai orang yang tidak memiliki pendirian karena kanan kiri oke, namun bagi saya itulah cara mewujudkan harmoni dalam beragama, toh sebenarnya bahan baku pemikiran NU dan Muhammadiyah sama saja. Dengan cara ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam dalam kompromi ada solusi, di satu sisi kehangatan social saya dengan masyarakat tetap terjaga dan di sisi lain keyakinan saya terhadap manhaj tarjih juga bias saya pertahankan, karena sebenarnya ritual dzikir dan do’a itu sangat personal.
Keluarga mertua pun juga faham dan memperhatikan kesehatan saya ketika saya biasa pulang tengah malam karena ada acara-acara Muhammadiyah. Teman-teman Muhammadiyah juga tau saya menantu H Toha Muhsin seorang tokoh NU karena ternyata mereka berteman baik, bahkan sering berkirim salam untuk bapak mertua.
Belakangan saya tau para sesepuh Muhammadiyah yang saya kenal dulunya adalah para pengawas sekolah yang membantu bapak mertua dan pak lek mendirikan madrasah ibtidaiyyah di tanah keluarga. Tokoh Muhammadiyah membantu mendirikan sekolah NU adalah contoh ukhuwah yang baik bagi generasi penerus seperti saya, bahwa perbedaan bukan halangan untuk sama-sama berjuang, toh mereka tetap berteman dan saling perhatian sampai usia senja.
Interaksi yang tulus dan saling memahami menurut saya kunci utama dalam kehidupan social. Meskipun berorganisasi itu penting, namun yang lebih penting adalah keseriusan dan komitmennya menjalankan ajaran dan manhajnya dengan baik. Karena itulah selama berinteraksi dengan mereka saya tidak pernah berusaha mendakwahkan Muhammadiyah atau mengajak mereka mengikuti saya, biarlah mereka tetap menjadi NU namun serius, bukan hanya memegang kartanu, namun mengikuti manhajnya, mengikuti para ulama’nya, rajin beribadah dan berbuat ikhsan.
Makannya ketika suatu hari ada sedikit konflik dengan jamaah tabligh yang dauroh saya berusaha menjelaskan pada tokoh-tokoh jamaah tabligh untuk mengalah dan menghormati tradisi masyarakat yang sudah ada system social yang rapi, saya arahkan mereka berdakwah pada masyarakat yang tidak bertuan seperti di pinggiran gunung, Alhamdulillah mereka mengerti.
Selama hidup di dua dunia yang berbeda (NU dan Muhammadiyah) secara bersamaan saya melihat keseriusan menjadi kunci kedewasaan beragama. Saya lihat dan perhatikan orang NU yang berpegang pada manhaj ahlu sunnah wal jamaah dengan baik menjadi orang baik dan moderat pula.
Belajar dengan tuntas dan berbuat untuk NU seutuhnya dan setulusnya, hidupnya dihabiskan untuk perjuangan dan keberlangsungan dakwah. Begitu pula di lingkungan Muhammadiyah, saya juga melihat teman-teman yang serius belajar memahami manhaj tarjih dengan tuntas, tekun dan rajin beribadah juga menjadi pribadi-pribadi yang sholih. Hidupnya juga habis untuk berjuang dan berbuat untuk ummat lewat amal usaha yang didirikannya.
Konflik sering terjadi karena kehilangan ketulusan dalam berinteraksi, juga pemahaman kurang baik akibat ngaji yang tidak tuntas. Makanya ketika anak-anak millennial NU dan Muhammadiyah masih ada yang berkonflik soal khilafiyyah terlihat aneh. Mungkin bapak ibu kita dulu punya beban sejarah politik, namun generasi sekarang tidak memiliki beban sejarah kelam yang harus di rawat.
Karenanya pada harlah NU ke 95 ini saya dengan setulus hati mengucapkan selamat diiringi do’a semoga jamiyyah ini tetap dan terus menjadi pilar berbangsa dan bernegara dengan menebarkan islam rahmatan lil ‘alamin ala manhaj ahlu sunnah wal jamaah di persada nusantara. NU mampu bergandengan tangan lebih erat dengan Muhammadiyah dan ormas moderat lainnya dalam mewujudkan islam berkemajuan di bumi Nusantara. (MMSM)