Sebelumnya: Femenisme Gus Dur…(1)
Perempuan Bisa jadi Presiden
Legalitas perempuan menjadi presiden yang sempat menuai kontroversi juga tak luput dari sorotan Gus Dur. Sekali lagi, Gus Dur dalam hal ini konsisten dengan prinsip humanisnya yang telah dijelaskan di muka. Ia membedakan dakwah Nabi sebagai bagian dari Masyarakat Arab dan budayanya dengan Nabi sebagai Rasul dengan misi profetiknya dalam memaknai QS. An-Nisa [4]: 34. Menyitir Faizatun Hasanah dalam Awareness on Islamic Feminism: Learning From Gus Dur and Husein Muhammad, Gus Dur mentafsir bahwa ayat ini sangat kontekstual. Mengapa di dalamnya tertera laki-laki menjadi penopang perempuan? Karena saat ayat turun, kondisi laki-laki lebih memungkinkan sebagai penjamin keselamatan perempuan.
Begitu pula, dari sisi psikologis, perempuan cenderung lemah pada waktu itu. Sehingga, laki-lakilah yang mampu sebagai penopang perempuan. Bila dihadapkan dengan setting sosial saat ini, tentu pemaknaan ayat tersebut akan berbeda. Karena, perempuan telah jauh berdaya daripada waktu ayat itu turun, sehingga sepanjang perempuan mumpuni, ia juga berkesempatan untuk menjadi pemimpin.
Distingsi peran Nabi sebagai bagian dari masyarakat Arab dan sebagai pembawa misi profetik terlihat dari pemaknaan Gus Dus atas QS An-Nisa [4]: 34 secara kontekstual itu. Ia dengan cermat meraba maksud ayat tersebut dari sisi psikologis dan ontropologisnya. Maka kemudian, ia mendukung legalitas perempuan menjadi pemimpin, sekalipun setingkat presiden.
Islam bagi Gus Dur tidak membeda-bedakan perempuan dan laki-laki kecuali dari segi biologisnya. Dalam tataran stuktur sosial apa pun itu, laki-laki dan perempuan sejajar, sehingga dua-duanya memiliki kuasa yang sama untuk menggali potensi masing-masing, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Praktisi Kesetaraan Gender
Selain sebagai pemikir, Gus Dur juga menjadi praktisi kesetaraan gender. Tercatat sejak ia mengetuai Konferensi Tanfidziyyah NU di Situbondo 1984 silam, Gus Dur mendorong Muslimat untuk mengepakkan sayapnya di luar persoalan perempuan. Ia menghimbau agar Muslimat lebih fokus pada isu sosial dan menjalin kerjasama dengan organisasi lain. Gus Dur juga membuat berbagai kebijakan sosial demi mengupayakan pengarustutamaan gender. Antara lain, Kebijakan PUG dalam inpres nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender. Ia pula yang mengenalkan istilah gender dalam GBHN 1999-2004. Selain itu, ia mengganti Kementerian Urusan Wanita dengan Kementerian Pemberdayaan Wanita, yang tentu saja menekankan misi pembangunan nuansa kesetaraan gender dalam masyarakat.
Tak hanya itu, upaya Gus Dur dalam mengarusutamakan gender (gender mainstreaming) juga ia terapkan di keluarganya sendiri. Ia mengajarkan pentingnya kesetaran reproduksi kepada keluarganya. Ia mendukung program KB, karena menurutnya, hadis Nabi yang berarti ‘ia senang umat Islam memperbanyak keturunan’, harus dimaknai secara kontekstual. Karena waktu itu, demi membangun tatanan sosial yang mapan, kualitas dalam regenerasi menjadi prioritas. Sehingga yang terpenting ialah bagaimana merawat dan mendidik anak dengan baik sehingga kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraannya dapat terjamin.
Ia juga mendidik keempat putrinya dengan pengajaran yang demokratis dan bertanggungjawab. Terbukti saat Gus Dur mengganti popok sewaktu anaknya masih bayi, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain seperti menyapu dan mengepel. Tindakan Gus Dur ini menunjukkan bahwa ia dengan konsisten menerapkan kesetaraan dan keadilan gender dengan tidak membebankan pekerjaan rumah pada istrinya. Yang penting dan harus diteladani dari prinsip Gus Dur dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya ialah relasi kerjasama. Sehingga hubungan rumah tangga tak lagi sarat kesenjangan.
Penerapan kesetaraan gender yang dilakukan oleh Gus Dur pada keluarganya sendiri, membuat putri-putrinya berhasil meneruskan kiprahnya dalam berbagai peran. Sebut saja, Alissa Wahid, putri pertama Gus Dur, yang lincah menyuarakan toleransi beragama.
Bahkan, istrinya pun, Bu Sinta Nuriyah Wahid, juga berhasil meneruskan jejak langkah Gus Dur dengan berbagai dedikasinya yang telah ia torehkan terhadap masyarakat luas, utamanya perihal pluralisme dan kesetaraan gender.
Demikianlah feminisme ala Gus Dur. Ia merupakan salah satu pionir pemikirian sekaligus praktisi kesetaraan gender di Indonesia. Dengan asasnya yang kuat, serta implementasinya pada berbagai kebijakan sosial, sudah terlampau cukup untuk jadi pegangan bagi kita dalam bersikap humanis pada lawan jenis. Karena, mengutip Perempuan dan Pluralisme-nya Bu Sinta, rekonstruksi budaya patriarki hanya bisa dilakukan bila manusia mau ikut andil untuk menyuarakan spirit kesetaraan gender, baik melalui pemikiran maupun tindakan. Wallahu a’lam[] (MMSM)