Agus Irfan Alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya; Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Peer Group dan Hubungan Kekariban Gus Mus dan Gus Dur [2]

2 min read

-Lanjutan dari Halaman Sebelumnya-

Secara khusus, Martin menyebutkan motivasi keterlibatan Mustofa Bisri di dalam mengajukan nama Kiai Ali Ma’shum karena rasa prihatinnya terhadap kesenjangan antara teks-teks fikih dengan konteks realitas, yang karenanya dibutuhkan figur yang dapat menjembatani kesenjangan tersebut. Selengkapnya:

Gus Mus, putra Kiai Bisri Mustofa dari Rembang, adalah seorang yang selalu dekat dengan dunia pesantren, yang telah menamatkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar dan menjadi kiai di Rembang. Dia sangat prihatin dengan kesenjangan antara masalah-masalah yang dibicarakan dalam bukubuku fikih para kiai dengan dunia nyata dan dia menginginkan para koleganya terus berusaha menjembatani kesenjangan ini. Ketiga orang ini merasa bahwa dari para kiai sepuh, barangkali mantan guru mereka, Kiai Ali Ma’shum inilah orang yang paling berpandangan terbuka. Dengan keberadaannya di puncak, gagasan-gagasan dan kegiatan-keiatan mereka tidak akan menghadapi tantangan serius yang mungkin akan muncul dari kiai yang lebih konservatif. Mereka secara aktif melobi para peserta Munas agar memilih Kiai Ali. [Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (2008), 107-108]

Selain itu, gagasan utama dari pesan khittah 1926 sebagai tahun titik balik sejarah NU yang digerakkan Gus Dur dan Gus Mus serta tokoh idealis NU lainnya adalah menjadikan NU sebagai organisasi yang berkonsentrasi pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan hal-hal lain yang lebih dibutuhkan oleh basis warga NU seperti masalah pendidikan, ekonomi dan keadilan sosial.

Dengan istilah lebih sederhana, bagaimana NU diposisikan sebagai organisasi sosial keagamaan dan bukan partai politik, meski NU juga tidak akan menafikan peran politik selama dalam koridor kebangsaan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU memulai strategi dan pendekatan berpolitik baru, yakni politik kerakyatan dan bukan politik kekuasaan dengan tetap mengkampanyekan politik kebangsaan. [Sumanto Al Qurtuby, Nahdlatul Ulama: Dari Politik Kekuasaan Sampai Pemikiran Keagamaan (2004), xx.]

Baca Juga  Syiah Kuala: Ulama Besar Tarekat Syattariyah yang Menyejukkan

Paham kebangsaan mereka turut menguatkan penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal NKRI tanpa harus mengformalkan Islam sebagai asas negara. Bentuk negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas umat Islam. Gagasan tersebut merupakan ijtihad segelintir orang yang meyakini Islam sebagai sebuah sistem dan dipandang dari sudut institusionalnya belaka dengan jargon al-rujūʻ ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah.

Sementara bagi Gus Dur, Mustofa Bisri dan para ulama dalam NU, meyakini bahwa penerimaan Pancasila dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. Pemahaman kontekstual demikian dinarasikan oleh Gus Mus dengan adagium “kita orang Indonesia yang beragama Islam dan bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”, atau dengan adagium lain “Islam kita bukan Islam Saudi Arabia”. [M. Zidni Nafi’, Cinta Negeri Ala Gus Mus (2019), 25-27.]

Persamaan dan persinggungan pemikiran dua tokoh ini tidak hanya berporos seputar politik, namun juga merambah pada persoalan sastra dan seni. Kedua tokoh tersebut lazim dilabeli sebagai pemikir, budayawan dan penulis dengan segala pernak-pernik ataupun plus minus yang dimilikinya. Kekariban dua tokoh ini berlangsung seolah tak bertepi hingga Gus Dur tutup usia pada Rabu 30 Desember 2009.

Bahkan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Gus Dur sempat mengunjungi kolega lawasnya itu, di Rembang, Jawa Tengah. Entah firasat apa yang diterima Gus Dur sehingga mendadak ingin bertemu dengan rekannya ketika kuliah di Kairo itu. Padahal sudah lama kedua sahabat lama itu tidak bertemu muka. Namun berdasarkan pengakuan Ibu Sinta Nuriyah, kedatangan Gus Dur ke kediaman Gus Mus seolah ingin pamit pulang dan di situ Gus Dur berpesan kepada Gus Mus dengan mengatakan “Aku titip NU, Aku titip NU.

Baca Juga  Syeikh Ali Jum’ah: Ulama Moderat Berpengaruh di Dunia

Mendengar wasiat itu, Gus Mus tampak kaget tetapi juga tidak bisa menolak, meski juga tak sanggup menjalankan amanat agung itu.

Pada akhirnya Gus Mus memang kemudian menjadi Rais Aam Nahdlatul Ulama, menggantikan KH. Sahal Mahfudz yang wafat. Dalam beberapa kali muktamar, Gus Mus sebenarnya sudah diminta banyak kiai dan warga NU untuk menduduki jabatan tertinggi di NU itu, tetapi dia selalu menolak. Salah satu alasan yang disampaikannya adalah belum diizinkan ibunya. [Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Mustofa Bisri (2016), 97]

Selain Gus Dur, Gus Mus merupakan sosok yang paling konsisten menjaga komitmen khittah agar tidak disalahgunakan para petualang politik NU.

Melalui tulisan, ceramah dan media sosial, Gus Mus tidak bosan menyerukan kepada warga NU untuk bisa lebih dewasa dalam berpolitik dan tidak menggunakan NU sebagai kendaraan politik praktis.

Namun demikian, anjuran di atas bukan bermakna larangan warga NU untuk berpolitik praktis. Hanya saja, setiap warga NU harus lebih dewasa di dalam bersikap khususnya memisahkan antara politik praktis yang direpresentasikan oleh diri atau pribadi untuk berpolitik sebagaimana hak masyarakat lainnya sementara pada saat bersamaan harus dapat membedakan NU sebagai jamʻīyah yang tidak boleh dijadikan kendaraan. Persisnya Gus Mus mengatakan—yang saya kutip dari detik.com:

“Kalau warga NU itu sama dengan warga negara lainnya, punya hak politik, ya silakan. Yang tidak boleh itu, kalau anda sudah menjadi pengurus NU secara struktural, jangan bawa NU (ke ranah politik, sampean pribadi saja)”.

Editor: MZ

Agus Irfan Alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya; Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang