Tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Islam berfondasi pada Al-Qur’an dan hadis. Para ulama selalu melihat keduanya sebagai sumber utama untuk menjadi muslim. Akan tetapi, bagaimana dengan tasawuf? Bagaimana mungkin tasawuf (taṣawwuf) berasal dari kedua sumber tersebut jika kita tidak menemukan satu pun kata yang menyebutnya?
Akar tasawuf dapat ditemukan dalam—apa yang disebut—“Hadis Jibril”. Ketika Nabi dan beberapa sahabatnya sedang duduk, seorang pria datang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Nabi, “Apa itu islām?”; “Apa itu īmān?”; dan “Apa itu iḥsān?”—selain juga menanyakan perihal hari akhir. Kemudian, Nabi menjawab semua pertanyaan itu. Ketika laki-laki itu pergi, para sahabatnya bertanya, “Siapa laki-laki itu?” Nabi menjawab bahwa dia adalah Jibril, datang untuk mengajari tentang agama (al-dīn).
Jawaban dari dua pertanyaan pertama sudah diketahui semua umat Islam. Yang pertama adalah lima rukun islām, dan yang kedua adalah enam rukun īmān. Lima rukun islām adalah tentang syariat yang harus dipraktikkan oleh semua muslim, yang merupakan ekspresi lahiriah dari agama, sedangkan enam rukun īmān merupakan ekspresi batin dari agama. Keduanya sangat familier bagi semua muslim. Namun, bagaimana dengan iḥsan?
Bisa diduga istilah iḥsān itu sendiri tidak begitu familiar bagi semua muslim. Mungkin itu hanya familiar bagi para pelajar dalam studi Islam. Iḥsān secara etimologis adalah melakukan yang indah, tetapi iḥsān, seperti yang dikatakan Nabi, adalah “menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sementara jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia benar-benar melihat engkau.”
Lima rukun islām dipahami sebagai syariat, yang dalam cabang studi Islam merupakan ruang lingkup fikih—yang menjadi kesepakatan para ahli hukum Islam atau fukaha. Apa yang mereka kaji hanya tentang jalan lahiriah beragama, dimensi eksoteris Islam, seperti salat, haji, dan lain-lain. Begitu pula syahadat: syahadat hanya diucapkan dengan mulut tanpa penyaksian yang meyakinkan.
Pada tingkat yang lebih dalam, imān berada dalam ruang lingkup akidah yang dibahas oleh para teolog Islam atau mutakallimūn. Pada umumnya, akidah juga dibahas dalam filsafat Islam. Yang berbeda adalah metodenya. Para teolog muslim menggunakan “jadalī” (metode dialektis) untuk mencari kebenaran dengan cara apologetis, sedangkan para filsuf muslim menggunakan “burhanī” (metode demonstrasi), menalar dengan logika untuk merengkuh kebenaran.
Terakhir, pada level terdalam, iḥsān adalah wilayah tasawuf yang digeluti oleh para sufi. Syariat memang memberi tahu seorang muslim apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang hanya berkaitan dengan hal-hal jasmani, dan iman mengajarkan seorang mukmin untuk memahami dunia metafisik, yang melampaui dunia fisik ini. Bagi para sufi, praktik jasmani dalam syariat dan pemahaman dalam akidah tidak cukup untuk mencapai puncak Islam itu sendiri, karena Allah tidak terjangkau dengan wadak dan pikiran.
Salah satu hadis Nabi menegaskan, “Kalbu seorang mukmin adalah rumah Allah.” Kaum sufi masuk ke tingkat terdalam dari pembagian tripartit dimensi Islam, yakni islām, īmān, dan iḥsān. Tingkat terdalam tersebut adalah iḥsān. Bagi para sufi, kalbu adalah semacam alat untuk merasakan kehadiran Allah, bukan pikiran maupun wadak, dan bukan pula penalaran sebagaimana filsuf maupun teks-teks literal sebagaimana fukaha.
Lalu apa maksud dari “menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sementara jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia benar-benar melihatmu”? Apa yang dimaksud dari iḥsān adalah melihat Allah dengan kalbu kita, bukan dengan mata indrawi kita. Oleh karena itu, para sufi selalu berusaha untuk menyucikan kalbu, lantaran selain sebagai rumah Allah, kalbu adalah bagian terdalam dari manusia agar mereka dapat mengenal Allah.
Salah satu hadis populer—atau mungkin hanya aforisme yang selalu diulang-ulang dalam tasawuf—adalah “barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Rabb-nya.” Aforisme ini banyak memengaruhi tasawuf termasuk ajarannya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami di ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar” (QS. 41: 53).
Bagi para sufi, mengenal diri sendiri merupakan syarat mendasar untuk mengenal Allah. Dengan demikian, para sufi lebih menekankan pada penyucian diri atau jiwa. Bertentangan dengan dua dimensi pertama, islām dan īmān, iḥsān membawa seorang muslim masuk ke level terdalam dari keberadaan mereka dalam melakukan yang indah. Namun, bukan berarti para sufi mengabaikan dua yang pertama. Sebaliknya, para sufi mengamalkan keduanya dalam tataran terdalam, yaitu iḥsān.
Dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah dimensi psikologis dalam memuslimkan diri, karena para sufi lebih memperhatikan perkembangan psikologi spiritual manusia. Secara garis besar, tujuan tasawuf adalah mengajarkan bagaimana membersihkan kalbu dan bagaimana menaklukkan jiwa rendah untuk mengalami kedekatan dengan Allah. Dengan kata lain, penyucian kalbu menjadi sarana utama dari setiap praktik tasawuf.
Menurut para sufi, islām dan īmān belum cukup untuk secara autentik bersaksi bahwa “tiada tuhan selain Allah”, sehingga para sufi merumuskan ajaran spiritual perihal bagaimana menyaksikan Allah dengan menyucikan kalbu karena sebagaimana ditegaskan dalam hadis yang telah disinggung, “Kalbu seorang mukmin adalah rumah Allah.”
Tidak dapat disangkal, menurut Islam, bahwa setiap orang, setiap bayi yang lahir di dunia, dalam watak aslinya adalah baik (fitrah), tetapi dari waktu ke waktu setiap orang melakukan kesalahan, dosa, dan lupa asal-usul dirinya. Dalam hal ini, tasawuf mengajarkan kita cara untuk kembali atau pulang ke asal-usul rumah kita, alam spiritual di mana setiap manusia adalah makhluk spiritual.
Singkatnya, tasawuf secara epistemologis dan aksiologis berasal dari ajaran Islam. Tasawuf adalah dimensi spiritual Islam. Sejumlah besar ayat dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi mendorong umat Islam untuk “melakukan yang indah” (iḥsān). Jika tidak ada tasawuf sebagai dimensi spiritual, Islam hanya akan menjadi wadak dan penalaran, tak berkalbu.