Ferry Fitrianto Peneliti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

William Montgomery Watt Sang Orientalis Pembela Nabi Muhammad Saw

2 min read

Jauh sebelum muncul istilah Islamofobia, para sarjana barat (Orientalis) merasa skeptis terhadap hal-hal yang berbau Islam. Rata-rata mereka mendalami ke-Islaman hanya untuk mencari kelemahan Islam itu sendiri. Namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa masih ada beberapa orientalis yang bersikap objektif bahkan membela dan membantah asumsi-asumsi negatif tentang Islam dari para orientalis lainnya.

Salah satu orientalis yang bersikap objektif yaitu William Montgomery Watt, ia merupakan seorang profesor studi keilsman dari Britania Raya, Inggris dan mengabdikan dirinya di Universitas Edinburgh. Ia juga menjadi visiting professor di beberapa negara Eropa seperti Universitas Toronto, College de France Paris, Prancis dan Universitas Georgetown. Selain seorang ilmuwan Watt juga seorang pendeta di Gereja Episkopal Skotlandia dan ia pernah dipercaya sebagai penerjemah bahasa bagi Uskup Yerusalem. (Al Makin 2017)

Montgomery Watt lahir pada 14 Maret 1909 di Skotlandia dan meninggal di usia 97 tahun pada 24 Oktober 2006. Ia menjadi salah seorang penafsir Islam dari kalangan non-Muslim yang terkemuka di dunia Barat. Menurut Caroel Hillenbrand, Watt merupakan seorang sarjana yang berpengaruh dalam studi Islam dan sangat dihormati oleh Muslim seluruh dunia. Bahkan menurut beberapa sarjana Watt merupakan seorang orientalis terakir. Adapun karya tulisnya yang cukup monumental berjudul Muhammad at Mecca (1953) Muhammad at Medina (1956). (Al-Makin 2017)

Montgomery Watt adalah murid dari Richard Bell seorang orientalis terkemuka juga dari Skotlandia, pemikiran Watt banyak dipengaruhi gurunya ini. Meskipun keduanya merupakan guru-murid tapi ternyata mereka memiliki fokus kajian masing-masing misalnya Richard Bell fokus mengkaji pengaruh Kristen dan menafsiri Al-Qur’an sementara Watt lebih fokus pada sejarah Islam awal atau sejarah kemunculan Islam lewat dua bukunya yang monumental di atas yaitu Muhammad at Mecca (1953) Muhammad at Medina (1956). Dalam mengambil kesimpulan Watt lebih condong dengan metodologi yang di pakai para sarjana Muslim. Bahkan dapat dikatakan Watt mengambil semua yang diceritakan oleh sumber utama Muslim tanpa mengkritisi dan mempertanyakan. (Al-Makin 2017)

Baca Juga  Mengenal Nawal El Saadawi, Pejuang Feminis Mesir Melalui Sastra

Adapun yang dimaksud sumber utama Muslim tersebut ialah sumber utama yang ditulis oleh ulama Islam seperti At-Tabari, Ibn Ishaq, Ibn Sa’id, dan Bukhari-Muslim-pun ia terima sebagai sumber. Dari dua buku terkenal diatas kita bisa melihat bagaimana Watt benar-benar percaya pada sumber Islam. Jadi Watt seolah-olah meringkas kisah nabi-nabi dari sumber Islam itu sendiri, nama-nama yang ada dalam sumber juga dikutip begitu saja. Watt hampir mengambil semua sumber yang tersedia. (Wahyudin 2004)

Watt percaya bahwa sumber awal itu berasal dari masa Nabi Muhammad langsung, biarpun ada perubahan dalam redaksi itu terjadi belakangan, namun intinya tetap sama. Watt membuktikan keyakinannya itu lewat buku keduanya Muhammad at Medina, dalam buku itu Watt bercerita tentang keperibadian Muhammad yang baik hati dan berakhlak mulia. Banyak literature diluar itu yang melebih-lebihkan namun pada intinya tetap sama. (M.Ridha Ds 2013, dalam artikel jurnal)

Watt mengatakan tidak bisa dipungkiri bahwa sosok Nabi Muhammad menjadi figur yang dijahatkan (Mahound prince of darkness) di dunia Barat. Sebab sejak abad pertengahan kekuatan Islam menjadi pesaing utama kekaisaran Bizantium. Maka karena sebagai musuh utama sosok Muhammad digambarkan sebagai orang jahat. Watt sendiri rupanya tidak setuju dengan penggambaran tersebut dengan mengatakan tidak ada alasan rasional untuk mempertahankan persepsi negatif pada pribadi Nabi Muhammad. (Al Makin 2017)

Watt juga melakukan pembelaan pada sosok Muhammad ketika citranya direndahkan oleh orang Barat. Misalnya peristiwa pernikahan Nabi Muhammad dengan Zaynab, mantan istri anak angkat Nabi Muhammad dan hal ini menjadi gunjingan yang hangat dan merendahkan citra Nabi Muhammad karena tertarik dengan istri anak angkatnya. Watt membantah persepsi tersebut dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad menikahi Zaynab bukan semata-mata karena nafsu ataupun karena kecantikan.

Baca Juga  Peer Group dan Hubungan Kekariban Gus Mus dan Gus Dur [1]

Watt mengatakan bahwa Zaynab sendiri pada waktu itu sudah tua mungkin sudah usia 38 tahun, jadi sudah tidak cantik untuk ukuran wanita saat itu. Kemudian Watt mengajukan argument politisnya alasan Nabi Muhammad menikahi Zaynab yaitu untuk merekatkan hubungan antara suku Zaynab dari Bani Abd Syams dan Nabi Muhammad dari suku Quraisy. Selain itu juga untuk menarik simpati anggota suku tersebut untuk memeluk Islam. Jadi peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Zaynab tersebut bukan karena semata-mata nafsu namun lebih pada dakwah. Watt juga menambahkan arugumennya bahwa pernikahan itu atas perintah Tuhan, demikianlah argument Watt seperti umat Islam, meskipun ia tidak mengimaninya. (Al-Makin 2017)

Bagi Watt sosok Nabi Muhammad adalah “social reformer” bermoral tinggi yang tidak tercela. Nabi Muhammad mampu mendorong kebangkitan Arab ditengah dua kekuatan besar yang mulai melemah yaitu Bizantium dan Persia. Bagi Watt Nabi Muhammad lebih dari seorang nabi, Muhammad adalah seorang negarawan yang memiliki visi ke depan dalam memimpin umat. Watt sangatlah simpati pada Islam meskipun ia tidak memeluk Islam sampai akhir hayatnya, namun usaha-usahanya dalam membela Islam patut mendapat penghargaan. Bahkan Watt berupaya menciptakan ruang-ruang dialog antar Muslim-Kristen, agar meminimalisir kasus-kasus intoleransi di Barat. (Wahyudin 2004)

Ferry Fitrianto Peneliti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta