Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Rumah Yang Dirindukan

2 min read

Orang Barat membedakan konsep rumah menjadi dua: fisik dan substantif. House adalah rumah dalam arti fisik bangunan-yang bisa didesain sebagus mungkin sesuai dengan ketersediaaan finansial, sementara home adalah rumah dalam arti tempat tinggal yang penuh perasaan emosional. Itulah sebabnya orang Barat menyebut kangen pulang dengan homesick dan kampung halaman sebagai hometown, atau yang lebih dalam lagi menyebut tempat tinggal yang dirindukan dan menyenangkan sebagai sweet home.

Karena itulah ada anekdot what can buy by money? A house not a home. Orang yang kerasan tinggal di suatu tempat meskipun bukan rumahnya biasa bilang feel at home (serasa di rumah).

Rumah yang dirindukan adalah rumah yang membuat penghuninya kerasan oleh kasih sayang, yang dalam bahasa agama disebut sebagai bayti jannati (rumahku adalah surgaku). Surga adalah penggambaran sebuah tempat yang penuh kesenangan. Begitu juga rumah yang memberikan kesenangan lahir, seperti fasilitas fisik yang lengkap, desain arsitektur yang indah dan roda ekonomi yang mencukupi, sedangkan kesenangan batin diperoleh dengan rasa kasih sayang, saling percaya, saling perhatian, saling bertegur sapa, saling menghormati dan lain sebagainya.

Dalam bahasa agama, hal ini disebut sebagai “sakinah” diambil dari Q.S. al-Rum: 21, litaskunū ilaihā, yang dalam arti umum adalah tempat tinggal (sakan/maskan) yang tentram, dan ketentraman itu ada dalam relung hati yang saling menyayangi. Itulah sebabnya rumah dalam arti fisik bisa dibeli dengan uang, sementara rumah tinggal yang sakinah (tentram) secara ruhani tidak bisa dibeli dengan uang.

Kehidupan hedonis dunia modern seringkali membuat manusia kehilangan waktu dan kesempatan untuk bisa bercengkrama bersama keluarga. Manusia modern seperti yang disampaikan Sayyid Hossein Nasr adalah individu-individu yang sukses secara materi namun hatinya kosong. Kesempatan untuk sekedar berbicara dengan keluarga habis termakan kebutuhan mengejar ekonomi. Masing-masing individu dalam keluarga berangkat kerja sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Semua merasa lelah dan membutuhkan waktu untuk istirahat, maka tidak heran yang tampak adalah individu-individu yang sensitif. Sedikit saja ada pemicu,berupa sikap atau ucapan,maka ia akan meledak menjadi kemarahan yang bisa menimbulkan suasana perang.

Baca Juga  Politik Orientalisme, Sebuah Ancaman atau Manfaat?

Bagi keluarga menengah ke atas, desain rumah dengan berbagai fasilitas di dalamnya membuat masing-masing anggota keluarga memiliki otoritas dan batas teritorial, setiap kamar ada kamar mandi, televisi, telepon dan fasilitas lainnya. Masing-masing penghuni merasa nyaman di kamar masing-masing. Jadilah keluarga yang individualis, sensitif dan permisif. Lagi-lagi, situasi inilah yang sering kali memicu pertengkaran, konflik, sengketa yang bisa berujung perpecahan dan perceraian. Situasi ini bukan saja menjangkiti kelompok menengah ke atas, keluarga perantau dan pekerja luaran juga sering kehilangan quality time bersama keluarga, sehingga sering teralienasi dalam keramaian keluarga.

Namun,  Covid-19 tampaknya memaksa setiap keluarga untuk menemukan kembali fitrah kekeluargaannya. Apalagi bertepatan dengan hadirnya bulan suci Ramadan yang dapat dijadikan sarana mewujudkan bangunan keluarga sakinah yang dirindukan. Mungkin salah satu rencana indah Tuhan dengan virus ini adalah mengingatkan kembali hakikat keluarga. Meskipun dalam suasana invansi covid-19, ibadah puasa sebenarnya tidak terpengaruh apapun karena merupakan ibadah yang sifatnya personal.

Ibadah puasa tetap bisa dilaksanakan dengan sempurna tanpa terganggu sedikitpun oleh covid-19. Bahkan, sunnah tarawih sebenarnya juga salat yang sifatnya personal, sebelum Umar binKhattab mengumpulkannya dalam bentuk jamaah.Namun demikian, tarawih berjamaah pun tetap bisa dilaksanakan di rumah bersama keluarga. Semua bisa dilakukan bersama keluarga untuk menciptakan atmosfir keluarga sakinah di didalam rumah.

Alangkah indahnya jika kehidupan relijius terbentuk dalam keluarga; ayah yang menjadi imam salat bagi keluarganya, memimpin doa, tadarus bersama, buka bersama, belajar agama bersama, bahkan melakukan hal-hal yang dapat merekatkan hubungan keluarga seperti masak, berkebun, olahraga dan bermain, yang semua dilakukan secara bersama.

Peran edukatif seorang ayah akan muncul ketika sering berkumpul dalam keluarga,menanamkan nilai-nilai universal keluarga. Interaksi secara langsung bisa menjadi sarana ta’aruf (saling mengenal). Bergaul langsung juga dapat menumbuhkan sikap saling memaafkan. Banyak pekerjaan rumah yang dapat dilakukan secara bersama-sama, seperti menyiapkan tempat untuk salat jamaah bersama, memasak bersama, menyiapkan menu berbuka dan sahur bersama, berdoa bersama dan kegiatan lainnya yang memperkuat ikatan kekeluargaan.

Baca Juga  Mendamaikan Agama dan Sains: Belajar dari Pandemi “Maut Hitam”

Disinilah hubungan kasih sayang connecting familyyang mungkin terputus karena kesibukan dan gadget akan terbangun kembali atas dasar silaturahim. Rasa kasih sayang tidak bisa tumbuh secara normal dalam masyarakat informasi dan jejaring, dimana cara berkomunikasi tidak lagi face to face. Banyak kesalahpahaman yang timbul karena komunikasi yang tidak tuntas, sebab media sosial hanya mampu menjalin kominukasi tapi tidak mampu menanamkan nilai. Puasa dalam nuasana covid-19 adalah momentum untuk mewujudkan rumah surga, bayti jannati. (AS)

Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *