Agus Irfan Alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya; Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Peer Group dan Hubungan Kekariban Gus Mus dan Gus Dur [1]

3 min read

Peer Group atau teman sepermainan memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan kepribadian seseorang, tidak terkecuali kepribadian. Itulah yang tampak dari dua sahabat karib antara Gus Dur dan Gus Mus. Kekariban keduanya diketahui khalayak masyarakat luas termasuk pada cendekiawan. Greg Barton—seorang pengamat Islam Indonesia—misalnya mengungkapkan bahwa Gus Mus sangat mirip dengan Gus Dur.

Pembawaan dan gaya pribadinya memang berbeda, tapi ide-ide yang dibawakan hampir serupa. Dalam pandangan Barton, meski Gus Mus merupakan sosok kiai murni yang jujur dan tidak bermain politik, namun kontribusi untuk bangsanya sangat nyata. [Greg Barton, dalam M. Zidni Nafi’, Cinta Negeri Ala Gus Mus, 2019]

Kedekatan Mustofa Bisri dan Gus Dur juga diakui Ibu Sinta Nuriyah, istri mendiang Gus Dur. Sinta menuturkan “Gus Mus adalah sahabat terdekat, tempat Gus Dur mencurahkan hati ketika ada masalah yang menggelisahkannya atau memerlukan sumbangan pemikiran”. Sinta melanjutkan:

Bila datang ke rumah, Gus Mus seperti masuk ke rumahnya sendiri. Dia duduk di kursi mana saja yang disukainya. Lalu anak-anak Gus Dur akan menemuinya, bersalaman dengan mencium tangannya. Masing-masing akan menyapa, bagaimana kabar Om Mus? Habis baca puisi di mana? Sudah nulis cerpen apalagi, Om?” sesudah itu mereka bercanda-canda, saling mendongeng, melemparkan joke segar dan bermanja-manja kepada Gus Mus. [Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Mustofa Bisri (2016), 88-89]

Universitas al-Azhar, merupakan puncak perjalanan intelektual formal bagi Gus Mus. Di tempat ini pula, untuk pertama kali Gus Mus bertemu dan berkenalan dengan Gus Dur. sebagaimana pengakuan Gus Mus sendiri bahwa mereka tinggal dalam satu kamar dan bahkan Gus Dur banyak membantunya selama berada di perguruan tinggi tersebut sampai memperoleh beasiswa. [Sutrisno, Nalar Fiqh Mustofa Bisri (2012), 105]

Baca Juga  Kebijakan Ekonomi Khalifah Umar bin Khattab

Kekariban Gus Dur dan Gus Mus sudah menjadi rahasia publik dan tidak hanya di kalangan NU. Kedekatan keduanya direkam apik dan ditulis oleh Husein Muhammad melaui buku berjudul Gus Dur dalam Obrolan Mustofa Bisri.

Bagi Gus Mus, karibnya adalah sosok yang luar biasa bahkan dianggapnya sebagai “tokoh paling populer abad ini”. Selain keistimewaan dari segi nasab, Gus Dur juga dikarunia banyak keistimewaan lain yang sulit dicari duanya, antara lain kecerdasan yang luar biasa serta bacaan dan pergaulannya yang sangat luas. Tidak aneh jika di pedesaan banyak orang menyebutnya sebagai wali, sedangkan di perkotaan orang menjulukinya sebagai jenius.

Kekaguman Gus Mus terhadap sosok Gus Dur bahkan digambarkan dalam sebuah sajak berjudul “Untuk: GD”. Gus Mus menulis:

Seorang pemimpin pemberani

Datang sendiri mengawal bukan dikawal umatnya

Ketika banyak pemimpin membela diri sendiri

Dengan berlindung pada laskar dan atas nama

Seorang pemimpin pemberani datang sendiri

Membela kaum lemah hanya dengan keyakinan dan doa

Dia tidak menggula di hadapan sesama

Karena dia tak menyukai kepalsuan

Dia tidak mencari muka di hadapan Tuhan

Karena dia tahu bahwa Tuhannya Maha Tahu segala

Dihina dan dilecehkan

pemimpin pemberani memaafkan

Tanpa sedikit pun kebencian

Karena di hatinya hanya ada cinta dan Tuhan. [gusmus.net/puisi]

Kontak fisik secara langsung antara Gus Dur dan Gus Mus selama bertahun-tahun tentu tidak sekadar dimaknai sebagai perjumpaan sahabat karib, namun lebih dari itu, ada persinggungan ideologi yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Bahkan persinggungan ini sudah dimulai sejak keduanya berproses di Kairo.

Sebagaimana diakui Gus Mus sendiri ketika ditanya Husein Muhammad mengenai aktivitas mereka berdua selama di Kairo. Gus Mus menuturkan bahwa di samping kuliah reguler di Universitas, keduanya juga aktif dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia), terutama diskusi sastra, membaca buku, membuat buletin dan majalah.

Baca Juga  Obituari: M. Nursamad Kamba, Teladan yang Menginspirasi

Ya, saya sama saja dengan dia, dalam semua itu. Saya dan Gus Dur aktif berdiskusi sastra dan sama-sama bikin majalah. Tetapi dia jarang masuk kuliah. Katanya, pandangan-pandangan para dosen di sana masih sangat normatif dan konservatif. Tidak ada pembaruan, tidak ada hal-hal baru dan membosankan. Karena itu, dia lebih suka mengunjungi perpustakaan, membaca di sana dan menonton film. Sering sekali Gus Dur berjam-jam duduk membaca buku dan kitab di ruang perpustakaan kampus al-Azhar atau ke perpustakaan Amerika di sana”. Tutur Mustofa Bisri. [Husein Muhammad, Gus Dur, 162-163]

Gus Mus juga tidak sungkan menyebut Gus Dur itu sebagai sahabat terbaik yang turut membesarkan dan mendidik kepribadiannya, termasuk untuk pertama kalinya Gus Mus menjadi penyair dengan membaca puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Pada acara Malam Solidaritas untuk Palestina yang digelar itu, untuk pertama kalinya Mustofa Bisri tampil bersama para penyair dan sastrawan terkemuka seperti Taufiq Ismail, Subagyo Sastrowardoyo, WS Rendra, Sutradji Calzoum Bahri, Abdul Hadi WM dan sebagainya. [Husein Muhammad, Gus Dur, 26-27]

Pasca dari Mesir atau selama keduanya menjadi tokoh NU, persinggungan ideologi dan pemikiran di antara keduanya dapat dilihat dari pandangannya tentang kebangsaan. Di antara keduanya hampir tidak ada perbedaan, kalau tidak disebut sama dalam hal pandangan politiknya yang meliputi politik kebangsaan dan politik kerakyatan atau politik kemanusiaan. Akumulasi pandangan politik demikian menginspirasi mereka dan beberapa ulama agar NU kembali ke khittah atau kembali ke niat awal para ulama ketika mendirikan organisasi ini pada tahun 1926.

Oleh karenanya, pada dasawarsa 1980-an keduanya bersama Fahmi Saefuddin menjadi pembaru dan aktivis yang dinamis yang turut serta mengantarkan Kiai Ali Ma’shum Krapyak menjadi Rais Aam PBNU. Dalam hal ini Martin Van Bruinessen menyebutkan:

Baca Juga  Gus Awis: Mutiara Terpendam dan Teladan Generasi NU Milenial

Di antara pendukung aktif Kiai Ali Ma’shum kita menemukan tiga orang muda paling cemerlang yang sedang menanjak yang kemudian menjadi pembaru dan aktivis tahun 1980-an yang paling dinamis. Ketiganya termasuk anggota keluarga elite NU dan ketiganya sangat yakin bahwa NU memerlukan perubahan drastis agar ia menjadi lebih relevan bagi kehidupan pendukung tradisionalnya. Ketiganya, kebetulan pernah belajar kepada Kiai Ali Ma’shum walaupun pada waktu yang berbeda-beda. Orang-orang muda ini adalah Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin dan Mustofa Bisri. [Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (2008), 107-108].

-Bersambung-

Klik di Sini untuk Melanjutkan

Editor: MZ

Agus Irfan Alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya; Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang