Sebagai orang tua, saat menjelang tidur adalah momen paling produktif untuk berdiskusi dengan anak tentang apa saja. Saya membiarkan Virginia, anakku, bertanya tentang apa saja, termasuk hal-hal yang bagi kebanyakan orang tua dianggap terlarang karena kami bisa mempertanyakan tentang masalah-masalah keimanan dan ketuhanan. Dengan memilih kalimat dan contoh yang tepat, saya berusaha menjawab berbagai pertanyaannya tanpa sedikit pun ada keraguan.
Sejak kelas 1 SMA, dia mau bobok sendiri. Tidak jarang pintu kamarnya dikunci dari dalam hingga saya sulit mendekatinya dan mengajaknya berkomunikasi seperti saat kecilnya dulu. Tapi kami tetap memiliki saat-saat berdua. Saat-saat seperti itu, dia kerapkali mengagetkan saya dengan beberapa topik pembicaraan yang diangkatnya dan argumen yang dibangunnya. Saya yakin, itu hasil dari aktivitas bacanya yang bisa dilakukannya berjam-jam di kamar yang terkunci dari dalam itu.
Malam ini kami keluar berdua. Dia minta dibelikan jajan. Saya tahu, dia akan begadang malam ini untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dan berselancar di dunia maya untuk mendapatkan berbagai informasi yang disukainya. Saat berdua adalah momen saya menikmati kemewahan sebagai seorang ayah dan mendengarkan apa saja informasi yang telah diserapnya.
Malam ini, dari atas jok motor di belakang saya, dia tiba-tiba berkata bahwa dia barusan men-follow akun instagram Gaya Nusantara. Dia mengatakan sedang tertarik untuk mengikuti isu-isu terkait LGBT. Yang mengagetkan saya adalah bahwa dia sedang men-follow akun-akun yang memiliki semangat menantang patriarki.
Saya lebih banyak mendengarkan. Dia melanjutkan ceritanya bahwa dia sedang mengikuti sebuah perbincangan di sebuah akun LGBT, di mana ada orang “bodoh” (begitu bahasanya) yang menuduh kelompok LGBT sebagai kelompok orang penghancur keluarga, pemerkosa, dan pelaku pelecehan seksual. Dia menilai orang itu bodoh karena menurutnya, orang tersebut tidak bisa membedakan antara perilaku seksual dengan orientasi seksual. Dia semakin meradang karena si orang bodoh itu membawa-bawa nama Tuhan.
Menurutnya, perilaku seksual tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual. Jika ada seorang gay, misalnya, yang melakukan pemerkosaan atau pelecehan seksual, itu tidak ada kaitannya dengan orientasi seksualnya. Mengapa? Karena kejahatan itu juga dilakukan oleh orang dengan orientasi sekusal hetero. Bahkan, jumlahnya lebih banyak. Toh perilaku jahat itu tidak dikaitkan dengan orientasi seksual kelompok hetero.
(Demi Tuhan, aku ternganga mendengar uraiannya. Seakan aku sedang mendengar suaraku sendiri saat mengisi pelatihan gender dan seksualitas. Aku menyelanya dengan beberapa kata untuk menunjukkan persetujuanku atas pandangan-pandangannya).
Selesai? Tidak. Saya sengaja memelankan motor agar tidak segera sampai di rumah karena begitu sampai di rumah dia akan segera masuk ke kamarnya lagi dan menguncinya dari dalam. Saya masih ingin menikmati pembicaraan berdua malam ini, di atas motor yang berjalan pelan.
Dia kemudian bertanya apakah saya mengikuti berita tentang seorang siswi SMP yang diperkosa oleh seorang polisi karena tidak mau ditilang. Saya mengatakan “Ya, papa mengikuti berita itu”.
Dia melanjutkan pembicaraan dengan mengatakan, bagaimana bisa ada orang yang melakukan victim blaming (meyalahkan korban perkosaan) itu. Aku tahu dari nada suaranya yang bergetar, akal dan nuraninya berontak. Yang paling dia tidak terima adalah ketika mereka yang melakukan victim blaming membangun argumentasinya tentang pakaian yang dikenakan si siswi korban perkosaan. Baginya, apa yang salah dengan seragam siswi SMP?
Menurutnya, seragam siswi SMP (sebagaimana yang setengah tahun lalu dikenakannya) sama sekali tidak bermasalah dipandang dari sudut kesopanan publik. Yang bermasalah adalah otak si polisi pelaku perkosaan. Perkosaan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pakaian yang dikenakan si korban, tapi sepenuhnya bergantung bagaimana cara laki-laki memandang perempuan.
Dia mengutip pendapat kelompok “victim blaming” yang mengibaratkan tubuh perempuan seperti makanan dan pakaian adalah bungkusnya. Jika makanan itu dibiarkan terbuka, maka dengan sendirinya mengundang binatang untuk memakannya. Dia menyangkal argumen ini dengan menyatakan, “Mengapa tubuh perempuan disamakan dengan makanan dan laki-laki diibaratkan binatang? Mengapa tidak memandang perempuan dan laki-laki sebagai manusia?”
Saya seperti mendengarkan pidato seorang perempuan feminis di sebuah forum seminar. Argumen penyangkalannya atas pandangan kelompok “victim blaming” adalah argumen yang pasti akan saya gunakan untuk menghadapi siapa saja yang membela pemerkosa dengan menyalahkan pakaian perempuan yang menjadi korban perkosaan. Menurut saya, ketika dia menolak analogi tubuh perempuan dengan makanan adalah sebuah penyangkalan yang tidak hanya disandarkan atas logika yang jernih, tapi juga kesadaran akan otonomi tubuh perempuan.
Kelompok “victim blaming” selalu menjadikan perempuan sebagai objek dan laki-laki sebagai subjek. Karena logika subjek (laki-laki)-objek (perempuan) inilah yang kemudian menuntun kelompok ini membuat analogi yang ngawur dan menghinakan tentang tubuh perempuan. Perempuan tidak dilihat sebagai pribadi otonom, tapi sekedar menjadi objek pelampiasan nafsu laki-laki.
(Persis menjelang tikungan jalan ke arah rumah, aku tidak kuasa untuk tidak memujinya. Aku katakan padanya, “I’m proud of you, really really proud of you, my girl“).
Editor: MZ