Sekarang ini, di mana-mana ramai dibicarakan tentang perlunya rekonstruksi pandangan keagamaan dari eksklusifitas menuju inklusifitas. Tidak hanya pada kelompok Islam, seruan para petinggi Kristen-pun sebagai agama besar tengah mengkampanyekan teologi perdamaian. Alasannya jelas; krisis global yang salah satunya dipicu oleh ketegangan antara kelompok agama. Pemegangan terhadap privatisasi kebenaran agama sering melahirkan gesekan yang serius antara mereka.
Simbol-simbol keagamaan sering dijadikan alat untuk mengukur kebenaran agamanya sekaligus sebagai alat pembenar untuk menyerang pihak luar. Pada dataran sosiologis, ketika semangat keagamaan berubah menjadi kekerasan di lapangan, agama berubah wajah dari kedamaian menjadi kekacauan. Karena tampilan perilaku keagamaan yang menyeramkan itulah mungkin diperlukan koreksi cara pandang keagamaan yang ramah terhadap perubahan sosial yang tak bisa dihindari. Kini, imbauan perdamaian banyak dijumpai dari kalangan agamawan baik melalui seminar, kajian-kajian atau penerbitan-penerbitan buku.
Buku-buku yang relatif baru seperti yang ditulis Karen Amstrong, History of God (Sejarah Tuhan) menggambarkan betapa klaim keselamatan dan kebenaran yang menjadi hak privat agama-agama menjadi kurang relevan jika diletakkan dalam ruang dialog global. Amstrong menunjukkan bahwa agama selalu berkecenderungan untuk tampil dengan dua wajah; perdamaian dan peperangan. Ia ibarat pisau, dapat bermanfaat jika ia digunakan untuk mengiris daging, sayuran, dan semua yang bersifat konstruktif.
Tapi ia juga dapat digunakan untuk menusuk perut manusia (destruktif). Jadi, peran pemakai pisaulah yang menentukan apakah ia berfungsi negatif atau positif. Agama di tangan manusia menjadi sesuatu yang selalu berubah. Eksklusifitas Agama dengan A besar hanya milik Tuhan. Karena itu, manusia tidak berhak menjadi pemilik tunggal kebenaran agama. Penerjemahan Amstrong terhadap perjalanan manusia dalam mempersepsi agamanya bisa jadi sebagai bahan refleksi umat beragama bahwa kecurigaan teologis yang dapat berujung kepada penyalahan dan pembenaran pihak luar adalah kekeliruan dalam melihat sejarahnya sendiri.
Kini, dalam menanggapi krisis global yang melibatkan agama-agama, perlu upaya penerjemahan kembali doktrin-doktrin keagamaan yang dimiliki, terutama oleh agama-agama besar. Rekonstruksi pemahaman kegamaan yang dapat beramah-tamah dengan multikultur yang semakin menyatu tanpa batas menjadi sangat niscaya. Pertemuan antara budaya satu dengan budaya lain, dalam era global, adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Penyatuan antara kebiasaan bangsa yang satu dengan bangsa yang lainpun tak ada yang bisa membendungnya.
Bagaimana dengan agama? Sebagai salah satu entitas budaya, agama seringkali menjadi bahan perbincangan yang tak akan habis-habisnya bagi masyarakat dunia. Krisis kemanusiaan yang melanda beberapa Negara di dunia tidak saja difaktori oleh masalah ekonomi dan politik. Kadang-kadang, agama menjadi salah satu variabel yang melatarbelakanginya. Terlepas benar atau tidak bahwa agama menjadi pendorong bagi lahirnya tragedi kemanusiaan. Tesis Hans Kung dan Karl Josef Kuschel yang mengatakan, tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama, adalah gambaran bahwa peranan agama-agama menjadi prasyarat bagi lahirnya perdamaian dunia.
Perwujudan perdamaian antar agama tidaklah dimaksudkan untuk menyatukan keyakinan beragama. Sebab, penyatuan pandangan teologis hanyalah pekerjaan sia-sia. Yang perlu dimajukan adalah dimensi etis keagamaannya. Nilai-nilai yang terkandung dari keyakinan agama itulah yang harus menjadi spirit untuk ditampilkan ke dalam ruang publik. Kompromi antar agama dalam arti etik itulah yang dalam hemat penulis memerlukan keberanian dialog antar budaya. Pandangan keagamaan harus diarahkan kepada bagaimana umat beragama dengan seperangkat keyakinannya dapat mendorong kepada pergaulan yang bebas dari klaim privatisasi teologis.
Dalam internal Islam, gagasan pemikiran teologi baru seperti, teologi pembangunan, teologi transformative, teologi perdamaian, teologi kiri dan yang sejenisnya adalah bentuk-bentuk upaya pembebasan dari jaring-jaring teologi klasik yang teosentrik-idiologis. Paradigma teologi lama, dalam amatan beberapa pemikir kontemporer, terlalu mengurusi langit dan mengabaikan kisi-kisi antropesentrisme.
Karena itu, kata Muhammad Arkoun, pencarian terhadap orisinalitas doktrin adalah sesuatu yang harus selalu dilakukan oleh umat Islam baik dalam ranah fiqh, Ushuluddin (Aqidah) atau ilmu keislaman lainnya. Usaha pencarian ini menjadi amat penting pada saat umat dihadapkan pada isu-isu baruyang belum pernah dibicarakan pada masa lalu. Problem masyarakat kontemporer seperti demokrasi, HAM, pluralisme, yang sungguhpun lahir dan besar di Barat adalah sebuah kenyataan dimana teologi sebagai yang mewakili pandangan keagamaan harus bermain didalamnya.
Teologi Multikultural sebenarnya disemangati oleh ajaran dasar Islam yang terbuka terhadap perilaku sosiologis yang sifatnya selalu berubah. Penghargaan Islam terhadap perubahan itu sendiri sangat besar hingga disebut sebagai sunnatullah. Ajaran dasar inilah yang kemudian mendorong umat Islam untuk selalu melakukan perubahan-perubahan. Kata-kata sakti”seperti al-Islam Shalihun li Kulli Zaman wa al-Makan sebenarnya menuntut perbaikan terus menerus. Dan ternyata semangat ini dibuktikan oleh perjalanan sejarah umat Islam.
Jika Sirah Nabawiyah yang dijadikan umat Islam sebagai acuan perubahan doktrin dalam Islam, maka betapa Rasulullah sebagai manajer Masyarakat Madani, begitu akrab dengan lingkungannya yang multikultur. Aktivitas sosial, bisnis, budaya yang dipraktikkan Nabi selalu mempertimbangkan semangat al-Qur’an yang rahmatan lil alamin. Karena itu, momentum demokrasi yang sepadan dengan civil society, dalam hemat penulis, perlu menghidupkan kembali pandangan dan sikap keagamaan yang ramah dengan aneka kultur. (mmsm)