Seminggu sebelum Ramadan saya mendapat postingan di grup Whatsapp, Fakultas Islam Nusantara UNUSIA (Universitas Nahdatul Ulama Indonesia) Jakarta akan menginisiasi ngaji daring. Para habaib (sebutan akrab untuk dosen pengampu mata kuliah Pascasarjana UNUSIA) menyepakati untuk mengisi Ramadan dengan ngaji daring sekaligus pengganti kuliah di tengah #Pandemicovid-19 yang belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Gayung pun bersambut. Gus Ulil Abshar Abdalla, salah seorang dosen UNUSIA, menyetujui akan ngaji daring dua kitab sekaligus. Pertama, mbalah kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, melanjutkan ngaji mingguan yang sudah diasuh selama ini. Kedua, mengajak pemirsa berkenalan lebih dekat dengan Abu Hamid al-Ghazali, pengarang kitab Ihyā’, dengan mbalah kitab otobiografi intelektual beliau yang berjudul al-Munqiz min al-Dalāl. Ngaji akan berlangsung tiap malam usai tarawih selama kurang lebih sejam dan disiarkan secara daring melalui akun facebook miliknya. Saat tulisan ini dibuat, respons facebookers sudah mencapai 1,8K dan dibagikan oleh tak kurang 115 orang.
Gagasan ngaji daring juga disambut Kiai Ali Abdillah, dosen UNUSIA dan Pengurus JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah). Beliau akan mengampu pengajian daring yang padat-jadwal. Pertama, setiap malam Sabtu akan mbalah manuskrip Tuhfat al-Mursalah, kitab tasawuf induk rujukan ajaran Martabat Tujuh di Nusantara, karya Syekh Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab ini menjadi rujukan ahli tarekat di Nusantara, kalangan priyayi dan Islam Jawa (kebatinan). Kedua, sesuai keahliannya, Kiai Ali akan mbalah kitab karya Imam al-Ghazali yakni Bidāyat al-Hidāyah dan Mishkāt al-Anwār setiap hari pada pagi dan sore. Ketiga, al–Futūhāt al-Makkiyyah karya IbnuArabi. Keempat, Tafsīr al-Jīlānī karya Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jilānī yang ditentukan waktunya di hari Senin dan Sabtu selama Ramadan.
Antusiasme dosen UNUSIA untuk ngaji daring memanfaatkan momentum Ramadan. Ustaz Ulin Nuha, dosen UNUSIA dan PTIQ Jakarta, juga akan mbalah secara daring kitab al-Nūr al-Mubīn fī Mahabbat Sayyid al-Mursalīn, karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Menariknya lagi, seniman sekaligus dosen UNUSIA yang lain, Zastrouw Al-Ngatawi mengusulkan ngaji Serat Wedhatama, karya sastra Jawa yang mengandung muatan moral-didaktis karangan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Mangkunagara IV (versi lain ada yang berpendapat penulis Serat Wedhatama adalah R. Ng. Ranggowarsito). Bentuk Serat Wedhatama adalah tembang macapat yang terdiri dari 100 pupuh (bait). Terbagi ke dalam lima lagu. Pangkur 14 pupuh, Sinom 18 pupuh, Pocung 15 pupuh, Gambuh 35 pupuh, dan Kinanthi 18 pupuh.
Alternatif lain, filolog asal UIN Jakarta, Oman Fathurahman (Kang Oman) semenjak awal sudah merintis program “Ngariksa” (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara) secara daring melalui channel youtube Ngariksa. Beberapa manuskrip kuno pernah dikupas di sana. Misalnya, Ithāfal-Dhakī karya populer Syaikh Ibrahim al-Kurani yang menjadi sanad keilmuan ulama-ulama Jawi (Melayu). Ada lagi kitab Badhl al-Mā‘ūn fī Fadl al-Tā‘ūn, kitab tentang pandemi karangan al-Hāfidh Ibn Hajar al-Asqalanī, yang relevan dengan situasi penanganan Covid-19 saat ini. Dan di Ramadan, Ngariksa akan mengupas manuskrip Arab abad ke-11, al-Risālah al-Mughnīyah fī al-Sukūt wa Luzūm al-Buyūt (Karangan Indah tentang Diam dan Tinggal di Rumah) karya ahli hadis Abi ‘Ali al-Hasan b.‘Abdillah al-Baghdādī, atau yang dikenal sebagai Ibn al-Bannā (w. 471 H/1078 M).
Minat ngaji daring di kalangan masyarakat makin marak. Lebih-lebih Ramadan tahun ini terasa spesial karena seluruh aktivitas keagamaan yang melibatkan jemaah dalam jumlah banyak seperti salat jemaah lima waktu, salat Jumat, pengajian, majelis taklim, tarawih, dan salat Idul Fitria da anjuran ditiadakan. Karantina #WFH, #PSBB, #stayathome, #diRumahAja akibat Corona telah “mengembalikan orang ke rumah” sebagai tempat ibadah, tempat belajar, dan bekerja.
Namun jika dilacak dari tradisi santri, ngaji daring saat Ramadan sesungguhnya memiliki sanad dan silsilah dari kebiasaan lama (al-‘ādah al-qadīmah) yang dilakukan para mashāyikh dan kiai pesantren untuk tabarrukan mengisi Ramadan sebulan penuh. Para kiai umumnya mengaji secara offline dengan sistem bandhongan atau wetonan (di Sunda disebut bandungan), dan mbalah sampai khatam kitab-kitab tertentu. Pengajian ini biasa diikiti para santri, alumni, dan masyarakat umum yang berminat tabarrukan.
Kalau saat ini ada di antara ulama, kiai, pengajar, dan dosen menyelenggarakan ngaji daring itu lebih pada cara, metode, dan siasat di tengah pandemi yang belum jelas kapan berakhirnya. Selain itu, ngaji daring dinilai lebih menjangkau audiens yang luas, dan karenanya sebagai jawaban terhadap kecenderungan dan kebutuhan masyarakat yang ingin belajar agama secara daring.
***
Fenomena belajar agama secara daring tampaknya menjadi alternatif pengisi waktu luang yang bermanfaat di tengah pandemi Covid-19. Kala banyak orang mencari aktivitas pengganti menghilangkan kebosanan dan kesuntukan tinggal di rumah dalam jangka waktu berhari-hari, belajar hal-hal baru menjadi opsi yang dicari-cari. Bagi mereka yang hobi musik mungkin akan menyalurkannya melalui bernyanyi, karaokean, mengkover lagu yang sedang ngehits, berlatih memetik gitar, mencipta lagu, atau hanya sekadar rengeng-rengeng (bernyanyi sendiri) di kamar mandi. Pehobi masak bisa jadi #diRumahAja menjadi kesempatan menjajal kemampuannya dengan resep-resep baru. Bukan hanya dikonsumsi, kalau ia kreatif resepnya itu bisa saja divideokan dan diunggah di youtube. Kalau videonya sampai viral, bisa menjadi pendapatan baru yang menggiurkan.
Bagi orang yang kreatif, #workfromhome justru membuka peluang baru untuk melakukan banyak hal. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, orang kreatif akan berpikir out of the box menghadapi situasi pandemi seperti sekarang. Kampanye #JagaJarak, #SaveBuruh atau #RamadhandiRumah dapat dilakukan dengan mudah dari rumah. Berapa banyak orang atau lembaga yang menginisasi gerakan donasi untuk membantu sesama. Gerakan #kreatifdisaatsulit yang diinisiasi salah satu media nasional dapat dijadikan contoh menjadikan kesempatan dalam kesempitan, tantangan menjadi peluang yang bukan saja bermanfaat tapi menguntungkan.
Yang cilaka-dua-belas itu kalau kita tak memiliki hobi sama sekali plus tak punya kreativitas. Sehari-hari tidur melulu atau melototi HP, main games, nonton netflix atau iflix, atau kerjaannya makan-minum doang. Mau keluar tidak berani, tetap di kamar rasanya sumpek. Mau coba sesuatu takut gagal, sudah punya ide takut melangkah. Sempurna sudah penderitaan. Bukannya gembira di rumah, malah bikin senewen. Ujung-ujungnya hanya menambah bobot badan.
Memang tak mudah mengatasi kebosanan berdiam diri di dalam rumah tanpa aktivitas. Karenanya kita mengapresiasi para kiai dan ustaz yang “turun gunung” mengisi ruang maya dengan beragam menu ngaji daring yang menarik. Selain ustaz-ustaz ngetop yang sudah lama berdakwah di internet, kini muncul kiai dan ustaz pendatang baru dari latar belakang keilmuan beragam. Ada pakar tafsir, hadis, fikih, tasawuf atau keahlian gabungan dari itu semua. Muncul para qāri’ dengan bacaan (qirā’ah)-nya yang khas dan unik. Tak sedikit yang memahami Islam dari multi-disiplin keilmuan menyajikan kajiannya tentang Covid-19, virus Korona, atau balā’/wabah. Ada ahli astronomi Islam (falaq) yang menganalisis akhir wabah ini berdasarkan riwayat hadis dan pengetahuannya tentang astronomi. Pakar sejarah atau filologi tak ketinggalan ingin berkontribusi menjelaskan ke publik bagaimana hal ihwal pandemi yang pernah melanda dunia dari kurun ke kurun.
Pendeknya, kejadian pandemi Korona seakan menyingkap berbagai disiplin ilmu yang bisa jadi orang tak tau sebelumnya, atau hanya dipelajari di bangku kuliah dengan keilmuan yang spesifik. Kini dengan mudahnya diakses cukup dari genggaman tangan. Berkahnya, kanal medsos seperti instagram, facebook, twitter, youtube, dan whatsapp dipenuhi konten-konten positif ceramah atau kajian agama. Publik, netizen punya beragam pilihan ngaji apa saja sesuai dengan keinginan mereka.
Gus Baha’ yang tiba-tiba melejit namanya di kanal youtube#ngajibareng-nya dengan mudah kapan saja disimak oleh siapa saja yang mau (tak harus santri atau penggemarnya). Gus Ulil Abshar Abdalla yang mengasuh Ngaji Ihya’ melalui live streaming FB miliknya punya pemirsa fanatik, selain mustami’ (pendengar) temporer. Gus Muwafiq, KH. Anwar Zahid, dan Gus Miftah dikenal publik sebagai pendakwah dan mubalig prolifik dengan gaya dan ceramahnya yang khas. Sementara Prof. Nadirsyah Hosen aktif memberikan pencerahan di kanal medsos dengan rujukan kitab-kitab muktabarah.
Ustaz Abdus Shomad (UAS), Adi Hidayat, Hanan Attaki, Muzammil Hasballah dengan karakter masing-masing juga memiliki ‘pangsa pasar’ yang luas. Diterima banyak kalangan. Videonya yang diunggah di youtube dan dibagikan secara berantai via medsos turut membesarkan nama mereka. Popularitas diperoleh, tapi sasaran dakwah yang multi-segmented juga direbut. Ini bentuk keberkahan lain dari fenomena ngaji daring.
Manakala medsos menjadi rujukan sebagian besar orang untuk belajar agama, memenuhi kebutuhan dan dahaga mereka akan agama, rasanya sah-sah saja. Hemat saya malah positif dan bentuk langkah kemajuan. Seperti dikatakan Yunahar Ilyas,Wakil Ketua Umum MUIdi Republika (8/5/19), “Mengaji digital kini menjadi alternatif bagi sebagian masyarakat dalam mempelajari Islam. Kajian-kajian dari pemuka agama yang disiarkan secara daring kerap menjadi sumber menimba ilmu”.
Coba sekarang searching bagaimana ramainya ngaji daring seiring masa lockdown atau #phisicaldistancing di berbagai daerah. Dari video profesional yang memang dirancang untuk dakwah digital sampai video amatiran, tersedia semua. Para Agagis (Gus-Gus di pesantren) dan poro mashāyikh berlomba-lomba mbalah kitab tertentu secara rutin dan disebarkan melalui medsos. Sekadar menyebut nama misalnya Rois ‘Am PBNU Kiai Miftachul Achyar nderes kitab Qasīdah al-Minfarijah. Gus Yahya Cholil Staquf mengasuh kitab Minhāj al-‘Ābidīn yang beredar luas di youtube. Gus Reza, Ketua RMI Jawa Timur, mengampu kitab Mafāhīm Yajib an Tusahhah.Gus Yusuf Chudlori, Pimpinan Pesantren Tegalrejo membuka kanal yuotube ngaji daring kitab Ayyuhā al-Walad dan ‘Arba‘īn Nawawī.
Ngaji-live melalui fasilitas platform digital semacam Zoom amat laris manis hari-hari ini. Inviting to join live streaming atau Zoom Meeting bertebaran di/melalui pesan whatsapp. Pokoknya siapa yang sempat dan mau belajar agama, saat ini, tinggal nge-klik channel mana yang disuka. Di dunia maya materi berlimpah. Tinggal, mau atau tidak.Tapi yang jelas, kehati-hatian harap lebih diutamakan. Jangan sampai salah guru! [FM, MZ]