Asep Saepudin Jahar Guru Besar Ilmu Sosiologi Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Solidaritas Filantropis di Masa Pandemi Covid-19 [1]

4 min read

Foto: Lipuran6.com

Semenjak merebaknya Covid-19, kita menyaksikan berbagai masalah sosial yang menimpa masyarakat. Jumlah penderita pasien yang terpapar Corona bertambah setiap hari. Hingga saat ini lebih dari 2 juta orang terkena virus corona, dan raturan ribu orang telah meninggal dunia. Di Indonesia, hingga tulisan ini dibuat 773 orang meninggal akibat corona. Virus menular dan mematikan ini sulit dihentikan, karena bermutasi melalui manusia. Tak satu negara pun mampu menangani virus ini dengan mudah. Alih-alih menimbulkan kepanikan.

Dampak yang sangat besar dari virus ini yaitu layanan kesehatan terbebani melebihi kapasitas, terhentinya aktivitas ekonomi, meningkatnya pengangguran dan kriminalitas. Tenaga medis dan infrastruktur penopang kesehatan tak mampu melayani arus pasien yang membludak. Di sisi lain, kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) memudahkan virus menular pada tenaga medis. Singkatnya, semua sistem sosial masyarakat menjadi rapuh. Negara sendiri tak mampu melayani kebutuhan masyarakat tanpa keterlibatan masyarakat. Jika virus ini berlangsung lama, ketahanan sosial akan rapuh. Di sinilah dibutuhkan solidaritas seluruh masyarakat. Salah satu pilar solidaritas yang dapat menyatukan adalah gerakan filantropi. Ia akan menjadi penyanggah masyarakat dalam meringankan berbagai himpitan sosial dan ekonomi saat ini.

Merekonstruksi Filantropi

Istilah filantropi berasal dari kata philanthropia, yaitu mencintai manusia atau berbuat baik untuk kemanusiaan. Filantropi melingkupi makna caritas, berbuat baik kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan karitas yang terkonsentrasi pada pemberian untuk memenuhi kebutuhan, filantropi adalah ekspresi kebaikan yang mencakup segala baik materi maupun imateri. Filantropi adalah tindakan suka rela untuk kebaikan secara umum. Di sinilah peran penting filantropi yang didedikasikan pada kemanusiaan, terbebas dari kepentingan ekonomi dan politik.

Dalam Islam kerangka filantropi dijelaskan di berbagai ayat dalam Alquran. Ayat-ayat ini mencakup konsep karitas dan filantropi sekaligus. Sedekah diwajibkan untuk dibagikan kepada delapan kelompok masyarakat (Q.S. al-Tawbah [9]: 60) sebagai bantuan bagi kelompok masyarakat dari segala kesulitan; Islam mengajarkan solidaritas sosial dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan sosial dari monopoli orang kaya (Q.S. al-Hasyr [59]: 7). Filantropi Islam dinarasikan sebagai tindakan kebaikan dalam bentuk apapun yang akan dipersaksikan Allah, rasul dan orang-orang beriman (Q.S. al-Tawbah [9]: 105). Term filantropi atau amal saleh dalam Islam sangat erat kaitannya dengan pengabdian hamba kepada Allah sebagai amal jariah.

Baca Juga  Keterasingan Budaya Lokal Era Modernisasi

Anjuran pemerintah untuk social distancing (menjaga jarak) atau diam di rumah adalah bagian dari kebaikan, supaya virus tidak menyebar. Secara generik perilaku disiplin adalah bagian dari upaya kita menguatkan tradisi filantropi. Artinya, kedisiplinan itu menjadi penguat dan saling menjaga satu sama lain, karena ia adalah kepedulian sosial.

Kebaikan tidak semata ditunjukkan dengan memberi sembako atau memberikan bingkisan makan kepada dhuafa. Kebaikan dalam lingkup filantropi mencakup bidang yang luas termasuk taat pada aturan pemerintah disaat wabah saat ini. Karena itu filantropi berdampak besar dalam sejarah sosial masyarakat. Tindakan peduli kita untuk menjaga kesehatan, mematuhi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) adalah bagian dari solidaritas sosial. Dalam bahasa agama ia adalah amal saleh yang terus mengalir kebaikannya.

Ironis memang, sementara masyarakat masih ada yang menonjolkan egoismenya dalam mengekspresikan kesalehan. Ia mencoba membenturkan ibadah sebagai perintah agama yang dianggap suatu hal yang mutlak dengan larangan berkerumun. “salat berjemaah itu wajib, mati akibat corona itu Tuhan yang menentukan”, demikian respons sebagian masyarakat yang tidak menghiraukan larangan kerumunan dalam ibadah berjemaah.

Sikap ini muncul, meminjam istilah Weber dalam buku Economy and Society sebagai tindakan yang didorong oleh keyanikan fanatik emosional dan tradisi. Artinya, ibadah berjemaah hanya dipahami sebagai kebaikan bagi dirinya dalam menjalankan perintah Tuhan. Kesalehan hanya diukur dengan hubungan vertikal (feeling) dengan Tuhan secara parsial. Agama dimanipulasi dalam lingkup nilai ubudiah yang rigid. Menghindari bahaya virus tidak dipahami sebagai kesalehan yang universal dalam menjaga kehidupan. Ibadah dibatasi secara kaku tanpa melihat hubungan simetris dengan urusan sosial. Inilah cara beragama yang berdasar pada fanatisme emosional.

Perilaku serupa juga berdampak pada aktivitas filantropi oleh individu dan Lembaga. Aktivitas filantropi juga direduksi pada aspek pemberian berupa materi dengan menonjolkan pamor individual atau kelompok. Sebab itu lingkup filantropi sampai saat ini masih terbatas dampak dan pengaruhnya di masyarakat.

Baca Juga  Memanusiakan Korban Covid-19: Sebuah Catatan Keprihatinan [bagian 1]

Menggerakkan Filantropi Produktif

Fenomena aktivitas filantropi masih mirip yang terjadi pada kasus praktik ibadah yang dijelaskan di atas, yaitu hanya untuk mencapai keutamaan pribadi dan kelompok sesuai dengan pemahamannya. Dalam konteks berderma kita menyaksikan egoisme individu dan kelompok. Individu lebih tertarik untuk menyalurkan infaknya secara langsung kepada penerima. Alhasil, kesemrawutan dan kericuhan sering terjadi, karena lemahnya manajemen distribusi, baik dari sisi keamanan dan sebaran.

Di lembaga pemerintah juga terjadi hal serupa. Baru-baru ini di satu kabupaten, pembagian sembako menimbulkan kerumunan dan kericuhan, karena tidak dikelola dengan baik. Di mana lembaga filantropi hadir? Di sinilah lemahnya pemahaman dan kesadaran kita tentang posisi strategis lembaga filantropi.

Filantropi hadir bukan dibentuk oleh faktor lembaga semata. Tradisi filantropi menyatu dengan masyarakat di mana pun ia berada. Karena filantropi bersifat impersonal, menekankan adanya tindakan kebaikan yang dilakukan oleh siapapun, secara individu dan lembaga. Maka, kesadaran aparat pemerintah untuk berdedikasi kebaikan tanpa harapan balas jasa, itulah model filantropi.

Terdapat dua rumusan weber yang relevan untuk diulas terkait filantropi sebagai bagian dari respons sosial. Pertama, upaya tindakan filantropi adalah ekspresi rasional (zwecktrational), yaitu tindakan yang dilakukan karena ada hasil dan harapan yang terukur untuk kepentingan diri dan masyarakat. Kedua, gerakan filantropi hadir didorong oleh wertrational, yaitu tindakan yang hanya menggapai nilai yang utama dari tindakan itu sendiri tanpa memperhatikan aspek lain. Berkaca dari konsep Weber, filantropi hendaknya memperkuat pada solidaritas sosial. Yaitu memadukan tujuan rasional, nilai ibadah dan empati. Kombinasi filantropi seperti ini akan memperkuat ketahanan sosial.

Dalam ajaran agama, berbuat kebaikan tidak diukur oleh harapan imbal balik dari amaliah yang kita lakukan. Itulah realisasi paripurna perbuatan Ikhlas, mengharap rida Allah semata. Maka yang menyatu dalam kebiasaan filantropi, jika merujuk pada konsep Weber, umumnya lebih pada keagungan nilai yang melekat pada substansi spiritual filantropy. Sebab itu, genre filantropy akan dapat dilihat dari dua hal, positif dan negatif.

Baca Juga  Uji Level Paham Keislaman Ustaz Dadakan, Perlukah?

Secara positif, filanthropy adalah suatu poros kekuatan yang mampu menggerakan kehidupan masyarakat yang sangat kuat. Karena filantropi bukan berhenti pada kekuatan memberi sesuatu dalam bentuk materi seperti uang. Ia mencakup segala hal yang memberikan kebaikan kepada masyarakat baik yang nampak maupun tidak nampak. Terlibat menjadi relawan medis dan kegiatan sosial adalah bagian dari aktivitas filantropi. Jadi pemaknaan filantropi akan berimbas kepada dampak kemaslahatan yang lebih luas pada semua lini. Di sinilah keunggulan gerakan filantropi yang akan menjadi akar yang kuat penyanggah kebutuhan masyarakat. Bangunan filantropi positif ini hanya akan mengakar kuat jika dijadikan “habitus” di dalam keluarga, lingkungan pendidikan dan pemerintahan.

Sebaliknya gerakan filantropi negatif terjadi jika perilaku berderma dan relawan didorong oleh vested interest pelakunya. Yang disoal filantropi model ini yaitu perilaku yang mengabaikan kebaikan yang tulus. Inilah model filantropi inferior. Berbagi dana amal, tapi dilakukan di kerumunan publik dan menjadikan kesemrawutan adalah bagian dari filantropi inferior. Dengan kata lain, filantropi dibutuhkan ketulusan dan menghilangkan vested interest personal dan kelompok. Hal itu hanya bisa dilakukan jika resonansi kegiatan filantropi, derma, dana amal, relawan sosial dan kesehatan dipandu oleh lembaga resmi seperti lembaga zakat dengan model sinergi. Dana bansos misalnya, selayaknya bersinergi dengan lembaga-lembaga filantropi baik pemreintah maupun non-pemerintah. [MZ]

 

–Bersambung–

Asep Saepudin Jahar Guru Besar Ilmu Sosiologi Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *