Seiring berkembangnya zaman, fenomena hijrah sudah menjadi hal yang lumrah dikalangan muslim. Gerakan ini diyakini sebagai suatu ekspresi semangat revivalisme dan rebranding wajah keislaman yang baru ditengah arus modernisasi. Akan tetapi ironinya gerakan ini juga memiliki potensial khusunya bagi para pemuda yang baru mengenal Islam dalam mendukung ideologi transnasional yang berekor pada paham-paham fundamental.
Ideologi transnasional disini adalah sebuah kelompok yang mempunyai latar belakang keumatan khususnya umat Islam dan paham yang berciri khas fundamental, selain itu gerakan hijrah atau kaum muslimin yang sangat haus akan keislaman menjadi target utama kelompok ini. Ditambah lagi gerakan hijrah merupakan salah satu pusat perhatian publik, lantaran sudah menjadi tren masyarakat Islam di perkotaan.
fenomena ini semakin menyedot perhatian umum manakala festival hijrah diadakan di Jakarta pada tahun 2019 dan banyak diramaikan oleh artis-artis terkenal Indonesia. Tak hanya dari kalangan selebriti, para ustadz-ustadz kondang milenial pun juga ikut memeriahkan festival tersebut. Seperti, Felix Siauw, Abdul Somad, dan Hanan Attaki. Sejak saat itu, fenomena hijrah dinilai sebagai aktualisasi peran media sosial yang dominan dalam menyebarkan informasi seperti Twitter, Instagram, facebook dan lain lain. (Mushahadah, 2019)
Sepintas, fenomena Hijrah ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 80-an, bersamaan dengan meningkatnya kemunculan ekspresi-ekspresi gerakan Islamisme. Namun puncaknya disinyalir persis saat mantan presiden Soeharto turun jabatan pada tahun 1998, hal ini disebabkan salah satunya karena negara dirasa kurang baik dalam menangani kelompok-kelompok islamisme.
Tren pemuda hijrah dimulai pada tahun 2015 pertama kali dan dipelopori oleh Ustadz Hanan Attaki. Gerakan tersebut bertujuan mempromosikan Islam kepada anak anak muda perkotaan dengan gaya dakwah menyenangkan khas anak muda, saat itu berbagai platform dakwah di media sosial mulai menjamur seperti akun Indonesia tanpa Pacaran, Hijrah Cinta, Berani Hijrah dan sebagainya.
Pada tahun 2016 di Indonesia, klimaks pergerakan hijrah terlihat jelas saat aksi masa 212 yang membawa tema aksi bela Islam berhasil menarik perhatian masyarakat yang dilaksanakan di area Monas Jakarta. Emosi peserta direpresentasikan sebagai keberhasilan masyarakat kelas menengah memasuki pergerakan hijrah, sehingga bentuk antusiasme gerakan hijrah secara tidak langsung telah membangun solidaritas antar jaringan menjadi semakin kokoh dan meluas.
Dari beberapa uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa gerakan hijrah ini mengandung sebuah bentuk respon pergerakan sosial yang memiliki tujuan tertentu, emosi sosial yang terdapat dalam gerakan hijrah memiliki berbagai faktor yang dapat dikaji dalam berbagai ilmu sosial.
Seperti dalam istilah bahasa, emosi dapat mencakup berbagai lingkup seperti ekspresi, korelasi, perasaan, dan etiket. Jika diulas melalui keilmuan sosial, emosi dapat dikaitkan dengan kajian sosial-kultural yang dimanifestasikan sebagai realitas yang berhubungan dengan perilaku kultural yang berlaku. Dengan demikian sebuah kebudayaaan juga bisa mempengaruhi personalitas dan emosi seseorang. (Jain, 1994)
Durkheim berpendapat bahwa setiap eksistensi perilaku dalam lingkungan yang berkoalisi dengan ritual kebudayaan akan menghasilkan berbagai karakter terutama rasa emosi, dalam teori keterasingan milik Karl Marx pun dijelaskan bahwa perasaan emosi bisa muncul ketika adanya pergolakan antara eksistensi dan esensi manusia.
Di samping itu, berbagai pendapat para ilmuan dalam tesisnya juga menjelaskan mengenai fenomena emosi sosial. Di antaranya ialah Averill (1980) yang menyatakan bahwa emosi tercipta karena adanya berbagai respon sosial dalam situasi tertentu, sama halnya dengan Lynch (1990) yang berpendapat bahwa munculnya emosi biasanya didasari oleh kuatnya suatu kegiatan yang menghubungkan individu/kelompok.
Tidak hanya pengaruh sebuah rasa emosional dari kelompok yang memiliki hubungan antar individu, pergerakan hijrah juga didukung oleh mobilitas dan komitmen sosial yang kemudian membentuk sebuah jaringan sebagai kekuatan untuk menggiatkan, merekrut, serta memberi komitmen pada setiap anggota.
Di sinilah letak peran pemimpin dalam membentuk pergerakan hijrah. Menurut Marshal Ganzz (Ganz, 2019) kekuatan pemimpin sangat mempengaruhi dalam membangun emosi pada setiap diri anggotanya. Sebab dalam meyakinkan beberapa lapisan masyarakat sangat mencerminkan kelihaiannya dalam merekrut anggota. Selain itu, berbagai motivasi dan narasi yang dilontarkan juga bisa memperjelas identitas kelompok dan motif dalam bertindak. (Ganz, 2019)
Persamaan identitas dinilai dapat memberi dorongan emosional penuh semangat dalam mobilitas hijrah, hal tersebut juga akan menciptakan berbagai motivasi solidaritas sebagai simbol kelompok untuk membangun standar integritas. Simbol tersebut direprentasikan seperti visualisasi, lambang, ideologi dan aksi, dari situlah kelompok akan menumbuhkan perasaan terhadap simbol tersebut sebagai suatu kebenaran berintegritas (Jasper, 2011).
Dari berbagai pemaparan sebelumnya dapat diketahui bahwa fenomena gerakan hijrah merupakan manifestasi gerakan sosial yang memiliki jaringan di berbagai daerah perkotaan, gerakan ini tidaklah muncul tanpa sebab melainkan mepunyai historitas dan latar belakang sosiologis. Selain itu jika ditelaah lebih dalam, fenomena gerakan hijrah ini memiliki kontruksi emosi keislaman.
Kemunculan kelompok Islam tradisionalis pada awalnya memiliki karakteristik yang berkembang dalam pendidikan dan budaya keagamaan Indonesia, motif tradisionalis mampu menyatu dalam setiap sendi budaya lokal dan menghasilkan akulturasi budaya yang berkembang pada masyarakat kelas bawah. Namun sekalipun sudah menjadi hal yang lumrah membaur dalam budaya setempat, simbol-simbol keislaman tidak ditonjolkan diruang publik secara ekstrem.
Hal tersebut sangat kontras di era sekarang, dimana simbol-simbol keislaman semakin memukau ruang publik manakala ditampikan secara masif oleh pergerakan hijrah. Selain itu berbagai atribut keislaman seperti spanduk kalimat tahlil dan berbagai pakaian muslim terutama cadar sudah menjadi ikon menarik dalam fenomena hijrah. Daya tarik berbagai atribut tersebut berhasil menjadikan masyarakat menengah mengikuti euforia tren hijrah ini. (Bordieu, 1984)
Simbol keislaman dianggap memiliki keagungan tersendiri atas dasar pemahaman pengikut hijrah terhadap agama, hal ini telah menciptaka perasaan senang pada setiap diri pengikutnya. Sebab simbol dari berbagai atribut keislaman merupakan ekspresi kepatuhan dalam menjalankan syariat islam. (Greetz, 1973)
Gerakan hijrah masyarakat menengah ini dianggap sebagai keberhasilan dalam memperagakan simbol keislaman yang dibalut secara estetis, tidak hanya itu identitas muslim perkotaan semakin kuat lantaran berbagai jasa kreator dalam memproduksi pemahaman-pemahaman keislaman dikemas dengan apik.
Fenomena hijrah berhasil meningkatkan komoditas dan kesadaran simpatik terhadap simbol keislaman, keberhasilan tersebut dapat dilihat dari meningkatnya sektor ekonomi dan berbagai industri seperti pakaian, makanan, musik, dan film yang menggunakan label keislaman untuk menarik peminat konsumen muslim.
Namun ironinya, eksistensi gerakan hijrah dinilai menjadi problem kecenderungan ideologi yang mengarah pada gerakan fundamental. hal ini menimbulkan kecemasan atas besarnya dukungan terhadap gerakan ini, tidak hanya itu maraknya sentimen terhadap ideologi luar pergerakan hijrah sudah menjadi makanan media sosial secara masif.
Ditambah mudahnya dalam memperoleh informasi di media sosial membuat ruang konteplasi ketegangan berbagai kelompok ideologi, Namun disisi lain media sosial tidak mampu membedakan identitas ideologi tertentu yang mebaur dalam gerakan hijrah seperti Salafi, Wahabi, dan Ikhwanul muslimin, mereka bergerak tertutup menjadi satu identitas keislaman yang bergerak dengan kuat. (Fuad, 2020). (MMSM)